tirto.id - Reja, penjual gorden di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, sudah tak dagang lebih dari dua pekan. Ia tak lagi berjualan seminggu sebelum pengelola Tanah Abang, Perumda Pasar Jaya, memutuskan menutup sementara pasar per 27 Maret. Sebelum ditutup secara resmi, pasar sudah sangat sepi, nyaris tanpa pengunjung.
"Seminggu sebelum Tanah Abang ditutup itu saya sudah tutup karena enggak ada yang beli. Maret itu yang beli cuma langganan saja lewat Whatsapp, Instagram. Itu pun hanya beberapa," katanya kepada saya, Ahad (29/3/2020) lalu.
Semua terjadi karena pandemi Corona COVID-19 semakin mengganas, dan Jakarta adalah penyumbang pasien dan jumlah kematian terbanyak se-Indonesia. Selain karena sepi pembeli, Reja sendiri takut tertular virus mematikan itu.
Per Jumat (3/4/2020) pukul 12 siang, jumlah pasien positif COVID-19 mencapai angka 958, 96 di antaranya meninggal dunia. Sementara dalam lingkup nasional, pasien positif per 2 April berjumlah 1.790, dengan pasien meninggal sebanyak 170.
Reja juga terpaksa mem-PHK seorang karyawan, dan itu bukan perkara gampang, akunya. "Enggak tega, tapi saya enggak tahu lagi gimana harus gaji karyawan untuk beberapa bulan ke depan. Apalagi saya enggak yakin gorden saat lebaran akan laku karena Lebaran dan Ramadan ada potensi Tanah Abang masih ditutup."
Reja mengaku dalam situasi normal ia bisa mendapat keuntungan bersih Rp20 juta per bulan. Sementara pada Maret lalu ia hanya mendapat Rp4 juta. "Sedih banget pokoknya, apalagi seminggu sebelum tutup enggak ada yang beli."
Cerita serupa diungkapkan Indra. Biasanya ia mendapatkan duit Rp30 juta per hari dan mulai tidak mendapat pemasukan apa pun sejak 15 Maret, ketika memutuskan menutup toko karena alasan yang sama: sudah tidak ada pembeli. Seperti Reja, Indra juga terpaksa mem-PHK karyawan setelah memberi gaji penuh untuk Maret.
"Udah enggak ada pelanggan sejak dua minggu lalu," katanya kepada saya, Kamis (2/4/2020).
Indra sebenarnya sudah membayangkan akan mendapatkan uang berlipat saat Ramadan, seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu ia percaya diri membeli 10 ton kain dengan nilai Rp1 miliar lebih. Modal beku itu sekarang hanya teronggok di gudang dan entah kapan bisa 'cair'.
"Sedih banget enggak bisa jualan, padahal sudah stok buat Ramadan. Biasanya bulan ini sudah rame," katanya.
Kondisi ini tentu tidak hanya dialami Reja dan Indra mengingat ada sekitar 25 ribu kios di Tanah Abang.
Dari ujung telepon, Ketua Koperasi Pedagang Pasar Tanah Abang Yasril Umar menceritakan nasibnya dan kawan-kawannya yang lain. Harusnya, kata dia, saat ini adalah masa panen bagi para pedagang.
"Menjelang Lebaran ini kesempatan kami untuk mengeluarkan barang yang kami stok. Begitu ada momen ini, malah dapat musibah," katanya. "Jangankan pembeli, penjual bahkan enggak berani datang ke pasar," tambahnya.
Saat ini ia masih menghitung total kerugian imbas berhentinya aktivitas perdagangan di pasar garmen terbesar se-Asia Tenggara itu. Namun, berkaca dari pengalaman terhentinya perdagangan saat demonstrasi beberapa waktu lalu, ada kehilangan potensi pendapatan hingga Rp100 miliar per hari.
"Tergantung blok, tergantung dagangan, totalnya (kerugian) tadi saya bilang Rp 50 miliar sampai Rp 100 miliar, bahkan bisa lebih," ungkapnya. Dengan asumsi itu, prediksi kehilangan pendapatan selama 14 hari mencapai Rp1,4 triliun.
Yang paling dirugikan dari semua orang yang mendapat uang dari Tanah Abang adalah para porter atau kuli angkut barang, kata Yasril. Mereka biasanya mendapat uang Rp200 ribu per hari. Dengan uang sebanyak itu mereka akan sulit menabung, sehingga sulit membayangkan bagaimana bertahan hidup dalam situasi ketika tak lagi dapat bekerja seperti sekarang.
Pasar Tanah Abang sebenarnya akan dibuka lagi pada 5 April nanti. Namun Yasril tidak yakin situasi akan kembali normal.
"Kalau dipaksa harus dagang akan takut banyak korban. Karena kan, interaksi orang lebih banyak, beda dengan situasi seperti di perkantoran. Kalau di perkantoran, kan, hanya orang datang, diam di ruangan masing-masing," katanya.
Atas semua situasi ini ia berharap pemerintah memberikan bantuan, misalnya, memberikan keringanan untuk sewa kios atau biaya kebersihan. Permintaan ini, katanya, sama sekali tak berlebihan lantaran selama masa darurat ini para pedagang tak bisa berjualan dan nyaris nol pemasukan.
"Kami sudah mengajukan keringanan kepada Pak Gubernur dan Presiden. Service charge untuk kios [ukuran] 2x2 [meter] mungkin Rp600 ribu, ada juga biaya bulanan lain. Kalau lebih luas ya biayanya jauh lebih mahal. Inginnya itu ditiadakan selama masa wabah ini," katanya berharap.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan untuk para pekerja informal seperti para pedagang Tanah Abang, bantuan terpenting yang semestinya datang dari pemerintah adalah uang tunai, selain insentif lain seperti pelonggaran biaya bulanan sewa kios dan jasa lain.
"Tidak ada yang lebih efektif untuk bisa membantu mereka kecuali lewat bantuan langsung. Itu yang saya pikir. Sampai enam. Tidak ada cara lain," katanya.
Bantuan lain yang bisa diberikan adalah pengurangan tarif dasar listrik (TDL) dan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini diharapkan bisa membantu para pedagang menurunkan beban usaha saat mereka kembali beraktivitas. "Untuk mengurangi pengeluaran mereka," katanya memungkasi.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino