tirto.id - Pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau Intermediate Treatment Facility (ITF) di kawasan Sunter, Jakarta Utara, diprediksi tidak tepat waktu.
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (Jakpro), Satya Heragandhi mengatakan, hal itu terjadi lantaran ketentuan baru dalam Peraturan Pemerintah nomor 54 Tahun 2017 mewajibkan 70 persen saham minimal dalam pembentukan anak perusahaan yang dibentuk BUMD.
Artinya, kata dia, Jakpro harus memikirkan kembali kepemilikan saham untuk membentuk perusahaan patungan (joint venture company) bersama perusahaan asal Finlandia, Fortum, yang sebelumnya telah disepakati sebesar 51:49 persen.
"Bayangkan kita membangun 250 juta USD, kalau kepemilikan sahamnya kita yang besar nanti modalnya dari mana," ungkap Satya saat dihubungi, Rabu (21/2/2018).
Jika tak ada ketentuan baru dalam PP tersebut, Jakpro sebenarnya telah siap untuk meneken kontrak kerjasama dengan Fortum pada Maret mendatang. Selain itu, persoalan-persoalan seperti AMDAL dan sewa lahan milik Pemprov juga bisa dijalankan.
Target peletakan batu pertama, kata Satya, sebenarnya bisa dilangsungkan pada bulan Mei. Apalagi kesepakatan biaya pengelolaan sampah (tiping fee) dari Pemprov DKI, serta harga listrik per-kWh yang akan dijual ke PLN juga telah dicapai. Pemprov akan membayar sebesar Rp 500 ribu untuk tiap ton sampah yang dikelola oleh Jakpro di ITF, sementara PLN akan membeli listrik 12 sen dolar AS per-kWh.
"Doakan aja, kami lagi mencari jalan. Secara esensi kami sebenarnya sudah siap (untuk mulai pembangunan)," kata Satya.
Pembangunan ITF sebenarnya sudah ada dan menjadi bagian dari rencana penanganan kebersihan kota Jakarta sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah. Sebelumnya, rencana proyek ini sempat mangkrak karena Mahkamah Agung membatalkan peraturan tersebut pada tahun 2017.
Namun, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang menjadi Gubernur DKI Jakarta waktu itu bersikukuh untuk melanjutkan proyek dengan menugaskan PT Jakarta Propertindo, BUMD yang bergerak di bidang jasa konstruksi, sebagai kontraktor. Dasar hukum yang dipakainya, adalah Peraturan Gubernur nomor 50/2016 tentang Pembangunan dan Pengoperasian Fasilitas Pengolahan Sampah di Dalam Kota.
Tapi setelahnya, pembangunan ITF tetap mengalami hambatan, mulai dari perubahan regulasi hingga transisi kepemimpinan di Balai Kota.
"Tapi hambatannya dari kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, soal pengendalian lingkungan, kita dorong supaya modelnya keluar. Lah, ternyata ini kok ada challenge lagi, kita juga bingung bertubi-tubi," ujar Satya.
Padahal, selain Sunter, pembangunan ITF juga akan dilakukan di beberapa daerah lain seperti Cilincing, Duri Kosambi dan Cakung.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto