Menuju konten utama

Pejuang Devisa di Tanah Haram

Kedatangan Raja Salman dari Arab Saudi digadang-gadang akan membawa berkah investasi dari tanah haram buat tanah air. Selain investasi, nasib TKI mestinya pula jadi agenda pembicaraan utama antara delegasi Saudi dan Jokowi.

Pejuang Devisa di Tanah Haram
Ratusan TKI di pelabuhan internasional Sri Bintan Pura Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Jumat (11/1). Tenaga ANTARA/Mika Muhammad

tirto.id - Tiga belas tahun lalu Siti Mahmudah punya mimpi besar saat terbang ke Arab Saudi. Selain ingin mendapat pekerjaan bergaji besar untuk menafkahi dua anak dan orangtuanya, ia juga punya mimpi untuk bisa berhaji dan umrah. Di kampungnya, Jember, Jawa Timur, banyak tetangganya dikirim ke negeri berjuluk Tanah Haram itu. Cerita kesuksesan mereka menginspirasi Siti, yang waktu itu sudah lelah jadi pekerja rumah tangga di Indonesia.

“Jangankan untuk menabung, untuk biaya hidup kadang enggak cukup,” kata Siti menggambarkan kondisi keuangannya saat jadi PRT di negeri sendiri.

Siti yang lulusan SD tidak tahu lagi menggali keterampilan lain untuk bisa bertahan hidup, selain menjaga anak atau bantu mengurusi kebutuhan rumah tangga. “Saya tidak punya pendidikan formal. Kalau di negeri sendiri jadi pembantu tanggung. Habis waktu,” ungkapnya.

Kini, setelah lebih 13 tahun bekerja di Arab Saudi, Siti sudah bisa memetik buah kerja kerasnya. Cita-cita berhaji dan umrah sudah terlaksana pada 2011. Ia juga bisa menabung dengan beli tanah dan sudah membangun sebuah rumah sederhana untuk keluarganya di kampung. Ibu berumur 39 tahun ini rencananya akan pulang ke Indonesia pada bulan puasa ini, untuk menekuni usaha baru yang bergerak di bidang teknologi multipayment, milik Ustaz Yusuf Mansur.

“Penghasilannya sudah sama seperti kerja di sini, padahal belum bisa fokus,” kata Siti.

Buah hasil kerja keras bekerja di Tanah Haram juga sudah bisa dirasakan Sarikah Nareeka, buruh migran asal Losari, Jawa Barat. Ia yang sudah 11 tahun tinggal di Dammam, sebuah kota di sebelah timur Saudi, telah menyekolahkan dua anaknya sampai tingkat lebih tinggi dari dirinya yang cuma lulusan SD. “Alhamdulillah yang perempuan sudah kerja. Habis lebaran nanti mau kuliah. Yang laki-laki tahun ini tamat SMK,” kata Sarikah.

Cita-cita Sarikah ke Arab Saudi memang mutlak demi anak-anaknya. Ia dan suaminya, TKI di Malaysia, memang merasa perlu untuk memerah peluh sampai ke negeri orang kalau mau hidup layak di negeri sendiri. Sekarang ia sudah punya rumah sendiri yang masih dalam tahap renovasi. Rencananya, Sarikah tetap bekerja sampai kedua anaknya mendapatkan pekerjaan tetap. Ia merasa masih mampu bekerja untuk mewujudkan impian hidup tenang di masa tua.

“Aku enggak mau ngerepotin anak-anak nantinya,” kata Sarikah. Ia ingin terus bekerja sampai rumahnya rapi, dan punya tabungan untuk berladang di masa tua.

Arab Saudi memang jadi salah tujuan favorit para TKI. Sejak 2013 hingga 2015, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah TKI yang dikirim ke Arab Saudi selalu paling tinggi di antara negara-negara lain di Timur Tengah.

Alasannya bisa beragam, mulai dari kultur Islam yang ada di sana, ingin bekerja di Tanah Suci, tapi lebih seringnya karena “tetangga-tetangga pergi ke sana”, seperti alasan Siti dan Sarikah. Ini didukung dengan keterbukaan Arab Saudi menerima TKI. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) di situs resminya, Pemerintah Arab Saudi punya prioritas memberikan kesempatan kepada negara-negara muslim khususnya Indonesia untuk mengisi peluang-peluang kerja di sana.

Selain itu, jumlah jemaah haji dan umroh dari Indonesia termasuk yang terbesar, hanya kalah dari Mesir dan Pakistan. Posisi wisata religi yang tinggi ini, devisa terbesar kedua bagi Saudi setelah minyak, bisa menjadi posisi tawar pemerintah Indonesia untuk meminta porsi penempatan kerja yang lebih pula. Misalnya sebagai pemandu wisata dan pekerjaan keras lain seperti sopir bus, buruh pembersih, juru masak, selain pembantu rumah tangga.

Namun, tak semua cerita TKI di Arab Saudi selalu terdengar manis seperti kisah Siti dan Sarikah. Di tanah air seringkali kita mendengar kabar tragis dari para pejuang keluarga ini, yang sekaligus turut mendongkrak ekonomi riil negara. Setiap tahun, sejak 2010 hingga 2015, nilai remitansi atau transfer uang para TKI rata-rata sebesar Rp 85,71 triliun.

Mungkin yang paling diingat publik Indonesia adalah kisah Siti Zaenab dan Karni Tarsim, yang dihukum pancung di Arab Saudi karena membunuh majikan dan anak majikan. Padahal seperti dikabarkan, Siti Zaenab membunuh majikannya sebagai upaya membela diri, sementara Karni melakukan pembunuhan tersebut karena mengalami kesehatan jiwa. Kisah kedua buruh migran ini yang akhirnya membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium, dengan melarang pengiriman TKI sektor informal ke 21 negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi.

Moratorium ini membuat jumlah TKI di Arab Saudi terus menurun setiap tahun. Berturut-turut sejak 2013 hingga 2016, jumlah buruh migran dari 45.394 orang menjadi 44.325 orang (2014), lalu 23.000 orang (2015), hingga 13.538 orang (2016).

INFOGRAFIK HL FDI Pejuang visa di Tanah Haram

Sistem Kafalah Melandasi Eksploitasi TKI

Salah satu masalah yang membelit para buruh migran di Arab Saudi adalah sistem kafalah alias sistem sponsor. Sistem ini dianggap terlalu merugikan pekerja, sebab hak privasi majikan terlalu kuat dibanding perjanjian kerja maupun peraturan ketenagakerjaan.

Menurut Migrant Rights, organisasi advokasi untuk para buruh migran di Timur Tengah, sistem kafalah adalah sistem sponsor yang membuat hak pekerja migran jadi sangat terbatas. Di bawah sistem ini, sponsor atau Kafeel yang mempekerjakan warga negara asing berhak memegang visa dan surat keterangan kerja atau iqomah para pekerjanya. Ia membuat kebebasan bergerak buruh migran terbatas, termasuk izin pulang. Sistem ini rentan membuka praktik eksploitasi dan perbudakan kaum pekerja migran.

Berdasarkan laporan organisasi tersebut, ada lebih dari 600 ribu pekerja migran di Timur Tengah yang bekerja secara paksa atau di bawah tekanan. Dan ada lebih dari 70 ribu kasus visa palsu dari sistem yang dibentuk kafalah, yang menyuburkan pasar gelap dan praktik jual beli pekerja asing di sana.

Keterangan buruknya dampak sistem kafalah ini diperkuat dengan temuan François Crépeau, pelapor khusus dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), yang meneliti sistem kafalah di Qatar. Ia sepakat bahwa sistem ini adalah sumber eksploitasi para buruh migran, menjadi pemicu betapa rentannya kaum pekerja asing dianiaya di tempat kerja.

Sistem kafalah pada akhirnya bergantung pada kebaikan majikan semata. TKI akan merasa "beruntung" mendapatkan majikan yang baik hati, sebagaimana dialami Siti dan Sarikah. Mereka berdua tak terlalu mempermasalahkan sistem kafalah. Siti bahkan diperkenankan memegang iqomah dan visanya sendiri.

“Sebenarnya sistem apa pun kalau memang saling amanah pastilah tidak ada yang dirugikan,” katanya. Namun, Siti mengakui kalau menjadi pekerja rumah tangga di rumah orang Arab memang berat. Ia tidak boleh keluar rumah kalau tidak diajak. Belum lagi harus berpisah bertahun-tahun dengan keluarga di tanah air. Dari begitu banyak yang bekerja di sana, pasti ada yang tidak betah.

“Soal teman-teman yang punya majikan jahat, kita tidak bisa menilai dari satu sisi saja. Bisa saja majikan memang jahat. Atau sebaliknya. Allahualam,” kata Siti, diplomatis.

Sarikah juga punya opini serupa. “Orang Saudi ada yang baik, ada juga yang enggak baik. Sama kayak orang Indonesia, ada yang baik ada, juga yang enggak baik.”

Pendapat kedua buruh migran itu, nyatanya, baru menjadi kisah minor di antara dominasi kabar mengenaskan para buruh migran Indonesia yang bekerja di negara-negara Arab termasuk Saudi. Kedatangan Raja Salman dan rombongannya pada hari ini mestinya bisa dipakai oleh pemerintahan Joko Widodo untuk membicarakan problem TKI di Arab Saudi.

Baca juga artikel terkait KUNJUNGAN RAJA SALMAN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Hukum
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam