tirto.id -
Belakangan, media massa maupun media sosial dipenuhi dengan pemberitaan mengenai jumlah Kementerian/Lembaga Negara (K/L) dalam Kabinet Merah Putih, siapa saja menteri dan pejabat tingginya, apa saja aktivitas mereka. Tetapi, apakah komposisi kabinet baru ini sudah mengakomodasi upaya perbaikan sektor logistik?
Dilihat dari nomenklatur K/L Kabinet Merah Putih, jawaban atas pertanyaan di atas adalah “belum diketahui secara pasti” atau “tidak”, sebab tidak ada kata logistik dalam daftar K/L tersebut. Lantas, bagaimana nasib sektor logistik nasional jika kehadiran negara dirasa kurang optimal?
Hasil penelitian cepat yang dilakukan oleh National Logistics Community (NLC) pada Oktober 2024 menyatakan, mayoritas responden menganggap pembentukan K/L logistik dalam Kabinet Merah Putih adalah urgen. Bagi mereka, kehadiran negara sangat penting dalam membenahi sektor logistik.
Sejak Indonesia berdiri, sektor logistik kurang mendapat perhatian serius dari negara. Di satu sisi, pemerintah menginginkan industri nasional berdaya saing di pasar domestik dan internasional, serta berambisi menjadikan Indonesia sebagai negara berpendapatan tinggi yang ditopang oleh sektor industri.
Di sisi lain, masalah inefisiensi logistik tetap saja tidak terpecahkan, bahkan mungkin agak dibiarkan. Hal ini turut berkontribusi pada stagnasi kinerja ekonomi Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara maju dan emerging ekonomi lainnya.
Pelaku usaha di sektor logistik mendesak agar negara ikut hadir membenahi sektor ini. Sebagai otoritas, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Jika negara tidak sungguh-sungguh turun tangan, monopoli di lapangan terjadi.
Penentuan kebijakan logistik berpengaruh pada zona distribusi. Kehadiran negara dalam membenahi sektor logistik yang mendukung kemajuan perekonomian nasional dapat diwujudkan dengan adanya struktur khusus pemerintahan yang membidangi logistik.
Pemerintah harus mampu menjamin rantai pasok dari hulu ke hilir berjalan baik, karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara. Pendek kata, jika rantai pasok lancar, perekonomian meningkat. Mengingat wilayah Indonesia berupa kepulauan, kondisi demikian seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar potensi Indonesia sebagai negara maritim kian optimal.
Kami meyakini keberadaan K/L logistik bakal memainkan peranan penting dalam mewujudkan efisiensi rantai pasok. Dengan logistik yang efisien, swasembada pangan dan hilirisasi 26 komoditas vital yang tersebar di berbagai provinsi makin mudah dilakukan, selain mendorong pemerataan pembangunan di luar Jawa. Bagi Indonesia, negara kepulauan dengan wilayah seluas 1,905 juta kilometer persegi, proses logistik yang andal, efektif, dan efisien adalah fundamental.
Urgensi kehadiran negara dalam membenahi sektor logistik didasarkan pada banyaknya masalah yang tak selesai-selesai di dalam sektor tersebut, serta potensi perbaikan yang dapat dilakukan melalui pembentukan K/L logistik. Masalah-masalah tersebut, antara lain sebagai berikut.
Kurangnya Kapabilitas
Hambatan di sektor logistik disebabkan oleh ketidakmampuan K/L dan operator logistik saat ini dalam memberikan solusi bagi perbaikan di sektor logistik, misalnya Kementerian Perhubungan. Lembaga ini tidak mampu menyelesaikan masalah laten di lapangan yang menyebabkan mahalnya biaya logistik. Sebagai contoh, di Pelabuhan Tanjung Priok, sistem macet dan aplikasi error dan fasilitas rusak masih sering terjadi, mengakibatkan lamanya dwelling time.Selain itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) juga terkesan setengah hati mengurusi perkara logistik. Sebagai lembaga yang jelas-jelas mengandung kata ‘Logistik’, Bulog lebih banyak berperan di bidang ketahanan pangan dengan menjaga kestabilan pasokan dan harga bahan pokok, alih-alih fokus menangani logistik.
Logistik tidak hanya soal pangan atau buffer stock pangan, melainkan serangkaian proses yang dimulai dari pengemasan, pendistribusian, hingga penyimpanan segala jenis barang baik padat maupun tidak padat, tidak terbatas pada pangan.
Dengan logika tersebut, sudah sepantasnya nomenklatur Bulog diganti, karena tidak lagi relevan dan representatif.
Rumitnya Birokrasi dan Indikasi Korupsi
Kerumitan birokrasi dan indikasi korupsi disebabkan banyaknya K/L yang mengurusi logistik. Kementerian Komunikasi dan Informatika, sekarang berubah nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital, membawahi urusan pos dan kurir. Kementerian Keuangan ambil bagian lewat Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Lembaga National Single Window (LNSL). Belum lagi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan.Rumitnya birokrasi dan banyaknya pungutan liar (pungli) membuat lembaga-lembaga yang ada seolah kehilangan kepercayaan dari pelaku usaha, selain mengindikasikan korupsi. Omong-omong soal pungli, kita sama-sama tahu hal itu tidak hanya dilakukan oleh aparat, tetapi juga oleh kalangan sipil.
Mereka kerap melakukan pengadangan atau pemalakan terhadap armada logistik dengan berbagai alasan, termasuk meminta uang duka saat hewan ternak mereka mati, sebagaimana terjadi di kawasan timur Indonesia.
Di lapangan, birokrat yang menganut prinsip “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” juga masih merajalela. Dengan kata lain, perwujudan transformasi birokrasi yang berorientasi pada kepentingan publik masih jauh api dari panggangan.
Pembentukan K/L logistik diyakini akan memberikan kepastian dibandingkan dengan tugas dan fungsi logistik yang tersebar di berbagai K/L existing. Dengan kehadiran K/L logistik, regulasi yang berkesinambungan lebih mudah terwujud dan keamanan menjalankan usaha lebih terjamin.
Meski ada pihak yang menyangsikan bahwa pembentukan K/L baru bidang logistik hanya akan membuat aktivitas korupsi dan kolusi terkonsentrasi, kami berpandangan bahwa penyatuan tugas dan fungsi yang semula terpencar ke dalam satu organisasi bakalan jauh lebih baik. Aparat penegak hukum juga akan lebih mudah memantau indikasi korupsi di sektor logistik melalui satu K/L baru daripada melakukan pemantauan di banyak K/L sekaligus.
Koordinasi dan Fragmentasi Perizinan
Banyaknya K/L yang membidangi lalu lintas barang menyebabkan adanya masalah koordinasi antar K/L dan fragmentasi perizinan. Hal ini berkontribusi pada rumitnya sektor logistik dan mahalnya biaya logistik nasional. Meski K/L yang membidangi logistik nasional bejibun, tidak ada satu pun K/L yang berusaha menghitung biaya logistik nasional secara regular.Sejauh ini, kinerja logistik hanya diukur dengan publikasi Bank Dunia mengenai Logistics Performance Index (LPI) yang angkanya diperoleh melalui survei. Acuan biaya logistik berupa persentase biaya logistik terhadap PDB masih diragukan oleh praktisi logistik.
Jadi, banyaknya K/L logistik justru tidak serta-merta menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar di sektor logistik, seperti benchmarking biaya logistik nasional.
Selain itu, sinkronisasi kebijakan K/L bidang logistik juga belum terasa. Kebijakan yang ada malah sering kali tidak sejalan, bahkan berbenturan. Ego sektoral dan banyaknya K/L yang membidangi logistik membuat koordinasi menjadi rumit, sehingga berdampak pada lambatnya pelayanan yang diberikan oleh K/L terkait kepada para pelaku usaha.
Meski pemerintah menyampaikan bahwa perbaikan infrastruktur berupa pembangunan jalan tol atau kereta api cepat sudah dilakukan, hal itu belum cukup memperbaiki sektor logistik. Di level makro, pelaku bukan hanya memerlukan infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur aliran informasi. Sedangkan di level meso, sektor logistik memerlukan kolaborasi dan koordinasi.
Fragmentasi tugas dan fungsi K/L turut berkontribusi pada kompleksitas perizinan dan koordinasi masalah dalam sistem logistik nasional, yang lagi-lagi menyebabkan aktivitas ekonomi berbiaya tinggi. Hal ini sangat berpengaruh dan mengikis daya saing industri di semua sektor ekonomi.
Masalah Regulasi, Efektivitas Kebijakan, dan Tarif
Pembentukan K/L khusus logistik dinilai dapat menciptakan kebijakan yang sederhana (termasuk penyederhanaan perizinan) dan meningkatkan efektifitas kebijakan. Pembentukan K/L logistik bertujuan agar peraturan terkait logistik tidak tumpang tindih.Selain itu, K/L logistik diharapkan dapat menjadi regulator atas tarif pelaku usaha logistik yang beragam di lapangan. Ketidakseragaman tarif tersebut menyulitkan penghitungan biaya operasional usaha logistik dan berpotensi menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Alasan lain yang membuat K/L logistik harus ada didasarkan pada masalah perbedaan tarif logistik antara pelaku usaha logistik, baik secara vertikal maupun horizontal. Tarif logistik di lapangan dinilai tidak transparan sehingga K/L baru ini diharapkan menjadi tumpuan dalam regulasi tarif.
Regulasi tarif logistik diperlukan mengingat kenaikan harga BBM membuat pelaku usaha jasa logistik berada pada posisi dilematis. Di satu sisi, meningkatkan tarif berisiko mengurangi daya saing, sedangkan mempertahankan tarif berisiko mengalami kerugian dan bangkrut. Dalam banyak kasus, kenaikkan tarif sektor logistik dilakukan bukan untuk pertumbuhan bisnis, melainkan untuk menutupi tingginya biaya operasional.
Pengaturan tarif jasa logistik perlu dilakukan bukan hanya pada jasa logistik konvensional, tetapi juga pada ranah e-commerce logistik. Tarif logistik di platform logistik perlu diregulasi oleh pemerintah. Regulasi tersebut berkaitan dengan penerapan tarif platform trucking yang terkesan tidak adil terhadap pemilik truk sebagai mitra.
Saat ini, komponen biaya pada platform e-commerce sering kali tidak memperhitungkan biaya leasing, maintenance kendaraan, perizinan, dll. Biaya yang diberikan hanya menutup bahan bakar. Regulasi batas atas dan batas bawah tarif jasa logistik juga diperlukan agar mendukung ketahanan pangan melalui peningkatan akses pada pangan, sehingga harga pangan (juga harga kebutuhan pokok dan produk lainnya) lebih terjangkau.
Kebijakan yang dihasilkan oleh K/L khusus logistik akan mampu dan ampuh mengatasi masalah logistik, jika didukung oleh SDM yang kompeten di bidang logistik, paham akar dan rumusan masalah, serta mempunyai kapabilitas mencari solusi atas permasalahan-permasalahan yang ada.
Efektivitas kebijakan logistik dimungkinkan oleh adanya monitoring dan evaluasi kebijakan serta pembinaan kepada pelaku usaha oleh K/L logistik. K/L baru dipercaya dapat menghasilkan kebijakan yang pro pelaku usaha logistik secara keseluruhan dalam hal pertumbuhan usaha, tidak sebatas regulasi yang mengekang ruang gerak pelaku usaha.
Kehadiran K/L bidang logistik juga akan mendorong kemajuan, modernisasi dan efisiensi sektor logistik, serta mendorong persaingan usaha yang sehat di antara pelaku usaha logistik nasional.
Penurunan biaya logistik sebagai buah dari perbaikan tata kelola logistik yang dimotori oleh K/L logistik tidak hanya terjadi pada daerah-daerah yang terletak di jalur utama transportasi logistik, tetapi juga menjangkau daerah-daerah yang selama ini terisolasi, sehingga harga kebutuhan pokok di daerah tersebut menjadi terjangkau.
Untuk daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (3T) adanya K/L logistik diharapkan berperan signifikan dalam menyediakan layanan logistik ke daerah tersebut. Mengingat Indonesia adalah daerah kepulauan, layanan logistik yang memadai perlu disediakan untuk melayani kebutuhan logistik antar pulau dan daerah 3T, dengan target membuat biaya logistik menjadi lebih terjangkau.
Menyelesaikan Masalah Sekunder
Pembentukan K/L khusus logistik juga berpotensi meningkatkan fasilitasi aktivitas logistik untuk urusan sekunder, misalnya logistik bencana (humanitarian logistik). Sebab sebagian besar wilayah Indonesia rawan bencana, negara seharusnya memberikan bantuan yang cepat dan segera setelah terjadinya bencana. Selama ini, organisasi masyarakat terkadang lebih dulu hadir memberikan bantuan di lokasi bencana dibanding negara. Negara bergerak lambat karena faktor birokrasi.
Masalah sekunder lain yang dapat difasilitasi oleh K/L logistik adalah peningkatan akses bagi pelaku usaha logistik dalam jaminan produk halal (sertifikasi halal), sebagaimana amanat UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan PP Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Tidak semua pelaku usaha logistik bersentuhan atau melihat barang secara langsung, sehingga sebagian orang beranggapan bahwa perusahan jasa logistik tidak perlu sertifikasi halal.
Meski demikian, perusahan jasa logistik tetap harus memastikan bahwa aktivitasnya dijamin tidak mempengaruhi kehalalan produk yang diangkut/disimpan/dikemas.
Sebagai gambaran, pelaku usaha di bidang freight forwarder tidak bersentuhan langsung dengan barang yang diangkut. Mereka hanya berkoordinasi melalui komputer. Selama ini, jasa trucking, airline, shipping line, ground handling, dan terminal kargo juga dikerjakan oleh vendor.
Demikian juga pengurusan dokumen kepabeanan oleh Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK). Jika pengurusan dokumen bukan pada jalur merah, ia dikerjakan oleh PPJK. Masalahnya, PPJK juga tidak melihat langsung barang yang dokumennya diproses ke Ditjen Bea Cukai.
Perusahan freight forwarder sebenarnya dapat menempuh mekanisme pernyataan mandiri (self-declare) mengenai kehalalan dengan prosedur sederhana. Namun, self-declare hanya berlaku untuk perusahan skala kecil dan mikro, sementara perusahan freight forwarder umumnya merupakan perusahaan skala menengah dan besar.
Apakah perusahan freight forwarder seperti ini juga akan dipaksakan mengikuti sertifikasi halal dengan prosedur panjang dan rumit, sebagaimana amanat UU JPH?
Sertifikasi halal bagi perusahan logistik skala kecil dan mikro juga merupakan masalah laten. Pelaku usaha jenis ini sudah terhimpit oleh tingginya biaya operasional. Kewajiban sertifikasi halal hanya menambah beban biaya mereka. Ketiadaan K/L yang khusus membidangi logistik membuat perusahan logistik terutama perusahan skala kecil dan mikro semacam anak ayam kehilangan induk.
Jika UMKM selain logistik mendapat fasilitasi sertifikasi halal dari K/L pembinanya seperti Kementerian Perindustrian dan Kemenkop UKM, yang memberikan fasilitasi sertifikasi halal gratis (mencakup biaya pendaftaran di BPJPH, biaya audit halal, dan biaya fatwa MUI), tidak demikian untuk perusahan logistik skala kecil dan mikro. Belum ada yang memberikan fasilitas tersebut untuk perusahan skala tersebut.
Apalagi, batas waktu sertifikasi halal untuk produk food & beverage (F&B) dan semua jasa dalam rantai pasok berakhir pada tanggal Oktober 2026. Deadline tersebut merupakan hasil penundaan batas waktu sertifikasi halal yang seharusnya berlaku per 17 Oktober 2024. Perusahan logistik yang belum tersertifikasi halal sampai deadline berisiko terkena penegakan hukum yang berpengaruh pada tingginya biaya logistik dan keberlangsungan usaha mereka.
Untuk itu, K/L logistik tidak hanya berperan menyelesaikan masalah primer di bidang logistik, tetapi juga dapat memfasilitasi dan mengadvokasi perusahan logistik terkait hal-hal sekunder di atas, yang turut menyebabkan biaya tinggi di sektor logistik.
Belum Terlambat
Pembentukan K/L logistik belum terlambat, mengingat pemerintahan Prabowo-Gibran belum lama dilantik dan K/L yang ada sekarang belum bekerja 100 persen menjalankan program Asta Cita, karena masih menunggu tahun anggaran baru.
Jika hambatan regulasi dan tata kelola serta masalah kapabilitas di atas tidak diatasi, aktivitas ekonomi berbiaya tinggi di sektor logistik akan terus berlanjut dan tentunya akan mempengaruhi kinerja program swasembada pangan dan hilirisasi serta mempengaruhi daya saing pada sektor ekonomi lainnya.
Rendahnya daya saing ini akan menjadi batu sandungan dalam pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh Prabowo-Gibran, juga target Asta Cita pada tahun 2029-2030 dan target Indonesia Emas 2045.
Pembentukan K/L logistik dapat menghasilkan perubahan signifikan mengingat pemerintahan Prabowo-Gibran didukung oleh banyak profesional yang mungkin belum diberdayakan semaksimal mungkin. Mereka bisa jadi mempunyai kemampuan dalam memperkuat kinerja kabinet secara umum dan mempunyai kapasitas di sektor logistik secara khusus.
Jika logistik tidak diatur dengan baik, kekacauan penempatan, pesanan, hingga pengiriman barang akan menimbulkan banyak masalah. Bisnis tidak lancar, profit macet, banyak ketidak-teraturan, dan mengancam keberlangsungan usaha.
Sebaliknya, perbaikan sektor logistik melalui pembentukan K/L logistik yang otonom akan membangun jati diri bangsa Indonesia sebagai salah satu negara maritim besar di dunia yang efisien dalam logistik dan rantai pasok.
Penulis merupakan dewan pengurus National Logistic Community (NLC), di mana Angga Purnama menjabat sebagai Ketua Umum dan Rizki Utomo menjabat sebagai Sekretaris Jendral.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.