tirto.id - Pada September 1985, seorang penulis perjalanan kelahiran Inggris, Pico Iyer, bersama dengan 16 rekannya tiba di Lhasa, Tibet, Tiongkok, setelah mendapat izin cuti selama enam bulan dari majalah Time.
Ia termasuk dalam gelombang pertama orang asing yang berkunjung ke Tibet, seiring dengan dibukanya wilayah tersebut oleh pemerintah negeri tirai bambu untuk pengunjung mancanegara.
Dengan merogoh kocek sebesar USD2 per malam, ia bersama rombongannya menginap di Banak Shol Hotel dengan fasilitas yang cukup memprihatinkan. Menurutnya, ketika berada di dalam kamar, ia sangat sulit untuk bergerak. Bahkan, toilet umum tampak kotor dengan keran air yang sudah berkarat.
Setelah melewati malam pertamanya di Tibet, keesokan harinya, ia mengunjungi biara Ganden, yang saat itu hanya tampak tumpukan batu-batu yang rusak, pasca invasi Tiongkok ke Tibet pada tahun 1959. Selain itu, ia mendapat sambutan hangat dari tiga biksu yang mengajaknya untuk menikmati teh mentega yak asin dan roti kasar.
Keesokan harinya, saat menjelang fajar, ia melakukan perjalanan menuju pergunungan dengan melewati tenda-tenda yang terbuat dari serat yak, lengkap dengan lilin-lilin kecil di sekitarnya.
Setelah itu, ia melihat suatu pemandangan yang tidak biasa, kala menyaksikan beberapa orang Tibet sedang memotong-motong mayat manusia, “untuk dijadikan makanan bagi burung-burung pemangsa,” tulisnya dalam artikelnya yang berjudul “After 100 Hours in Tibet, I Knew It Was Time to Leave”.
Pemakaman Langit
Seturut Agus Mustofa dalam Jejak Sang Nyawa (2015), apa yang dilihat Pico Iyer merupakan ritual Jhator atau pemakaman langit (sky burial), yang telah dilakukan sejak ribuan tahun lamanya oleh masyarakat Buddha di Tibet.
Sebelum dikerumuni burung nasar di lokasi pemakaman, pada hari pertama kematiannya, jenazah terlebih dahulu disimpan selama tiga sampai lima hari di salah sudut rumahnya, untuk didoakan oleh para Lama (Biksu) agar roh dari tubuh yang ditinggalkannya terbebas dari siksa kematian.
Selama itu, para anggota keluarga yang ditinggalkan, untuk sementara waktu harus menghentikan segala aktifitas sehari-harinya. Hal ini dimaksudkan, agar menciptakan situasi “yang damai untuk memungkinkan perjalanan yang nyaman bagi kenaikan jiwa ke surga,” tulis Kham Sang dalam artikelnya yang berjudul “Sky Burial in Tibet: Exploring the Unique Customs of Tibetan Funeral”.
Seturut Catherine H. Shank dalam artikelnya yang berjudul "Sky Burials: Ecological Necessity or Religious Custom?” (Relics, Remnants, and Religion: An Undergraduate Journal in Religious Studies: Vol. 4: Issue.1, Article 7, 2019), pada saat prosesi pembacaan do'a, tubuh jenazah sangat terlarang untuk disentuh. Sebab, dalam kepercayaan Buddha Tibet, hal tersebut akan mengganggu proses pemindahan roh dari fisiknya.
Di samping itu, pihak keluarga harus menentukan hari yang menurutnya baik untuk proses pemakaman dan menghubungi para rogyapas (pembawa tubuh jenazah) untuk bersedia membawa jenazah.
Namun, satu hari sebelum keberangkatan menuju lokasi pemakaman, pihak keluarga terlebih dahulu harus melepaskan kain yang membungkus tubuh jenazah dan menekukkan tubuh jenazah hingga menyerupai posisi janin dalam kandungan.
Selain ditujukan untuk memudahkan para rogyapas membawa jenazah ke lokasi pemakaman di biara-biara yang terletak di pegunungan, posisi tubuh yang tertekuk merupakan lambang dari kelahiran kembali jiwa dalam kehidupan setelah kematian dalam agama Buddha.
Untuk menghindari ancaman roh jahat dalam prosesi pemakaman, para rogyapas melakukan gerakan memutar badan searah jarum jam sebanyak tiga kali dan mengulanginya sebanyak tiga kali ke arah yang berlawanan, sesaat jenazah keluar dari rumahnya. Sedangkan, para Lama melakukan penyucian diri kepada setiap orang turut serta dalam prosesi pemakaman.
Setibanya di lokasi pemakaman, yang dipenuhi dengan bendera-bendera bertuliskan do’a, para rogyapas mulai menguliti jenazah secara vertikal dari pangkal leher hingga ke tulang belakang dan memotong tubuh jenazah, dengan diiringi lantunan do'a dari para Lama.
Mengutip lamanWonders of Tibet, setelah itu, dupa juniper mulai dibakar untuk mengundang burung nasar memakan daging jenazah. Agar tidak ada yang tersisa, tulang-tulang jenazah kemudian ditumbuk oleh para rogyapas, yang kemudian dicampurkan dengan tsampa – tepung jelai yang merupakan makanan pokok masyarakat Tibet – dan teh mentega.
Bagi masyarakat Tibet, burung nasar dianggap suci dan memiliki arti penting dalam ritual pemakaman tersebut. Sebab, kehadirannya menjadi suatu indikator yang baik bagi perjalan roh menuju alam keabadian jika tubuhnya habis dimakan oleh burung tersebut.
“Dan jika sebaliknya, itu berarti pertanda buruk. Yakni, sang roh bakal mengalami reinkarnasi dalam kehidupan yang lebih buruk,” pungkas Agus Mustofa (2015).
Mengutip kembali laman Wonders of Tibet, pemakaman langit dilakukan sejalan dengan jejak inkarnasi Buddha Gautama di masa lalu, dalam bentuk Pangeran Sattva, ketika menyerahkan dirinya kepada seekor harimau betina yang sedang kelaparan dan siap untuk memakan anaknya sendiri.
Selain itu, bagi masyarakat Buddha Tibet, ritual pemakaman langit merupakan simbol dari ketidakkekalan tubuh manusia dan kesempatan terakhir dari setiap jiwa yang meninggal untuk berbuat kemurahan hati dengan memberikan makanan kepada burung nasar.
Namun, selama prosesi pemakaman berlangsung, pihak keluarga tetap tinggal di rumahnya. Bersama para Lama, mereka memanjatkan do’a selama 49 hari, sebagai bentuk dukungan emosional untuk membantu roh dari jenazah menuju kelahiran kembali yang lebih baik. Hal tersebut, dilakukan atas petunjuk dari kitab Bardo Thodol, yang merupakan kumpulan catatan tentang kematian dalam ajaran Buddha Tibet.
Seturut Nesa Alicia dalam lamanNational Geographic Indonesia, bahwa prosesi pemakaman tersebut, tidak dapat dilakukan oleh semua penganut Buddha di Tibet. Khususnya, bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun, wanita hamil, orang-orang yang meninggal akibat penyakit menular dan mereka yang meninggal karena kecelakaan.
Kehadiran orang asing/wisatawan sangat terlarang dalam prosesi pemakaman tersebut. Sebab, diyakini bahwa dapat berpotensi membawa energi negatif terhadap roh dari jenazah yang dimakamkan.
Meski begitu, dalam catatan Roller MaMing, dkk yang berjudul “Vultures and Sky Burials on the Qinghai-Tibet Plateau” (Vulture News 71, November 2016, pp. 22-35, terdapat beberapa situs pemakaman langit di Provinsi Qinhai dan Sinchuan yang terbuka untuk para wisatawan. Namun, tetap terdapat aturan yang diberlakukan selama menyaksikan dan mendokumentasikan prosesi pemakaman tersebut.
Pandangan Dunia Barat
Mengutip laman ZME Science, pemakaman langit menjadi suatu hal yang aneh bagi orang non-Tibet. Bahkan Pemerintah Tiongkok sempat melarang ritual tersebut sekitar tahun 1950-an. Namun, pada tahun 1980, atas dasar toleransi, ritual tersebut diperbolehkan kembali untuk dilaksanakan.
Sejak saat itu, beberapa sarjana Barat mulai menaruh perhatiannya terhadap pemakaman langit. Beberapa dari mereka, berpendapat bahwa masyarakat pemakaman langit yang dilakukan masyarakat Buddha Tibet, tidak terlepas dari kondisi tanah pegunungan yang keras, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan penguburan.
Selain itu, jarangnya pohon di pegunungan Tibet, menjadi faktor sulitnya kayu bakar untuk melakukan prosesi pemakaman dengan cara dikremasi, yang menjadi salah satu alternatif pemakaman dalam agama Buddha.
Namun, alasan-alasan tersebut dapat segera terbantahkan. Sebab, terdapat biara Sera dan Drigung, yang lokasinya berada tepat di kawasan hutan, tetap dijadikan sebagai tempat dari pemakaman langit.
Di samping itu, keberadaan oven kremasi menggugurkan kebutuhan kayu yang mendukung kremasi konvensional. Lebih dari itu, beberapa sarjana Barat terkesan terlalu “merasionalisasi praktik keagamaan yang melekat dalam Buddhisme Tibet,” pungkas Catherine H. Shank (2019).
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Nuran Wibisono