tirto.id - Warga negara asing (WNA) menumpuk di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Senin (28/12/2020) malam. Penumpukan terjadi bukan karena turis lebih banyak dari biasa, tetapi ada kebijakan wajib karantina selama lima hari bagi mereka. Mereka mengantre sebelum ditempatkan di hotel/tempat karantina.
“Ada sekitar 200-an orang tadi malam, tapi intinya semua sudah tersalurkan ke hotel,” Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Soekarno-Hatta Darmawali Handoko membenarkan penumpukan, Selasa (29/12/2020), mengutip Antara.
Kebijakan wajib karantina diberlakukan sebelum WNA benar-benar dilarang masuk Indonesia per 1 Januari 2020. Kebijakan ini adalah respons terhadap penemuan COVID-19 jenis baru di Inggris dan telah menyebar ke berbagai negara. Disebut-sebut varian baru ini lebih gampang menular.
“Rapat kabinet terbatas tanggal 28 Desember 2020 memutuskan untuk menutup sementara. Saya ulangi, untuk menutup sementara dari tanggal 1 sampai 14 januari 2021 masuknya warga negara asing atau WNA dari semua negara ke Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam konferensi pers secara daring dari Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (28/12/2020).
WNA yang tiba di Indonesia pada 28-31 Desember diwajibkan membawa hasil tes RT-PCR dengan hasil negatif paling lambat 2x24 jam dari tanggal keberangkatan. Lalu karantina wajib diikuti selama 5 hari sejak kedatangan. Hal tersebut sesuai isi Surat Edaran Satgas COVID-19 Nomor 3 tahun 2020.
“Setelah karantina 5 hari, melakukan pemeriksaan ulang RT-PCR. Apabila hasil negatif maka pengunjung diperkenankan meneruskan perjalanan,” kata Retno.
Harusnya Sejak Awal Pandemi
Dosen sosiologi bencana dari Nanyang Technological University asal Indonesia Sulfikar Amir menilai jarak antara pengumuman kebijakan dengan hari penerapan kebijakan terlalu lama. Memberikan kesempatan masuk juga menurutnya sikap yang ambivalen. “Mau menutup tapi juga tetap mau menerima,” kata Sulfikar kepada reporter Tirto, Rabu (30/12/2020).
Sulfikar mengibaratkan pemerintah seperti hendak mengatakan: “Kami akan tutup bandara, makanya buruan masuk.”
Maka, tak pelak, “pelarangan ini enggak terlalu efektif” dan “risiko masuknya varian baru [virus Corona] semakin tinggi.” Kebijakan karantina lima hari pun menurutnya itu tak cukup untuk menahan penularan.
Hal ini akan menimbulkan keresahan terutama bagi tenaga kesehatan (nakes) yang sudah mulai kewalahan menangani pasien COVID-19. Seorang nakes menanggapinya dengan kalimat parsah, “entah mau jadi apa kita ini.”
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan varian baru ini sebetulnya telah ditemukan di sejumlah negara sejak September lalu. Oleh karena itu bukan tidak mungkin virus ini sudah menyebar di Indonesia karena skrining ketat hingga karantina baru dilakukan sekarang.
Lebih dari itu, pengetatan terhadap orang dari luar negeri semestinya sudah dilakukan sejak awal masa pandemi. Selain wajib membawa hasil swab test PCR yang menunjukkan hasil negatif, mereka juga harus dikarantina. Tidak hanya lima hari, tapi minimal dua pekan, kata Dicky.
“Pembatasan dan skrining ini harus dilakukan sepanjang waktu sampai situasi pandemi bisa terkendali pada level global, tidak hanya sementara,” kata Dicky melalui sambungan telepon, Rabu.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah belum mengetahui apakah mutasi virus COVID-19 ini sudah berada di Indonesia atau belum. Sementara Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Letjen TNI Doni Monardo mengatakan meski belum ada laporan, tetapi Corona varian baru ini sudah terdeteksi di Australia dan Singapura, dua negara yang 'sepelemparan batu' dari Indonesia.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino