tirto.id - Pengelolaan minyak dan gas di Indonesia belum mengutamakan badan usaha milik negara (BUMN) untuk mengelola. Hal itu agar diubah dalam RUU Migas dengan mengutamakannya, sebagaimana didorong Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep).
Direktur Eksekutif Pushep Bisman Bhaktiar meminta, pemerintah untuk serius membahas Rancangan Undang-undang (RUU) minyak dan gas bumi (Migas) yang kini tengah dibahas.
Menurutnya, kesalahan yang sempat tercantum dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas sepatutnya dihindari.
“Kalau Pertamina bisa mendapat kesempatan mengelola WK pertama kali, signature bonus itu bisa dihindari,” ucap Bisman kepada reporter Tirto usai seminar bertajuk "Menyoal Peberlakukan Signatory Bonus Blok Rokan" di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Bisman mendesak agar Undang-undang itu nantinya memuat ketentuan yang memprioritaskan Pertamina sebagai pengelola wilayah kerja (WK) Migas terutama berstatus terminasi.
Dengan mengutamakan Pertamina dalam pengelolaan Migas, menurut Bisman dapat menutup celah dibuatnya Peraturan Menteri yang dapat membebani perusahaan plat merah itu dengan biaya signature bonus (penawaran bonus tanda tangan). Sebab, Pertamina tidak lagi repot diwajibkan mengikuti lelang seperti perusahaan migas swasta lainnya.
Bisman juga mengatakan, pemerintah perlu waspada terkait rencana pembentukan badan usaha khusus migas. Sebab jika hal ini dibiarkan, maka Pertamina akan semakin kesulitan menghadapi perusahaan migas swasta.
Padahal, lanjutnya, pada saat yang sama Pertamina tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai korporasi yang mencari laba, tetapi juga menjalankan beban penugasan energi oleh pemerintah.
Saat ini ketentuan signature bonus belum diatur secara spesifik dalam UU Migas. Sebab di dalam beleid itu baru menyebutkannya sebatas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebaliknya, signature bonus dipungut berdasarkan peraturan turunan berupa permen ESDM.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress), Marwan Batubara mengatakan porsi pengelolaan WK Migas oleh BUMN Migas perlu dijamin oleh negara. Kalau perlu, katanya, hal itu dicantumkan dengan tegas dalam RUU Migas yang baru.
“Hak konstitusional tadi harus dicantumkan dalam UU Migas yang baru. Jadi tidak bisa diatur (siapa yang berhak mengelola) seenaknya oleh menteri,” ucap Marwan dalam acara yang sama.
Menurut Marwan, bila beleid itu benar dapat dirampungkan pada 2019, maka perlu mewaspadai sejumlah kontrak diwaspadai. Sebab pada 2019-2026 terdapat lebih kurang 23 blok migas yang akan habis masa kontraknya.
Saat ini, pemerintah baru menyetujui perpanjangan kontrak Blok Bentu Segat yang dikelola PT Energi Mega Persada yang habis pada 2021.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali