tirto.id - Kurang dari 10 bulan, dunia otomotif Indonesia diwarnai dua peristiwa yang cukup mengagetkan. Ford Motor Indonesia (FMI) memutuskan hengkang dari Indonesia Januari lalu, yang disusul pengumuman perginya Mazda Motor Indonesia (MMI) Oktober ini. Kepergian MMI sebagai kepanjangan tangan prinsipal Mazda Motor Corporation (MMC) Jepang, bukan berarti nasib Mazda telah tamat di Indonesia.
Keputusan yang diumumkan resmi 14 Oktober 2016 lalu, hanya sebagai pengalihan bisnis distribusi kendaraan dan suku cadang Mazda kepada PT Eurokars Motor Indonesia. PT Eurokars Motor Indonesia akan mulai beroperasi sebagai distributor Mazda mulai Februari tahun depan. Eurokars bukan pemain baru, mereka selama ini sebagai distributor Mazda di Singapura, mitra dealer Mazda di Indonesia, dan Australia.
"Itu keputusan Mazda Motor Corporation. Langkah ini bertujuan untuk memaksimalkan potensi Mazda berkembang di pasar Indonesia," kata Manajer Pemasaran Senior MMI Astrid Ariani Wijana dikutip dari Antara.
Langkah strategis semacam ini sudah pasti diputuskan oleh sang prinsipal, Mazda Motor Corporation. Bila melihat kinerja Mazda secara global, tak memperlihatkan ada masalah di internal Mazda. Dari sisi penjualan dan keuntungan, mereka masih mampu tumbuh meski fluktuatif. Berdasarkan laporan keuangan resmi Mazda, pada tahun fiskal 2013 mereka sempat mencatatkan net income 34,304 miliar yen, tahun ini melonjak menjadi 134,419 miliar yen. Penjualan global Mazda juga tumbuh dari 1,272 juta unit di 2010 naik jadi 1,397 juta unit di 2015.
Ini membuktikan keputusan Mazda Jepang cabut dari Indonesia, dan menyerahkan segala urusan ke Eurokars Indonesia, lebih karena keputusan bisnis yang dipengaruhi persoalan domestik di Indonesia. Salah satu yang paling mencolok adalah soal angka penjualan yang tak berkembang.
Sulit Berkembang
Penjualan Mazda di Indonesia memang relatif tak menggembirakan. Semenjak operasi Mazda yang langsung ditangani oleh MMC pada 2006, penjualan Mazda berfluktuatif. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada 2010 mereka mencatat penjualan 6.012 unit. Lima tahun berselang, pada 2015, Mazda hanya membukukan penjualan sebanyak 9.334 unit.
Dengan angka penjualan yang tidak terlalu signifikan, maka pangsa pasarnya pun bisa disebut stagnan. Pada 2010, Mazda mencatat pangsa pasar 0,7 persen dari total penjualan mobil, tahun lalu angkanya tak terpaut jauh hanya 0,9 persen.
Di sinilah hitung-hitungan bisnis sebuah agen penjual mobil sangat menentukan. Nilai ekonomis penjualan mobil sangat berperan bagi para agen pemegang merek mobil termasuk yang mengandalkan impor seperti Mazda, yang rentan pada kurs dolar hingga kebijakan pajak dan bea masuk impor. Angka 10.000 unit jadi angka keramat yang menentukan, itu artinya hanya sekitar 1 persen dari total pasar Indonesia. Mazda atau merek-merek lainnya yang mengandalkan penjualan di bawah 10.000 setahun harus berjuang keras.
Untuk mengukur seberapa batas nilai ekonomis sebuah penjualan mobil memang sangat relatif. Namun dari hitungan di atas kertas dari data total penjualan mobil 2015 lalu yang mampu terjual 1.013.291 unit, maka dengan anggota Gaikindo yang berjumlah 25 entitas bisnis, jika dirata-rata penjualannya sekitar 40.000 unit per tahun.
Tahun lalu, sebanyak 510.224 unit mobil terjual dari merek di bawah naungan Astra (Toyota, Daihatsu, Isuzu, Peugeot, UD Trucks), non ASTRA (Honda, Suzuki, Mitsubishi, dan Nissan) sebanyak 418.693 unit. Sisanya merek lain ini mencakup 16 anggota Gaikindo lainnya termasuk Mazda, Ford dan lainnya mampu menjual hanya 84.374 unit.
Artinya rata-rata setiap merek mobil lainnya termasuk Mazda hanya menjual 5.273 unit per tahun. Angka penjualan ini jelas jauh di bawah rata-rata keseluruhan penjualan mobil, termasuk merek lainnya yang sudah punya pabrik di Indonesia seperti Nissan, yang sedang naik daun dengan Datsun Go, tahun lalu mampu menjual 25.108 unit atau Suzuki yang mencatatkan penjualan 121.805 unit.
Mazda sebenarnya tak berdiam diri, pada Juli 2016, sempat meresmikan pembukaan dealer resmi ke-46 di Indonesia, yang berlokasi di Puri Indah, Jakarta Barat. Dealer Mazda di Puri merupakan ke-21 untuk kawasan Jabodetabek. Artinya Mazda masih punya kemauan untuk tumbuh mengambil kue pasar mobil Indonesia yang besar.
Jumlah dealer Mazda tak beda jauh dengan Ford yang mencapai 44 dealer di seluruh Indonesia, sebelum mereka hengkang. Jumlah ini sangat tak seimbang dengan jangkauan pasar dari total 34 provinsi di Indonesia. Bandingkan dengan Nissan yang punya 117 dealer di Indonesia, atau Mitsubishi yang mencapai 250 dealer.
Jauh sebelumnya, Mazda juga mencoba sebuah terobosan untuk mencicipi segmen pasar paling gemuk di Indonesia yaitu small MPV yang di dalamnya ada Avanza dan Xenia. Pada Mei 2013, Mazda meluncurkan Mazda VX-1 yang basisnya mirip dengan Suzuki Ertiga. Keputusan ini, jelas sebagai tanda mereka tak mau berdiam diri sebagai penonton di pasar yang dinamis. Mazda VX-1 tak sukses di pasaran, meski sudah ada sentuhan kegiatan perakitan di dalam negeri.
Sayangnya upaya itu tak berhasil mengangkat kinerja Mazda. Platform Mazda memang tetap kukuh untuk bertahan di segmen highend. Sehingga ketika para kompetitor mampu membuat pasar baru dengan hadirnya mobil murah atau LCGC, Mazda memutuskan hanya jadi penonton saja. Ini sudah barang tentu, karena Mazda memang tak punya pabrik perakitan maupun produksi di Indonesia.
"Kami tidak ada rencana sama sekali bermain di LCGC," kata Manajer Pemasaran Senior MMI Astrid Ariani Wijana dikutip dari Antara.
Sikap Mazda yang juga masih fokus menjual line up mereka dengan mengimpor produk baru dari basis produksi di negara ASEAN lainnya maupun Jepang, memiliki kelemahan dari sisi daya saing dan ketangkasan membaca arah pasar mobil di Indonesia yang terus berkembang dinamis. Apalagi pemerintah terus berupaya menaikkan tarif-tarif impor mobil utuh (CBU) sehingga berimbas pada agen mobil yang bergantung pada impor seperti Mazda.
Hanya Berdagang
Secara tak langsung, kebijakan pemerintah mengambil peran dari keputusan prinsipal mobil global seperti Mazda maupun Ford dan agen lainnya yang masih mengandalkan impor dalam memasarkan produk mereka. Bagi pemerintah, gaya bisnis semacam ini jauh dari komitmen untuk menciptakan industri yang bernilai tambah di Indonesia. Pemain otomotif seperti Mazda maupun Ford dianggap hanya sebagai pedagang semata.
“Soal Mazda, nggak ada urusan dengan kita perindustrian, mereka nggak punya pabrik kok. Mereka hanya berdagang di sini,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) I Gusti Putu Suryawirawan kepada tirto.id, Selasa (18/10/2016)
Pemerintah memang mendorong agar pemain otomotif berinvestasi di Indonesia dengan membuat pabrik perakitan atau produksi sebagai komitmen serius mereka. Tahun lalu, pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menaikkan bea masuk impor termasuk produk mobil, di tengah banyaknya perdagangan bebas. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor berlaku sejak Juli. Dengan berlakunya kebijakan ini, tarif bea masuk (BM) impor mobil secara utuh atau completely build up (CBU) naik dari 40 persen menjadi 50 persen.
Dunia otomotif bukanlah platform bisnis yang dikemas dalam tempo singkat, dengan mengharapkan sesuatu yang besar akan datang. Industri ini sebuah bola salju yang menggelinding terus menerus demi menumbuhkan keyakinan konsumen, tak cukup hanya soal angka-angka penjualan, tapi juga kepastian purna jual seperti jaringan dealer yang terjangkau. Untuk itu, sangat sulit pemain lama seperti Toyota, Daihatsu, hingga Honda, digeser oleh pemain baru seperti Mazda maupun Ford, yang kalah jauh dalam memulai.
“Pendatang baru juga pasti bisa turut berkiprah di pasar Indonesia, asalkan punya, the right product , the right price, dan the right timing,” kata Ketua I Gaikindo Jongkie D. Sugiarto kepada tirto.id.
Mazda memang sudah menentukan keputusannya, dengan menyerahkan pengelolaan ke mitra barunya.
Orang-orang Jepang yang biasa mengurus Mazda memang bakal pergi ke kampung halamannya, tapi mobilnya masih akan berkeliaran di Indonesia. Kini, harapan itu ada di PT Eurokars Motor Indonesia, sebagai bapak angkat baru dari Mazda. “Saya yakin mereka akan lebih memperkuat merek Mazda di Indonesia,” kata Keizo Okue, Presiden Direktur PT MMI.
Dengan belum adanya pabrik di Indonesia, komitmen Mazda di Indonesia memang akan dianggap masih meragukan. Ia bisa setiap saat hengkang seperti Ford. Jika sudah demikian, konsumen tentu akan berhitung ulang. Mereka cenderung akan memilih produsen yang sudah memastikan kehadirannya di Indonesia. Karena itu, meyakinkan konsumen akan menjadi pekerjaan berat bagi Eurokars sebagai mitra lokal Mazda.