tirto.id - Tak banyak yang bisa menjadi seperti Arie Frederik Lasut. Ia dikenal sebagai sosok muda yang sangat berbakat dalam bidang geologi dan pertambangan. Belanda berkali-kali merayunya agar bersedia bekerjasama mengeksplorasi perut bumi Indonesia yang memang kaya-raya. Namun, Lasut pantang terhasut. Ia selalu menolak ajakan tersebut.
Lasut bukan hanya ahli geologi, tapi juga seorang yang sangat setia terhadap tanah airnya. Ia sebenarnya mau-mau saja membantu Belanda jika hal itu juga diminta oleh pemerintah RI. Tapi, jika harus menggadaikan nasionalisme hanya demi kepentingan diri sendiri, Lasut tidak sudi.
"Kalau pemerintah Republik lndonesia memerintahkan saya untuk bekerjasama dengan tuan-tuan dari Belanda, maka saya akan mematuhinya demi pemerintah dan rakyat lndonesia,” begitu ucap Lasut suatu kali (Umasih, Sejarah Pemikiran Indonesia Sampai dengan Tahun 1945, 2006:61).
Namun, Indonesia yang baru saja merdeka saat itu tentu saja tidak ingin jatuh ke dalam cengkeraman Belanda lagi. Baru sesaat rakyat Indonesia menghirup udara kemerdekaan, Belanda dengan topeng barunya, NICA, keburu datang. Lasut pun ikut berjuang meskipun pada akhirnya ia harus mati muda lantaran menampik kehendak Belanda.
Cerdasnya Anak Minahasa
Arie Frederik Lasut adalah putra asli Minahasa, Sulawesi Utara. Lahir pada 6 Juli 1918, ia adalah anak sulung dari 8 bersaudara. Lasut dikenal cerdas sejak kecil. Setamat sekolah dasar di Hollands Inlandsche School (HIS) Tondano sebagai juara kelas, ia memperoleh beasiswa ke Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK), sekolah pendidikan guru di Ambon, Maluku.
Prestasi Lasut terus berlanjut. Tahun 1933, ia lulus sebagai salah satu siswa terbaik dan terpilih meneruskan studi ke HIK Bandung (Sejarah Pendidikan Daerah Maluku, 1980:6). Di masa remaja yang baru memasuki usia 15 tahun itu, Lasut sudah merantau ke Pulau Jawa yang jauh dari kampung halamannya di utara Sulawesi.
Belum lama sekolah di Bandung, minat Lasut untuk menjadi guru rupanya mengendur. Profesi mulia itu ternyata bukan cita-citanya. Lasut menempuh pendidikan di sekolah guru hanya untuk menyenangkan kedua orang-tuanya, terutama sang ayah yang memang seorang guru sekolah dasar.
Lasut justru mulai tertarik berkecimpung di ranah pergerakan berkat pergaulannya yang semakin luas di Kota Kembang. Banyak siswa HIK Bandung yang terpengaruh dalam pergerakan nasional, Lasut termasuk salah satunya (Mardanas Safwan, Arie Frederik Lasut, 1982:23).
Bersusah-payah Demi Kuliah
Atas dasar itulah Lasut akhirnya meninggalkan Bandung dan hijrah ke Batavia (Jakarta). Di kota yang menjadi sentrum pergerakan nasional itu, Lasut memutuskan untuk melanjutkan studinya yang sempat terputus di Bandung. Namun, bukan di sekolah guru, ia memilih masuk sekolah menengah umum, Algemeene Middelbare School (AMS) dan lulus tahun 1937.
Lasut kini rupanya tertarik ilmu kedokteran. Ia pun mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa di Geneeskundige Hoogeschool te Batavia. Inilah cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sayangnya, Lasut gagal menamatkan kuliah karena kesulitan dana (Album Pahlawan Bangsa, 1983:60).
Demi bertahan hidup dan menjaga asa agar bisa melanjutkan kuliah lagi, Lasut pun mencari pekerjaan. Beruntung, ia diterima untuk bekerja di Departement van Ekonomische Zaken atau Departemen Urusan Ekonomi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tahun 1938, Lasut kembali mencoba peruntungan di bangku perkuliahan. Ia balik ke Kota Kembang untuk kuliah di Techniche Hoogeschool te Bandung atau yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, masalah yang sama menerpanya. Lagi-lagi kondisi keuangannya memburuk dan memaksanya drop-out untuk kesekian kali.
Lasut pantang menyerah. Berbekal bakat, kecerdasan, dan ilmu yang sempat didapatnya dari Techniche Hoogeschool te Bandung, ia berhasil memperoleh beasiswa dari Dienst van den Mijnbouw atau Dinas Pertambangan. Bahkan, Lasut kemudian diangkat sebagai asisten geolog.
Pakar Tambang dan Geologi
Ketika Jepang menyerbu Indonesia pada 1942 yang membuat Belanda harus angkat kaki, Lasut turut mengangkat senjata untuk menahan gempuran calon penjajah baru itu, termasuk dalam suatu pertempuran di Ciater, dekat Subang, Jawa Barat (Pranadipa Mahawira, Cinta Pahlawan Nasional Indonesia, 2013:112). Lasut tertangkap dan ditahan Jepang dalam peristiwa ini.
Jepang akhirnya benar-benar menduduki Indonesia, mengambil-alih pengaruh yang telah berabad-abad lamanya dikuasai Belanda. Lasut sendiri kemudian dibebaskan, bahkan dipekerjakan di Chorisitsu Chosayo (Jawatan Geologi) yang didirikan pemerintah militer Jepang di Bandung. Jepang rupanya tahu bahwa Lasut adalah anak muda yang sangat piawai dalam hal pertambangan.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, instansi-instansi pemerintahan yang semula dimiliki Jepang diambil-alih sesuai instruksi Presiden Sukarno. Lasut pun turut mendirikan Jawatan Pertambangan dan Geologi pertama milik pemerintah RI (A.J. Bowden, et.al., Landmarks in Foraminiferal Micropalaeontology: History and Development, 2013:196). Bahkan, ia kemudian diangkat sebagai kepala jawatan tersebut.
Namun, institusi pimpinan Lasut harus berpindah-pindah tempat seiring kembalinya penjajah lama ke Indonesia yang memicu berbagai front pertempuran. Dari Bandung, Jawatan Pertambangan dan Geologi sempat pindah ke Tasikmalaya, kemudian beringsut lagi ke Magelang, dan akhirnya ditempatkan di Yogyakarta yang kala itu menjadi ibukota negara RI.
Pahlawan Pembela Kemerdekaan
Lasut juga ikut ambil bagian dalam masa revolusi fisik itu. Ia menjadi bagian usaha mempertahankan kemerdekaan dengan membentuk Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi atau KRIS (Julinar Said, Triana Wulandari, & Sri Sutjiningsih, Ensiklopedi Pahlawan Nasional, 1995:66). Selain itu, ia juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Selain ingin berkuasa lagi di Indonesia, Belanda juga berhasrat mengeruk sumber daya alam di Nusantara yang memang melimpah-ruah. Oleh karena itulah Belanda berulangkali membujuk Lasut agar mau bekerjasama. Belanda paham betul bahwa Lasut adalah orang yang sangat mengerti tentang rahasia isi perut bumi Indonesia yang bernilai tinggi itu.
Lasut selalu menolak tegas tawaran tersebut meskipun diiming-imingi berbagai fasilitas, kenyamanan, hingga uang. Sebaliknya, ia bersama KRIS justru semakin gigih menggelorakan perjuangan untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Tak hanya itu, Lasut juga memanas-manasi Belanda, ia bermanuver dengan seolah-olah menggandeng investor lain untuk mengelola sumber daya alam Indonesia.
Tindakan Lasut ini tak pelak membuat Belanda naik pitam. Pagi-pagi buta tanggal 7 Mei 1949, beberapa tentara khusus Belanda menculik Lasut yang kala itu berdomisili di Yogyakarta. Ia kemudian dibawa ke Pakem, Sleman. Di suatu tempat yang tidak seberapa jauh dari Gunung Merapi tersebut, Lasut ditembak mati.
Nyawa Lasut dipungkasi saat usianya baru menapaki angka kepala tiga. Peristiwa tragis itu terjadi kurang dari setahun sebelum Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI melalui Konferensi Meja Bundar. Tanggal 20 Mei 1969, pemerintah menganugerahi Arie Frederik Lasut dengan gelar Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS