tirto.id - Guyonan ala fisik, menindas kelompok lemah, kata-kata kata kasar dan pedas adalah hal lazim di era 1980-an. Candaan macam ini juga kerap menjadikan perempuan sebagai objek, dan cerita-cerita berbau seks.
Humor slapstick memang populer kala itu. Grup-grup lawaknya pun sukses menjadi legenda, seperti Srimulat dan Warkop DKI, begitu juga dengan para pemainnya, salah satu di antaranya adalah Timbul.
Timbul terlahir dengan nama Suhardi di Magelang, Jawa Tengah pada 28 Desember 1942. Darah seni memang telah mengalir di tubuhnya, sebab ayah dan ibunya, Djumadi dan Suharti adalah pemimpin wayang orang Margo Utomo, kelompok ketoprak keliling daerah.
Dalam arsip Gatra, Timbul menganggap bahwa jalan hidupnya di ketoprak adalah suratan takdir, meski menyadari bahwa ketoprak kurang mampu membuat senimannya cepat kaya.
Penghasilan orangtua Suhardi tak mampu mencukupi kehidupan dirinya dan 5 orang saudaranya, hingga Suhardi terpaksa berhenti mengecap pendidikan kala duduk di kelas II sekolah teknik (sederajat dengan SMP). Suhardi pun masuk ke sebuah kelompok ketoprak di Wonosobo, hingga akhirnya dipinang oleh Siswondo, pemimpin ketoprak Siswo Budoyo, di Tulungagung, Jawa Timur.
Di kelompok seni itulah Suhardi perlahan menjadi bintang dan mampu membiayai hidupnya sendiri. Tak puas menjajal panggung di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Suhardi akhirnya pindah ke Bandung, Jawa Barat, tapi kemudian kembali ke kampung halamannya dan membangun grup wayang orang Samiaji.
Suhardi sukses mengibarkan Samiaji di tahun pertamanya, tapi perlahan oleng akibat pemain yang berguguran dan tawaran manggung yang berkurang. Perkumpulan ini pun akhirnya bubar. Untuk membayar honor dan pesangon anggotanya, Suhardi menjual gamelan dan kostum pemain.
Bekal pentas keliling Jawa rupanya membawa berkah bagi Suhardi. Pada 1979, ia bergabung bersama Srimulat, saat kelompok ini bermarkas di Surabaya. Dalam Surabaya Punya Cerita Vol. 1 yang ditulis oleh Dhahana Adi (2014: 43), Grup Lawak Srimulat didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo dan istrinya Raden Ayu Srimulat.
Nama grup Srimulat tersebut berasal dari nama sang istri. Setelah menikah, Teguh dan Srimulat membentuk kelompok sandiwara Gema Malam Srimulat di Solo pada 1950, dengan mengusung konsep dagelan Mataram.
Pada akhir 1960, perkumpulan ini pentas di Pekan Raya Surabaya, yang kemudian berganti nama menjadi Taman Hiburan Rakyat Surabaya, dan mampu membawa mereka menjadi pengisi acara tetap di lokasi.
Akibat paguyuban lawak inilah Suhardi berubah nama menjadi Timbul. Sebuah nama yang mulanya hanya sekadar panggilan dari rekan-rekannya, dan akhirnya menjadi nama panggung yang populer.
Bersama kelompok Srimulat, Timbul menaklukkan Jakarta dengan rajin tampil keliling, dan manggung di Taman Ria Senayan setiap pekan, dan semakin bercahaya setelah TVRI menayangkan komedi mereka sejak 1982.
Timbul dengan beragam pengalamannya terdahulu, menjadikan dia dipercaya menjadi sutradara Srimulat. Namun tahun 1986, Timbul memilih mundur karena bayarannya yang tak lagi mencukupi.
Kemudian Timbul pun menjajal layar lebar pada 1987, melalui film Makin Lama Makin Asyik bersama dengan Meriam Bellina dan grup Warkop DKI: Dono, Kasino, Indro, serta film Bendi Keramat pada 1988.
Pada 1998, Timbul kembali ke panggung. Kali ini, ia tak hanya menjadi pelawak, tapi juga sebagai pebisnis. Bersama dengan Erman Suparno, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi era SBY, mereka mendirikan Paguyuban Seni Samiaji. Grup lawak yang berisi 80 anggota, dan 50 orang di antaranya adalah keluarga Timbul.
Pengelolaan paguyuban tersebut tak main-main, mereka menjadikan kelompok ini menjadi PT Samiaji Indonesia Prima, dan menjadikan Timbul sebagai sutradara dan pemain.
Paguyuban ini pun melahirkan Ketoprak Humor, sebuah konsep gabungan antara ketoprak dan lawak, yang kemudian ditayangkan oleh RCTI. Meski sebagai pendiri dan sutradara di Ketoprak Humor, Timbul kerap memosisikan dirinya sebagai pelayan atau abdi dalem istana di Ketoprak Humor.
Pengelolaan yang baik membuat Samiaji bisa membayar para pemain Rp200 ribu hingga Rp 2 juta sekali pentas. “Kami juga mengasuransikan semua anggota,” kata Timbul dikutip dari Gatra.
Ketoprak Humor hanya tanda tangan kontrak dengan RCTI selama 6 episode, tapi karena rating yang bagus, kontrak itu menjadi setahun, dengan nilai Rp50 juta per episode.
Di balik kelucuan Ketoprak Humor, Timbul pernah berseteru dengan Topan dan Leysus, duet kakak beradik yang juga pemain Ketoprak Humor. Dua bersaudara itu pernah di non-aktifkan oleh Samiaji karena kerap mangkir. Menurut Timbul, pemecatan itu sebagai bentuk kedisiplinan.
Pemecatan itu terjadi setelah penampilan Gua Tengkorak di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Kok, sekarang seperti kacang lupa akan kulitnya,” ujar Timbul dikutip Gatra. Pernyataan itu diungkapkan Timbul karena kesal, sebab mereka tak pernah memberi kabar jika berhalangan tampil. Apalagi mereka adalah bintang, sehingga tentu mengecewakan penonton.
Namun di kubu Topan dan Leysus, mereka menyebut bahwa pemecatan itu karena rasa iri anggota lain kepada mereka. “Kita bisa hidup tanpa Ketoprak Humor,” kata Leysus. “Atau saya cepat meroket. Tapi, ini kan rezeki saya,” ujar Topan.
Kisruh itulah yang membuat Ketoprak Humor meredup. Lama tak muncul, Timbul pun kemudian dikabarkan menderita komplikasi penyakit. Penyakit tersebut tak hanya menggerogoti tubuh Timbul, tapi juga hartanya.
Seperti ditulis George Junus Aditjondro (2010:127) dalam Membongkar Gurita Cikeas, Timbul Suhardi pernah mendapatkan santunan dari Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK), pada 16 Maret 2009 karena dianggap berdedikasi dalam bidang kesenian khususnya lawak.
Sepuluh hari setelah mendapat bantuan dari YKDK atau tepat hari ini sepuluh tahun lalu, pada 26 Maret 2009 Timbul meninggal pada usia 67 tahun karena asam urat, diabetes, dan kolesterol. Seperti diberitakan oleh Tempo, Timbul meninggal di rumahnya, setelah empat bulan di rumah sakit akibat tiga penyakit yang sering kumat selama tiga tahun sebelum kematiannya.
Nunung, pelawak semasa di Srimulat mengatakan bahwa dirinya sempat berencana menggalang dana untuk membantu pengobatan Timbul, setelah Pemilu 2009. Penggalangan dana dilakukan baru pada 20 April 2009 dengan mementaskan Ketoprak Humor di Gedung Kesenian Jakarta.
“Tetapi sebelum rencana itu terwujud, dia sudah pergi menghadap Tuhan,” ujar Nunung dilansir Tempo.
Editor: Suhendra