tirto.id - Dunia otomotif Indonesia beberapa tahun terakhir diwarnai dengan dinamika, mulai dari kondisi pasar yang lesu hingga gejolak pemain otomotif yang mengangkat bendera putih tanda menyerah di tengah persaingan yang ketat.
Tahun lalu, Chevrolet memutuskan menutup pabrik perakitan untuk MPV Spin yang awalnya jadi harapan besar mereka. Belum genap satu bulan menapaki Januari 2016, Ford Motor Indonesia angkat kaki dari pasar Indonesia secara tiba-tiba. Berselang 10 bulan, Mazda secara mengejutkan mengumumkan mengalihkan kegiatan penjualan mobil dan suku cadang Mazda ke Eurokars yang merupakan salah satu mitra mereka.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia otomotif di Tanah Air? Pengamat otomotif Munawar Chalil mencoba memetakan persoalan ini. Berikut petikan wawancaranya dengan Reja Hidayat dari tirto.id, di Jakarta, Senin (17/10/2016)
Kasus Chevrolet, Ford, hingga Mazda yang terjadi belakangan ini, apakah pasar Indonesia sudah tak menarik bagi prinsipal?
Itu kasusnya berbeda-beda. Chevrolet dan Mazda itu tidak hengkang. Ada persepsi yang salah, yang benar-benar hengkang itu Ford, tapi kemudian Ford menunjuk perusahaan lain untuk mewakili kepentingannya di Indonesia. Kemarin sudah ditunjuk perusahaan baru (RMA Group). Perusahaan ini juga beroperasi di Cina, Myanmar dan lain-lain.
Khusus untuk Chevrolet, mereka tidak cabut. Mereka sampai hari ini dealernya terus bertambah, after sales-nya terjaga. Ada yang salah persepsi, mereka menyamakan penutupan pabrik Spin dengan cabutnya Chevrolet. Itu dua hal yang berbeda lagi. Ini seperti menghentikan produksi mi instan rasa apa, bukan berarti yang lain ditutup. Jadi yang ditutup, pabrik khusus model Chevrolet Spin.
Jadi, Chevrolet menghentikan produksi mobil di Indonesia, tapi di Brazil dan negara lain Chevrolet masih produksi Spin. Untuk Indonesia saja dihentikan membuat Spin di sini. Daya serap pasar dengan model seperti itu, dia kalah bersaing dengan Jepang. Jadi biar efisien, pabrik Chevrolet Spin tutup. Tapi, model-model yang lain Chevrolet Captiva, Chevrolet Trax. Bahkan Chevrolet Blazer akan di-launching bulan ini. Semua itu masih mereka jual. Jadi dua hal yang sangat berbeda.
Bagaimana dengan kasus Mazda menurut Anda?
Untuk Mazda, dia tidak pergi dari Indonesia. Selama 10 tahun periode full Jepangnya, pabriknya langsung didatangkan untuk membangun brand image dulu (di Indonesia). Sekarang, dia merasa sudah mendapat tempat di pasar otomotif. Supaya lebih efisien, dia menunjuk perusahaan lokal, khusus untuk distribusi. Bukan Mazda Motor Indonesia ditutup, enggak demikian. Dia pasti memiliki pertimbangan sendiri, kenapa distribusi ditunjuk perusahaan lokal.
Yang mengerti pasar orang lokal, jadi dia (mitra) tinggal menjadi importir saja. Jadi after sales perawatan mobil di distributor yang notabennya perusahaan lokal tadi. Eurokars ini, punya orang Indonesia yang basis perusahaannya di Singapura. Dia satu grup dengan Rolls Royce, Porsche, BMW IM, Maserati.
Selain itu, Eurokars itu juga sudah memiliki dealership Mazda. Jadi Eurokars itu salah satu jaringan dealer Mazda terbesar. Mungkin diserahkan kepada dia. Jadi bukan Mazda yang pergi, mereka jalan terus tapi jadi importir saja. Kalau awalnya beli langsung dari Mazda, sekarang melalui distributor Eurokars.
Ada yang menilai kasus Mazda kalah dalam membaca segmen pasar di Indonesia?
Saya tidak tahu. Tapi yang pasti ada efisiensi. Biar efisien dikasih outsourcing saja. Tapi kalau Ford, dia kalah bersaing makanya ditutup. Beda dengan Chevrolet, khusus untuk model Spin saingannya banyak, ada Avanza dan mobil murah lainnya, ternyata pas dipasarkan orang tetap dengan produk Jepang.
Ya sudah, dia (Chevrolet Spin) full out. Setelah dia mencoba dua-tiga tahun, susah ya menembus dominasi produk pasar bawah di Indonesia. Kalau orang baru pertama beli mobil, jadi uangnya pas-pasan. Kalau uangnya pas-pasan, orangnya pasti cari yang aman dong yang sudah terbukti puluhan tahun. Sekarang Chevrolet tidak produksi produk murahnya, tapi kelas menengah dan atasnya tetap produksi.
Kalau Mazda, dia tidak ada produk murah. Dia pasarnya memang menengah atas. Mobil Mazda yang paling murah harganya hampir Rp300 juta untuk Mazda2. Persaingannya tidak seketat Chevrolet. Jadi kasus Mazda itu berbeda lagi, mungkin dalam volume penjualan dia lebih efisien dengan distribusi. Sama juga dengan majalah, kalau cuma cetak 10.000, untuk apa saya beli mesin cetak. Lebih baik saya lempar saja ke percetakan dan bayar percetakan saja. Mungkin Mazda berpikir seperti itu.
Jadi akar persoalan Mazda ini apa sebenarnya, menurut Anda?
Mazda itu benar-benar menjalankan business plan. Dalam arti dari dulu dia sudah hitung. Ini seperti saya datang, bangun dulu, setelah kuat saya serahkan kepada orang lain. Istilahnya, saya sudah 10 tahun dan brand building itu susah dan mahal. Kalau diserahkan diawal kepada orang lokal untuk membangun image, pasti orang lokal tidak mau juga berinvestasi. Kenapa? kan bukan punya saya.
Contoh lainnya Anda tahu warung rokok. Yang nempel iklan rokok dan spanduk rokok bukan yang punya warung. Pabrik rokoknya dong. Sama, 10 tahun pertama, mereka kerjanya nempel-nempelin itu. Sekarang dia suruh si warung rokok yang nempelin tapi dia dikasih uang. Ini tempel sendiri ya, begini, begini. Itu yang saya tangkap dari pernyataan resmi Mazda. Jadi Mazda itu menjalankan business plan.
Kalau Chevrolet, memang business plan-nya meleset. Harapannya dapat menjual murah mobil Chevrolet Spin, bisa dapat kue yang signifikan di pasar Avanza, Xenia. Ternayata tidak terpenuhi, akhirnya ditutuplah pabriknya. Kalau ada yang pesan, diimpor dari Brasil, Cina, Rusia. Di Brasil, Chevrolet Spin sukses tetapi di Indonesia gagal. Kenapa? banyak faktor ya. Memang ekonomi kita juga lagi sulit, daya beli dan penjualan mobil juga turun. Pasar tertekan. Jadi ketiga-tiga kasus itu berbeda.
Perbedaan segmen pasar ketiganya bagaimana?
Kalau Mazda dari awal tidak mau manja, bertarung di pasar bebas. Mazda melepaskan produk-produknya dan bersaing di pasar bebas. Mazda enggak peduli, promosi, iklan. Kalau Ford, dia tergantung pada penjualan armada. Ford itu dari dulu ogah-ogahan antara mau atau nggak untuk mendorong mobil penumpang.
Jadi seperti sedan, SUV, hatchback itu seadanya saja dia promosikan karena mereka dapat kue yang besar dari penjualan armada. Armadanya di segmen mobil double cabin yang ke tambang-tambang. Dalam dua tahun ini, tambang-tambang kita nyungsep. Pesanannya berhenti dong, tambang pada tutup. Ngapain ganti mobil.
Pada saat permintaan dari tambang, perkebunan itu turun. Kendaraan penumpang Ford seperti sedan dan SUV nggak cukup besar untuk menopang bisnisnya. Jadi keenakan jual armada ke pertambangan, sekali jual 1.500 unit, 1.000 unit atau 500 unit. Jadi nggak pernah jual satuan. Kalau Mazda lebih kuat, kenapa? karena Mazda bertarung di pasar bebas dan tidak mau bergantung kepada penjualan armada banyak.
Jadi lebih bertahan dari guncangan pasar. Ford itu kuat sekali imagenya di perusahaan-perusahaan penggunaan armada. Pengguna individual tidak kuat makanya begitu industri (pertambangan) yang menyerap armadanya bermasalah, Ford akan menimbulkan masalah juga. Itu bedanya Mazda sama Ford. Kalau levelnya sama, Ford tidak memiliki mobil murah.
Jadi ketiga merek mobil itu (Chevrolet, Mazda, Ford), intinya ada di sini, tetapi untuk Ford AS yang cabut dan ditunjuk perusahaan penggantinya. Mazda masih APM (agen pemegang merek) di Indonesia. Yang disalahartikan adalah, Mazda menunjuk perusahaan lain untuk menjadi distributornya. Sama juga dengan rokok Gudang Garam, kalau dia distribusi sendiri ya nggak efisien, dia tunjuk perusahaan Jawa Tengah siapa distributornya. Kalau semua karyawan Gudang Garam yang distribusikan, ya ribet. Sekarang zamannya outsourcing.
Apakah ini strategi yang salah yang dilakukan oleh Ford, Mazda, dan Chevrolet?
Saya tidak bisa bilang itu salah strategi. Fokus untuk Mazda, memang bagian dari business plan Mazda. Kalau Ford, dia kalah berasing saja. Begitu juga Chevrolet. Dia tidak cabut tapi satu pabrik khusus perakitan MPV Spin itu saja yang ditutup. Yang lain tetap ada. Kalau ditanya salah strategi, saya tidak bisa sebut karena untuk mengukur strategi susah karena semua bisnisnya masih ada. Kecuali semuanya bangkrut dan cabut dari Indonesia.
Jadi ini membuktikan pasar otomotif Indonesia hanya bisa dinikmati bagi mereka yang sudah merintis sejak lama seperti Honda dan Toyota dengan jaringan dealer mereka yang luas?
Itu otomatis. Siapa yang datang duluan, dia pasti dapat lebih banyak dong. Kalau Toyota sudah 50 tahun di sini. Otomatis kue yang terbesar untuk pendatang awal dong. Yang belakangan harus bertarung kue itu. Itu yang terjadi pada tiga produk tersebut bertarung. Berapa yang mereka dapat? masing-masinglah, tapi otomatis siapa yang cepat, pasti dia yang paling banyak menikmati. Semua butuh waktu, saya kira semua bisnis seperti itu. Bukan berarti nggak ada tempat untuk produk baru, akan selalu ada tempat bagi produk baru dan sekuat dan semenarik apa produk tersebut. Itu harus diuji dan waktu yang menguji produk tersebut.
Bagaimana dengan faktor selera pasar yang membuat para pemain otomotif harus angkat kaki?
Pasti. Justru selera pasarlah yang sangat menentukan. Produk yang tidak bisa memenuhi selera pasar, otomatis gagal dong.
Bisa dibilang ini bisa jadi pelajaran bagi pemain yang setengah-setengah masuk pasar otomotif Indonesia, yang hanya modal coba-coba, sebatas impor, bakal tersingkir?
Memang. Persaingan pasar Indonesia itu keras. Jadi kalau setengah-setengah pasti bubar, nggak bisa. Kalau mau investasi harus benar-benar konsisten dan komitmennya harus penuh. Orang Indonesia itu sangat hati-hati dalam memilih produk. Jadi tidak ada tempat bagi pihak yang sekadar mau mencoba-coba.
Setelah ada kasus Chevrolet, Ford, Mazda, kini justru ada pemain baru hadir dari Cina yaiu Wuling, yang membangun pabrik besar. Apa artinya?
Wuling kan bagian dari GM (General Motors). Mereka bekerja sama. GM siapa? ya Chevrolet lagi. Silakan saja masuk pemain baru, nanti waktu juga yang akan membuktikan, apakah pemain baru ini bisa diterima dengan baik oleh pasar atau tidak. Hari ini kita tidak bisa nilai karena mereka juga baru mulai. Kita tunggu, bisa nggak mereka meyakinkan pasar Indonesia dengan image mereknya. Toh Toyota saat merintis di Indonesia tahun 1940, tantangan sama.
Ketika Toyota masuk, nggak ada orang Indonesia mau membeli mobil Jepang, pada saat itu mobil Eropa dan Amerika Serikat. Lihat saja mobil Bung Karno, ada yang mobil Jepang? tidak ada, semua mobil Eropa seperti Marcedes Benz. Tetapi karena Jepang konsisten, serius dan bersungguh-sungguh jadi dia kuasai pasar. Gantian menguasai, ini bisnis yang normal.
Jadi pesan yang bisa jadi pelajaran dari mereka semua, apakah memang investor mobil harus totalitas masuk pasar Indonesia, dengan membangun industri, atau hanya coba-coba?
Mereka harus total dan komitmen. Kemudian harus pintar menemukan selera pasar Indonesia. Mereka harus tahu selera orang Indonesia. Kalau sudah tahu selera pasar Indoneisa tidak langsung otomatis bisa, mereka juga harus meyakinkan bahwa produk mereka layak utuk dibeli. Jadi bukan hanya gaya, desain dan segala macam tetapi ada jaminan after sales, suku cadang ada nggak, cepat nggak, bengkelnya ada di mana saja.
Makanya APM mobil sangat terobsesi dengan jumlah dealer dan bengkel. Kenapa? karena kalau ada apa-apa dengan mobil, bisa ditangani langsung. Misalnya kalau tinggal di Klaten, bengkelnya juga ada di Klaten. Bukan di Yogya. Itu untuk kelas masyarakat bawah. Beda dengan Rolls Royce, yang beli setahun cuma 10 orang. Jadi cukup satu bengkel di Jakarta. Kalau perlu mekanik, dia kirim pakai pesawat.
Lexus sampai saat ini hanya satu di Jakarta. Mau buka satu lagi. Kenapa dia melayani seluruh Indonesia, hanya 400-500 unit per tahun. Dan Lexus mobil premium. Paling murah berapa miliar rupiah, begitu juga dengan Porsche, Maserati. Kalau Porsche hanya jual 300-400 unit saja per tahun. Dan mobil seperti itu jarang rusak. Kenapa? karena jarang dipakai. Biasanya untuk hari Minggu dan jalan-jalan saja. Setahun saja belum tentu jalan 3.000 km. Bandingkan dengan Avanza, bisa 20.000 km per tahun.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Suhendra