tirto.id - Ketua DPP Gerindra, Ahmad Riza Patria meminta kepada PDIP agar tidak menjadikan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai manuver politik menjelang Pilpres 2019.
"Jangan pelaporan itu dilatarbelakangi dengan maksud-maksud tertentu atau maksud-maksud politik," kata Riza kepada Tirto, Jumat (27/6/2018).
Riza juga meminta agar pengusutan kasus-kasus HAM tak digunakan untuk menyudutkan individu tertentu. "Harus fair dan adil," kata Riza.
Sebab, menurut Riza, kasus pelanggaran HAM di masa lalu tidak hanya peristiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan peristiwa Kudatuli seperti halnya yang disinggung Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto saja, melainkan masih banyak lainnya.
"Kalau mau diusut kasus HAM banyak sekali, dari mulai Soekarno juga ada. Bentuknya juga macam-macam," kata Riza.
Meskipun begitu, Riza menghormati langkah PDIP melaporkan kasus pelanggaran HAM kepada Komnas HAM. Sebab, menurutnya, di negara hukum seperti Indonesia siapapun berhak melaporkan kasus hukum tertentu dan mekanismenya sudah diatur untuk itu.
"Kasus HAM selama ini kan sudah dicermati dan dipelajari oleh instansi terkait. Kami serahkan lah kasus ham kepada pihak-pihak terkait. Yang penting pemerintah bisa menjalankan tugas dan wewenangnya," kata Riza.
Kemarin, Rabu (26/7/2018), Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto melaporkan kasus-kasus HAM di masa lalu pada Komnas HAM. Ia meminta lembaga HAM tersebut mengungkap seluruh fakta di baliknya.
Dalam kesempatan itu, Hasto juga menyinggung peristiwa Kudatuli. Ia meminta kepada Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk bersaksi soal peristiwa Kudatuli. Karena, menurutnya, presiden ke-6 Indonesia tersebut mengetahui informasi di baliknya.
"Trauma peristiwa itu begitu kuat, bahkan kami sebelum menempati gedung baru pun sebagai insan yang bertakwa kami mendoakan para arwah karena kami tau korbannya begitu banyak tapi ditutupi oleh rezim yang bersaksi. Dan yang menjadi saksi saat itu adalah bapak Susilo Bambang Yudhoyono," kata Hasto, di kantor Komnas HAM.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yantina Debora