Menuju konten utama

Pemakzulan Bupati Jember: Puncak Konflik Politik Jelang Pilkada

Penyebab konflik elit politik Jember yang berujung pemakzulan Bupati Faida di antaranya berakar dari proses pencalonan dan kampanye selama Pilkada 2015.

Pemakzulan Bupati Jember: Puncak Konflik Politik Jelang Pilkada
Petahana Faida menyapa relawan dan pendukungnya di rumahnya sebelum menyerahkan berkas syarat dukungan calon kepala daerah yang maju melalui jalur perseorangan pada Sabtu (22/2/2020). (ANTARA/ Zumrotun Solichah)

tirto.id - Bupati Faida terpilih bersama wakilnya Abdul Muqif Arief dilantik pada 17 Februari 2016 untuk masa jabatan 2016-2021. Empat partai mencalonkan kedua yakni Nasdem, PDIP, Hanura dan PAN. Lawannya, Sugiarto-Mochammad Dwi Koryanto diusung oleh enam partai yakni Gerindra, PKB, PKS, Golkar, PPP dan Demokrat.

Dalam Pilkada 2020, semua partai pengusung balik badan karena Faida maju lewat jalur independen atau perseorangan bersama pengusaha Dwi Arya Nugraha Oktavianto. Kini parpol di Jember tengah menggalang calon untuk melawan Faida yang telah meninggalkan partai politik pendukungnya dalam Pilkada 2015.

Selama periode ini, Jember dirundung konflik elit politik lokal. Belum setahun Faida bertugas, empat partai di DPRD mengajukan hak interpelasi setelah ada pencopotan Sekretaris DPRD Jember yang dinilai melanggar undang-undang. Setelah itu, muncul usulan serupa akhir 2019 terkait kedudukan struktur organisasi dan tata kelola (KSOTK) serta soal pengadaan barang dan jasa. Usai dianggap 'angin lalu' oleh Faida, DPRD kembali melancarkan hak angket terkait tata kelola pemerintahan Jember 2016-2019. Puncaknya terjadi tahun ini berupa hak menyatakan pendapat yang berujung pemakzulan.

Dalam pengamanan sidang paripurna, Rabu (22/7) kepolisian setempat mengerahkan 1.000 personel gabungan. Ketua DPRD Jember, M Itqon Syauqi menyatakan, pemakzulan Faida didasari tindakan yang tergolong melanggar sumpah dan jabatan, sehingga dijatuhi sanksi administrasi berupa pemberhentian tetap atau sementara.

"Kami menganggap Bupati telah melanggar sumpah jabatan, melanggar peraturan perundang-undangan, sehingga DPRD bersikap melalui hak menyatakan pendapat kompak bahwa Bupati dimakzulkan," kata Syauqi.

Di luar gedung ada massa yang berdemo mendukung rapat paripurna. Selama sidang, jalan protokol di sekitar DPRD ditutup. Hingga akhir rapat, tidak terjadi kericuhan di sekitar gedung.

Kustiono, koordinator massa, menyebut selama kepemimpinan Faida, Jember berada dalam ketidakpastian. Di antaranya besaran anggaran penanganan COVID-19 tidak transparan, laporan keuangan 2019 dinyatakan disclaimer dari BPK, hingga perencanaan anggaran daerah hanya pakai peraturan bupati yang berdampak mengesampingkan peran DPRD.

"Makin parah dengan adanya pandemi COVID-19 karena perencanaan anggaran penggunaan APBD yang hanya berdasarkan peraturan bupati praktis tanpa peran DPRD sama sekali, bahkan dewan tidak diberi tembusan terkait dengan anggaran dana COVID-19," kata Kustiono.

Terkait keputusan pemakzulan, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Bahtiar menyebutnya sebagai proses alamiah dalam alam demokrasi. DPRD, kata dia, punya fungsi pengawasan yang melekat. Kemendagri, lanjutnya, sudah meminta Gubernur Jawa Timur untuk memfasilitasi keputusan DPRD Jember sesuai aturan yang berlaku.

“Yang dilakukan DPRD Jember kan sebenarnya sah-sah saja, sebagaimana amanat pasal 80 UU Pemda, tinggal kita hormati proses politik dan hukumnya,” kata Bahtiar dalam keterangan tertulis, Kamis (23/07).

Faida Tetap Bekerja Seperti Biasa

Bupati Faida dalam rapat tersebut absen, karena kehadirannya dikhawatirkan memicu massa datang ke gedung DPRD, sehingga rentan terjadi penularan COVID-19. Ia meminta difasilitasi secara daring, tapi ditolak. Hingga akhir sidang, Faida absen, kendati DPRD ngotot kehadiran secara fisik.

"Apabila bupati hadir secara langsung dalam rapat paripurna hak menyatakan pendapat DPRD, maka dikhawatirkan akan membuat banyak warga yang datang baik yang mendukung atau menolak penggunaan hak menyatakan pendapat," kata Faida.

Faida juga menjawab tudingan abai terhadap rekomendasi DPRD. Dalam jawaban tertulis kepada DPRD, ia justru menyoal legalitas rapat paripuna karena tak dilengkapi lampiran dokumen materi dan alasan menyatakan hak berpendapat.

Aturan yang dimaksud yakni Pasal 78 ayat 2 PP 12/2018 tentang Tata Tertib DPRD mengamanatkan pengusulan hak menyatakan pendapat disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit, materi dan alasan pengajuan usulan pendapat serta materi hasil pelaksanaan hak interpelasi dan atau hak angket.

"Hak menyatakan pendapat bukanlah hak yang sifatnya bebas, melainkan hak yang dalam pelaksanaannya terikat kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur penggunaan hak tersebut," ujar Faida.

Faida juga menyinggung seputar mediasi penyelesaian permasalahannya dengan DPRD. Di antaranya terkait pembahasan anggaran yang selalu molor dalam empat tahun terakhir. Klaim Faida rekomendasi Mendagri telah dijalankan dengan mencabut belasan keputusan bupati dan menempatkan kembali pejabat yang diangkat pada 3 Januari 2018 silam.

Kendati sudah dimakzulkan, bupati tetap bertugas seperti biasa, karena kewenangan pemberhentian ada di Kementerian Dalam Negeri, itu pun masih perlu fatwa hukum terlebih dahulu dari Mahkamah Agung. Faida santai menanggapi pemakzulan. Ia akan menunggu langkah dewan ke MA dan tetap bekerja dan mengerem laju kurva COVID-19 di daerahnya.

Prosedur pemakzulan memang melibatkan perangkat hukum lebih tinggi. Merujuk Pasal 80 UU 23/2014, setelah proses politik, DPRD meminta penilaian MA. Waktu maksimal bagi MA menilai adalah 30 hari dan putusannya bersifat final. Bila putusannya terbukti melanggar, DPRD menyampaikan usulan kepada Mendagri dan punya waktu maksimal 30 hari untuk memutuskan setelah menerima usulan. Sedangkan bila DPRD tak mengusulkan pemberhentian maksimal 14 hari, menteri punya kewenangan langsung memberhentikan.

Menurut Edhi Siswanto dalam jurnalnya di Universitas Muhammadiyah Jember, akar konflik politik Jember dapat ditarik dari proses pencalonan hingga kampanye.

Menurutnya, ada empat penyebab konflik politik di Jember yakni penunjukan Fadia-Muqit oleh PDIP ditentang kader karena keduanya bukan kader partai; ada kampanye hitam oleh keduanya; KPU Jember dituding tak transparan; dan KPU melanggar aturan sendiri karena meloloskan Fadia-Muqit kendai telat 44 menit saat menyerahkan laporan keuangan kampanye.

"Upaya pencegahan konflik yang telah dilakukan penyelenggara pemilu ternyata belum mampu mencegah terjadinya konflik," tulis Edhi.

Baca juga artikel terkait PEMAKZULAN BUPATI JEMBER atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Politik
Reporter: Antara
Penulis: Zakki Amali