Menuju konten utama

PAUD adalah Keharusan, tapi Masuk Lembaga PAUD adalah Pilihan

Pilihan memasukkan anak ke PAUD mengundang pro-kontra warganet terkait seri twit dari dr. Jiemy. Mari tengok argumennya.

PAUD adalah Keharusan, tapi Masuk Lembaga PAUD adalah Pilihan
Siswa-siswi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK) mendengarkan dongeng di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Senin (20/3). Kegiatan tersebut dalam rangka memperingati Hari Dongeng Sedunia. ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah/aww/17.

tirto.id - Serial twit seorang dokter pada 5 Januari 2018 kemarin mendatangkan pro dan kontra di kalangan warganet. Adalah dr. Jiemi Ardian, seorang residen bidang psikiatri dan hipnoterapis, yang mencuit pedas soal PAUD.

“PAUD itu bukan pendidikan anak, PAUD itu bisnis atas nama pendidikan anak,” demikian twit pertama yang ditulis dr. Jiemi. Twit ini disukai lebih dari 2000 orang dan mendatangkan 161 komentar. Ia kemudian melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa anak di bawah 4 tahun tidak akan bisa berpikir formal serta tidak akan paham mengenai tugas dan sekolah.

“‘Tapi kan, dok, di PAUD cuma main aja’… Bapak ibu yang tersayang, taman bermain terbaik anak itu tubuh orang tuanya, bukan sekolah kapitalis itu… Dari perkembangan kognitif Piaget, anak baru bisa berpikir konkret di usia 7 tahun. Artinya anak berpikir tentang konsep, situasi konkret, belajar tentang tanggung jawab baru di usia ini. Jangan dipercepat, bahaya… Memiliki anak yang sehat secara mental, bahagia, tumbuh dan berkembang sampai dewasa itu lebih berharga daripada memiliki “anak yang pintar” hasil didikan keliru di PAUD…” lanjut Jiemi dalam akun Twitternya.

Sebagian pihak sepaham dengan dr. Jiemi. Akun @_selviselv misalnya, mengafirmasi dengan menceritakan pengalamannya dalam mencari playgroup untuk anak. Menurut pengamatannya, kebanyakan playgroup yang ditemuinya mengajarkan calistung, mandiri, dan disiplin.

“Nemu sekolah yg beneran main, jam sekolah pendek, gak ada calistung, udahlah ky nemu berlian,” cuit @_selviselv.

Baca juga:Anak Batita Diajari Membaca?

Sedangkan sebagian lainnya, mencecar dr. Jiemi karena apa yang mereka temui tidak sama dengan yang dikatakan laki-laki tersebut. Ada yang memandang dr. Jiemi terlalu menggeneralisasi dan tidak melihat efek-efek positif dari PAUD. @restianamei misalnya, berpendapat, “Sepertinya tergantung paudnya ya, dok. Keponakan saya masuk paud karena keinginan anaknya sendiri. Di sana jam 9/10 sudah pulang. Mereka selama di paud bermain, bernyanyi, belajar doa untuk kedua ortu dan tidak ada PR."

Sementara @KikiNcik menambahkan komentar, “Wah pendapat Anda menjatuhkan nama baik PAUD. Untuk apa pemerintah menggalakkan PAUD, apa bapak lebih pintar dari pemerintah?”

Saat Tirto menghubungi Jiemi, Selasa (8/1/2018), untuk mendapatkan klarifikasinya, ia menjelaskan bahwa hal pertama yang mendorong dia membuat serial twit tersebut adalah pengalaman anak seorang kenalannya yang merasa terbebani dengan tugas di PAUD.

“Ada anak seorang karyawan yang enggak mau sekolah. Alasan pertamanya karena masalah pengasuhan orangtua. Kedua, karena terlalu cepat disekolahkan. PAUD tempat anak itu bersekolah memberikan tugas dan PR. Alasan mereka pasti untuk latihan, tetapi realitasnya bagi anak, hal ini tetap membebani. Akhirnya, kognisi berkembang, tetapi mental emosional enggak berkembang,” katanya.

Ketika ditanya mengapa ia menekankan pada isu komersialisasi PAUD, ia menjabarkan alasannya adalah karena PAUD yang mengajarkan dua bahasa atau lebih cenderung menetapkan biaya tinggi.

Komersialisasi PAUD ini kian subur menurut dr. Jiemi lantaran ada orangtua yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di PAUD mahal meski sebenarnya anak usia di bawah 7 tidak membutuhkan sekolah. Kondisi ini dipandangnya memprihatinkan karena atas nama perkembangan, anak ‘disiksa’ dengan macam-macam tugas atau tanggung jawab walaupun berbungkus metode bermain.

“Anak usia segitu nggak bisa sosialisasi. Mereka bisa bermain sama-sama, tetapi enggak bisa bermain bersama. Contohnya, anak berpikir ‘mainan saya ya punya saya, mainan dia punya dia’. Bisa bermain bareng, tapi bukan sharing mainan. Orang-orang memandang sosialisasi sebatas bermain bareng, padahal dalam sosialisasi, yang perlu dipelajari adalah sharing.”

Selain biaya mahal yang dibanderol sebagian PAUD, dr. Jiemi juga mempermasalahkan kurikulum PAUD yang memaksa anak untuk bisa membaca dan menulis ketika mereka belum siap secara mental. Alih-alih mendelegasikan pengajar PAUD untuk mendidik anak usia dini, dr. Jiemi lebih menyarankan orangtua yang mengambil peran ini.

Baca juga:Jangan Ajarkan Calistung Kepada Anak TK

Kembali kepada Pilihan Orangtua

Terkait kontroversi twit dr. Jiemi tentang menyekolahkan anak di PAUD, Tirto juga mewawancarai dosen dan peneliti bidang pendidikan anak usia dini dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Vina Adriany. Menurutnya, sebelum menolak atau menyetujui pilihan menyekolahkan anak di PAUD, orang-orang perlu memahami dulu definisi pendidikan anak usia dini.

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 butir 14 disebutkan, “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”

“Sedangkan menurut teori psikologi perkembangan, PAUD diperuntukkan bagi anak usia 0-8 tahun,” imbuh Vina.

Dari definisi PAUD versi UU Sisdiknas, PAUD memiliki cakupan luas, tidak terbatas pada institusi formal saja. Dalam penjelasan di situs HukumOnline.com, PAUD bisa berupa TK, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, dan satuan PAUD sejenis lainnya. Pihak yang menyelenggarakan PAUD dapat berupa orang perseorangan, kelompok, badan hukum, atau pemerintah. Sederet persyaratan untuk mendirikan PAUD mulai dari perkara konten pengajaran dan standar kualifikasi pengajar pun telah ditetapkan pemerintah.

Kemudian, Vina juga menyoroti soal definisi pendidikan itu sendiri. Sering kali orang menganggap pendidikan itu terkait dengan hal-hal bersifat kognitif. Padahal, pendidikan merupakan upaya untuk mengoptimalkan perkembangan anak, termasuk di dalamnya perkembangan sosial, emosi, dan fisik. Jika tujuan pendidikan anak usia dini seperti demikian, maka menurut Vina, hal ini harus dilakukan, baik oleh orangtua maupun pendidik dalam institusi-institusi tertentu.

“Namun apakah hal ini dapat dilakukan oleh orangtua saja atau meminta bantuan orang lain di institusi pendidikan, itu adalah suatu pilihan,” imbuh Vina.

Baca juga:Orangtua Tidak Perlu Buru-Buru Menyekolahkan Anak

Rupa-Rupa Tekanan bagi Anak

Di lapangan, Vina tidak menafikan ada PAUD yang justru memberi tekanan pada anak kendati tujuan awalnya adalah mendorong perkembangan anak. Tekanan ini juga dapat muncul karena adanya variasi kebutuhan pada anak.

“Anak punya kebutuhan berbeda-beda. Ada yang lebih besar kebutuhan kognitifnya, ada yang lebih besar kebutuhan sosial atau emosinya,” kata Vina.

Ketika kebutuhan anak yang berbeda tidak terpenuhi melalui pengajaran di PAUD, sebagian orangtua melihatnya sebagai kegagalan sebuah institusi pendidikan. Padahal, urusan pendidikan anak usia dini ini jauh lebih kompleks dari yang terlihat di permukaan.

Bila mengambil sejumlah kasus seperti ini untuk memukul rata kondisi semua PAUD di Indonesia, Vina memandangnya sebagai suatu opini yang tidak tepat. Sebagai catatan, menurut data Kemdikbud tentang PAUD tahun 2016/2017, terdapat 105.005 PAUD yang terdiri dari kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD sejenis pada 2016, serta 88.381 TK di Indonesia. Dari banyaknya PAUD yang ada, tentu setiap institusi memiliki karakteristik dan persoalan yang berbeda.

Opini pukul rata kondisi PAUD ini juga bisa didukung oleh kemampuan media sosial dalam menyebarkan klaim-klaim yang belum dibuktikan lewat penelitian. Sebagai contoh, dari twit dr. Jiemi tentang komersialisasi PAUD. Menurut Vina, di beberapa daerah, ada PAUD yang justru kekurangan kapital dan membutuhkan bantuan.

“Tidak semua PAUD yang ada di kota juga mementingkan komersialisasi. Persoalan sekarang, orang mudah sekali menggeneralisasi. Ada PAUD yang terjebak dalam komodifikasi pendidikan memang betul, dan itu tidak hanya di kota besar. Cuma memang sekarang fenomenanya banyak terjadi di kota besar,” ungkapnya.

Meskipun ditemukan permasalahan-permasalahan di beberapa PAUD, bukan berarti seluruh penyelenggaraan PAUD mesti ditolak. “Kita tetap perlu mengkritisi, misalnya PAUD eksklusif yang hanya bisa diakses oleh kelompok masyarakat tertentu. Tetapi PAUD sebagai alternatif pendidikan tetap harus kita apresiasi. Jadi, antara kritik dan apresiasi harus berjalan beriringan.”

Anak yang tertekan saat bersekolah di PAUD pun bukan hanya imbas dari pola dan konten pengajaran yang salah saja. Hal ini dapat berakar lebih jauh ke sistem pendidikan di Indonesia yang masih mementingkan skor akhir, tidak hanya di PAUD, tetapi juga level pendidikan lain sampai universitas.

Ketika anak tak mampu mengejar nilai di bidang kognitif, ia dibilang tidak pintar. Padahal, ada anak-anak yang memang berkemampuan lebih di bidang lain, seni misalnya. Untuk mengakali hal ini, Vina berpendapat, di PAUD, porsi materi non-akademik juga mesti disejajarkan dengan materi akademik. Kegiatan pra-membaca dan pra-menulis butuh diperkenalkan kepada anak.

Infografik pro kontra pendidikan

Menyeimbangkan Peran Orangtua dan Guru

Berdasarkan studi-studi terdahulu, peran orangtua dikatakan sangat signifikan bagi perkembangan anak usia dini. Namun, tidak semua orangtua bisa menyediakan waktu banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya, terlebih ketika mereka terikat dengan pekerjaan kantor. Inilah yang bisa menjadi faktor pendorong menyekolahkan anak di PAUD.

Menurut dr. Jiemi, ini adalah pilihan yang ‘mau tidak mau’ diambil orangtua. “Idealnya, anak dididik oleh orangtua. Tetapi realistis saja, ada orangtua yang mesti bekerja. Ya akhirnya kita memilih yang terbaik dari yang buruk,” tutur dr. Jiemi.

Yang paling mungkin dilakukan orangtua bekerja adalah mencermati kurikulum PAUD sebelum memilih salah satunya sebagai tempat mendidik anak. Peran orangtua lainnya adalah turut aktif menjalin relasi dengan pihak sekolah untuk tetap memantau perkembangan anaknya, demikian ditambahkan Vina.

Selain itu menurut dr. Jiemi, orangtua juga tetap bisa menjalankan peran pendidiknya di rumah dengan membacakan cerita, mengajari menggambar, mengajak mengobrol, atau ikut bermain dengan anak untuk memicu aktivitas fisiknya. “Membacakan cerita dan mengajak mengobrol itu juga cara untuk merangsang anak untuk berbicara,” jelas dr. Jiemi.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN ANAK atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani