tirto.id - Seorang ibu uring-uringan seraya sambil duduk di kursi dalam rumahnya. Perempuan itu resah dengan kebijakan demonitisasi--penarikan uang oleh pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi. Mulut ibu itu terus mengoceh, sementara itu sang asisten rumah tangga nampak mendengarkan.
Asisten rumah tangga itu menghampiri sang majikan. Ia mengulurkan ponsel pintar aktif yang menampilkan sebuah logo yang cukup mencolok tampil pada layar. “Chinta mat karo, Paytm Karo,” kata asisten itu. Bila diterjemahkan kurang lebih artinya “jangan khawatir, gunakan Paytm.”
Sebuah situasi keseharian keluarga di India ini merupakan iklan komersial yang digagas oleh Paytm. Paytm, sistem pembayaran non tunai yang sedang naik daun di India. Aplikasi ini kali pertama diluncurkan pada Januari 2014, melayani pembayaran hampir segala jenis kebutuhan transaksi di toko modern hingga pasar tradisional. Di India, pasar becek sayur mayur sudah masuk penetrasi jejaring Paytm dengan lapak dagangan bertanda khusus, sebuah hal yang tak mudah diterapkan di negara lain.
Aplikasi ini termasuk mudah diterapkan di lapangan termasuk di pasar. Pengguna yang membuka aplikasi Paytm di ponsel pintar, hanya perlu men-scan QR code yang terpasang di toko atau merchant saat berbelanja. Segala transaksi, bisa diselesaikan oleh Paytm. Operasional yang mudah, membuat layanan Paytm meningkat seiring kebijakan pemerintah India melakukan demonetisasi pada November 2016. Awalnya demonetisasi dilakukan untuk membatasi ruang gerak black moneyyang jadi program besar membasmi korupsi oleh PM Modi.
Baca juga:Resep Membasmi Korupsi ala India
Adanya demonetisasi membuat uang kertas senilai 500 dan 1.000 rupee dihapus atau ditarik oleh pemerintah. Menurut Quartz, uang rupee dengan dua pecahan itu menguasai 86 persen sirkulasi uang di India. Paytm alias “Pay Through Mobile,” sukses mengambil dampak kebijakan tersebut dan menjadikannya dompet digital terbesar di India dengan 220 juta pengguna.
Dr. Ravi CS dalam “Digital Payments System and Rural India: A Review of Transaction To Cashless Economy,” mengungkapkan pemanfaatan Paytm telah mengakar hingga ke wilayah-wilayah pelosok di India. Terdapat 82.746 pedagang di wilayah pelosok India yang sudah terkoneksi dengan Paytm. Tentu ini kemajuan yang pesat, karena pada 2012 sebanyak 86,6 persen transaksi di India masih dilakukan dengan cara tunai. Statista mencatat pada 2017 total nilai transaksi pembayaran digital di India diperkirakan menembus $43,8 miliar. India, secara cepat telah sukses beralih ke transaksi digital.
Secara umum, India menyajikan dua metode pembayaran atau transaksi cashless alias non-tunai. Pertama, memanfaatkan USSD, teknologi yang biasa kita gunakan untuk memeriksa pulsa *123#. Kedua, memanfaatkan teknologi UPI alias Unified Payment Interface, teknologi ini digunakan dalam aplikasi Paytm.
Paytm, jelas bukanlah dompet digital satu-satunya di India, selebihnya ada Aadhar pay. Aadhar pay terbilang istimewa, dompet digital ini mendapat promosi langsung oleh PM Modi. Aplikasi ini punya kemampuan layanan transaksi, di mana pengguna cukup meletakkan jari saat bertransaksi.
Sayangnya Aadhar pay kalah jauh dibandingkan dengan Paytm. Paytm melangkah lebih cepat, pada Mei 2017 aplikasi ini sukses memperoleh izin dari bank sentral India, Reverse Bank of India. Paytm bisa beroperasi selayaknya bank-bank konvensional lainnya, tapi punya beberapa keterbatasan dari fungsi perbankan.
Kendala di Indonesia?
Apa yang dilakukan di India lebih dikenal dengan istilah cashless society. Istilah ini bukan barang baru di dunia maupun di Tanah Air. Manfaatnya memang positif, dari aspek kemudahan bertransaksi, keamanan, dan pastinya efisiensi. Berapa banyak kertas yang bisa dihemat dengan berkurangnya uang kartal yang beredar di masyarakat nantinya.
Satu dekade lalu Bank Indonesia (BI) sudah mulai menyiapkan gagasan masa depan ini. Dalam sebuah tulisan berjudul “Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money” yang digagas Tim Inisiatif 2006 Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai dari Bank Indonesia, penggunaan transaksi non-tunai akan semakin meningkatkan efisiensi perekonomian dalam masyarakat. Pada 2014, bahkan sempat ada “Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT)” yang diinisiasi BI.
Temuan dari tim tersebut, sebanyak 71 persen masyarakat menerima untuk memanfaatkan e-money dalam transaksinya sehari-hari. Selain itu, Tim Inisiatif 2006 juga menyebut bahwa merchant alias pedagang telah mengadopsi sistem pembayaran non tunai hingga menyentuh angka 49,7 persen. Sayangnya, lebih dari 10 tahun selepas Tim Inisiatif 2006 bekerja, kondisi pembayaran non tunai di Indonesia masih kalah jika dibandingkan India.
Berdasarkan data Statista, pada 2017 ini, total nilai transaksi pembayaran digital di Indonesia menyentuh angka $18,6 miliar. Secara total, nilai transaksi pembayaran digital atau digital payment di seluruh dunia menyentuh angka $786,11 miliar. Ini artinya, Indonesia baru menyumbang sekitar 2 persen dari nilai transaksi global. Bandingkan misalnya dengan India, mereka menyumbang sekitar 6 persen.
Indonesia memang tak tinggal diam, perkembangan era digital dalam dunia keuangan bergerak cepat, termasuk berkembangnya financial technology (fintech) yang menyasar kepada layanan perbankan, antara lain layanan transaksi non tunai.
Baca juga:Start-Up Fintech Mulai Ambil Alih Fungsi Bank
Hendrikus Passagi dalam “Fintech in Indonesia” mengungkapkan bahwa terdapat 6 kategori dengan 20 tipe Fintech di Indonesia. Kategori Payment atau pembayaran digital berada di posisi teratas dengan persentase mencapai 44 persen. Go-Pay dari Go-Jek, merupakan salah satu bagian dari Fintech yang cukup mendominasi. Merujuk pada katerangan Nadiem Makariem pada Tech in Asia November 2016, telah terjadi 100 juta transaksi yang menggunakan Go-Pay.
Hal demikian, secara menyeluruh telah menempatkan Go-Pay di posisi ke-4 sebagai digital payment yang sering digunakan merujuk pada apa yang dipublikasikan eMarketer. Di urutan satu hingga tiga terdapat Mandiri e-Money, BCA Flazz, dan T-Cash yang memimpin menjadi medium cashless yang populer digunakan. e-Money dari bank Mandiri serta Flazz dari BCA, jelas tak bisa diserupakan dengan teknologi macam Go-Pay dan T-Cash dari Telkomsel.
Baca juga:
Ramai-Ramai Menjadikan Go-Jek Sebagai Sebuah Bank
Jurus Bank Konvensional Menghadapi Era Fintech dan Milenial
Indonesia masih menghadapi tantangan cukup besar mengalihkan masyarakatnya menggunakan sistem pembayaran non-tunai. Sebelum jauh-jauh memanfaatkan alat pembayaran Fintech yang tinggal klik dalam sebuah aplikasi, kepemilikan kartu kredit dan kartu debit, yang masih bisa dimasukkan dalam kerangka instrumen non-tunai, masih kurang diadaptasi masyarakat Indonesia.
Baca juga:Start-Up Fintech Mulai Ambil Alih Fungsi Bank
KPMG, sebuah firma audit swasta dalam laporannya berjudul “Retail Payment in Indonesia: Who Will Drive The Cashless Revolution” mengungkapkan bahwa hanya terdapat delapan persen penduduk berusia lebih dari 15 tahun yang memiliki kartu debit. Padahal, rata-rata di Asia Pasifik, 15 persen penduduk usia di atas 15 tahun telah memiliki kartu debit. Dalam kasus kartu kredit, hanya satu persen penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 15 tahun yang memiliki kartu kredit.
Tantangan di Indonesia untuk mengubah masyarakatnya beralih pada sistem pembayaran non tunai tidaklah mudah. Apalagi persoalan literasi keuangan di Indonesia relatif masih rendah. Di sisi lain perkembangan penggunaan ponsel terus berkembang pesat sebagai modal lain untuk membentuk sebuah masyarakat dengan transaksi non tunai. Namun, yang tak kalah penting dan bisa dipetik dari pengalaman India, adanya campur tangan pemerintah.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra