Menuju konten utama

Pedih dan Perih Kaum Gipsi

Namanya bangsa Roma, asalnya dari India di Asia, tapi tinggal di tanah Eropa. Dipanggil Gipsi oleh Nazi, banyak dari anggota kelompok ini dibantai dalam Holocaust. Hingga kini, mereka masih banyak mengalami diskriminasi.

Wanita Gipsi di kamp konsentrasi Nazi tahun 1945. FOTO/Getty Images

tirto.id - Holocaust, sebuah catatan paling kelam dalam sejarah manusia yang ditorehkan Nazi rupanya meninggalkan satu kisah yang jarang diceritakan. Pembantaian massal itu memakan korban lain, selain bangsa Yahudi.

Suku itu bernama Roma. Atau lebih dikenal dengan nama Gipsi, sebuah frasa yang dianggap sejumlah orang adalah hinaan Nazi untuk bangsa Roma. Bak para Yahudi, orang-orang Roma juga mengalami diskriminasi, penganiayaan, perlakuan sewenang-wenang, kerja paksa, dan pembunuhan di bawah rezim Nazi.

Roma, yang adalah imigran dari India pada abad 8 sampai 9, memang punya tradisi berbeda dari orang-orang Eropa. Mereka memang hidup nomaden, suka berpindah-pindah. Gaya hidup ini yang kemudian dianggap gangguan oleh Nazi, tentu selain alasan rasis yang dikobarkan para pengikut Hitler itu. Roma yang tak berasal dari tanah Eropa dianggap sebagai ancaman bagi kemurnian ras Arya, ras yang menurut mereka adalah ras asli orang Eropa. Kisah mengenaskan tentang bangsa Roma itu dilampirkan László Teleki, dalam papernya yang dimuat situs Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Lebih dari 70 tahun berlalu, nasib bangsa Roma memang lebih baik—jika indikator baik berarti tak ada lagi orang-orang mereka yang dibunuh atau disuruh kerja paksa. Tapi nyatanya, sebagian warisan Nazi itu masih berdampak pada hidup mereka kini; dalam bentuk diskriminasi.

Berdasarkan temuan Pew Research, sebanyak 40 persen warga Jerman masih punya pandangan tidak baik pada suku Roma. Bahkan bangsa Yahudi dan Muslim lebih beruntung karena jumlah masyarakat Jerman yang masih berpandangan buruk pada mereka lebih kecil angkanya. Sebanyak 29 persen untuk Muslim, dan 5 persen untuk Yahudi.

Diskriminasi itu berbentuk stigma-stigma. Bangsa Roma punya stereotipe sebagai orang-orang tidak ramah, tak punya konsep tentang kepemilikan pribadi, dan tak suka bekerja. Dalam studi lain yang dilakukan Universitas Leipzig, sekitar 50 persen koresponden mereka beranggapan bahwa bangsa Roma cenderung berperilaku kriminal, dan dalam jumlah yang hampir sama, mereka keberatan jika punya tetangga orang Roma. Bahkan berdasarkan studi Rememberance, Responsibility and Future Foundation, sebuah lembaga nonprofit yang mempromosikan hak-hak korban Holocaust, diskriminasi-diskriminasi itu gampang terlihat dalam politik, media, dan kebudayaan di Jerman.

Joshla Weiss, wanita berusia 36 tahun kebangsaan Jerman keturunan Roma, mengamini diskriminasi itu.

“Trauma ada dalam darah kami,” kata Weiss kepada The WorldPost.

Trauma yang ditinggalkan Nazi itu masih berbekas hingga sekarang, lanjut Weiss. Itulah yang membuat orang-orang dengan latar belakang Roma masih menghadapi rasisme dan diskriminasi di masyarakat Jerman hari ini.

Keluarga Weiss sendiri adalah korban langsung kekejian Nazi. Setidaknya 7 kerabatnya, termasuk kakek-kakek dari kedua orangtuanya dibunuh di camp Nazi. Meski para leluhurnya sudah ada di Jerman sejak 600 tahun lalu, jauh sebelum Hitler berkuasa dan membangkitkan sentimen rasis, Weiss yang keturunan asli Sinti, salah satu marga di suku Roma, mengaku masih melihat diskriminasi itu dalam kehidupan sehari-hari di Jerman.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/02/22/NasibGipsiKini-01copy.jpg" width="901" height="1600" alt="INFOGRAFIK Nasib Gipsi" /

Menurut Holocaust Encyclopedia dari United States Holocaust Memorial Museum, sebelum Perang Dunia II, jumlah bangsa Roma di Eropa diestimasikan sebanyak 1 juta orang. Dalam laporannya di The WorldPost, Yermi Brenner menuliskan, sejumlah sumber menyebut seperempat bangsa Roma kandas dibantai orang-orang Jerman dan sekutunya. Sementara menurut Council of Sinti and Roma, jumlah yang hilang mencapai setengah juta orang.

Ketakutan-ketakutan pada orang-orang Roma ini tak hanya terjadi di Jerman, tapi juga dataran lainnya di tanah Eropa. Setidaknya di 10 negara yang disurvei Pew Research, angka pandangan buruk pada bangsa Roma cukup tinggi. Di Italia, 82 persen masyarakatnya berpandangan tak baik pada bangsa Roma. Di Yunani, ada 67 persen; Hungaria dengan 64 persen; Prancis dengan 61 persen; Spanyol dengan 49 persen; Polandia 47 persen; Kerajaan Inggris 45 persen; Swedia 42 persen; Jerman 40 persen; dan Belanda 37 persen.

Lagi-lagi, angka-angka itu relatif lebih tinggi ketimbang pandangan buruk bangsa Eropa pada Muslim atau Yahudi—dua bangsa yang lebih sering mendapat sorotan media sebagai korban diskriminasi.

Meski populasinya tak sebanyak Muslim atau Yahudi di dunia, tapi penderitaan bangsa Gipsi ini sama besarnya dengan bangsa-bangsa lain—yang disiksa, difitnah, dan dibantai di masa lalu, lantas masih didiskriminasi di masa kini. "Orang-orang Gipsi," yang hidup dengan darah Roma di tubuhnya, cuma ingin hidup setara tanpa harus memikul cap kekejian Nazi di masa lampau.

Baca juga artikel terkait NAZI atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani
-->