tirto.id - Di antara teman-teman satu angkatannya di bangku kuliah, Arya adalah yang termuda. Beda usianya dengan rata-rata temannya adalah 2 tahunan. Ia masuk di kelas akselerasi sewaktu SMA, sehingga waktu tempuhnya di jenjang itu hanya 2 tahun. Sebelumnya, sejak SD ia sudah terbiasa menjadi salah satu yang termuda, sebab orangtuanya menyekolahkan Arya satu tahun lebih dini.
“Ibu saya selalu berpikir, lebih baik paling muda di kelas dibanding menjadi murid yang paling tua. Alasan yang sama yang mendukung saya ketika memutuskan untuk masuk kelas akselerasi sewaktu di SMA,” cerita Arya kepada Tirto.
Ia menceritakan perjuangan dan pengorbanannya untuk masuk kelas akselerasi, mulai dari rajin ikut bimbingan belajar (bimbel) sepulang sekolah sampai dengan les privat di akhir pekan. Yang terkadang mengganggunya adalah ia kerap dianggap yang paling muda sekaligus ‘anak kecil’ di antara teman-teman seangkatan di kampusnya sekarang.
Sejumlah orang mungkin sepakat dengan keputusan ibu Arya untuk mendukung sekolah anaknya lebih awal. Alasannya pun sama, merupakan kebanggaan tersendiri mempunyai anak termuda di antara anak-anak lain di kelas, terlebih lagi, jika si anak tetap bisa memperoleh nilai tinggi di setiap mata pelajaran.
Namun, apakah benar, selamanya mengukur pencapaian anak dari mudanya usia serta angka-angka nilai mata pelajaran?
Baca juga: Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita
Sebuah penelitian dari Stanford University menunjukkan bahwa anak-anak yang ditunda masuk sekolah formal hingga satu tahun menunjukkan kesehatan mental dalam mengendalikan diri yang lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Thomas Dee dan Henrik Sievertsen ini menyampaikan lebih lanjut mengenai kesehatan mental yang terbentuk ketika orang tua tidak terburu-buru memasukkan anaknya ke sekolah formal. Adalah tingkat hiperaktivitas anak yang juga bisa ditekan, sehingga anak lebih mampu fokus dan mengendalikan dirinya sendiri.
“Menunda anak masuk sekolah satu tahun dapat mengurangi tingkat hiperaktivitas dan meningkatkan fokus perhatian anak hingga 73 persen. Hal ini tampak pada rata-rata anak yang berusia 11 tahun,” kata Dee dan Sievertsen dalam penelitiannya.
Negara yang dinilai sistem pendidikannya sudah mumpuni seperti Finlandia mengatur usia masuk sekolah dasar di usia 7 tahun. Aturan yang sama juga berlaku di Indonesia. Hal ini turut dijelaskan oleh Tauhid Aminulloh, salah satu orangtua yang sepakat dengan aturan tujuh tahun masuk sekolah dasar.
“Usia masuk sekolah idealnya memang ketika anak berusia tujuh tahun. Itu masuk SD. Jadi TK itu memang tempat belajar nonformal. Artinya, kalaupun orang tua perlu memasukkan anaknya ke TK, harusnya TK sekedar dilihat sebagai tempat bermain,” kata Tauhid kepada Tirto.
Baca juga: Membedah Rahasia Kesuksesan Pendidikan Finlandia
Kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah setiap tahun ajaran baru, masih banyak orangtua yang protes kepada Panitia Penerimaan Siswa Baru karena anaknya tidak bisa diterima di SD dengan alasan usia kurang dari 7 tahun. Mereka berdalih dengan alasan anaknya sudah mampu membaca dan menulis, dan sering luput untuk mempertimbangkan kesiapan mental dan psikologis anak.
Lukita Purnamasari menjelaskan bahwa pada usia 5-6 tahun, anak masih dalam tahap mengembangkan keterampilan sosial dan motorik atau gerak. Sedangkan untuk mulai belajar di kelas 1 SD anak harus sudah bisa serius mengikuti pelajaran dalam waktu yang cukup lama dan dalam ruang yang terbatas.
“Anak dianggap paling siap secara fisik pada usia 7 tahun. Sedang, menurut teori perkembangan, anak mulai bisa berkonsentrasi dengan baik pada usia di atas 6 tahun,” kata Lukita, seperti dikutip Sahabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca juga: Jika Sekolah Mulai Lebih Siang, Anak akan Lebih Berprestasi
Seperti kita sadari, bahwa sekolah formal seperti di tingkat SD sangat berbeda jauh dengan sistem di taman kanak-kanak. Di jenjang SD, anak tidak lagi mendapat perhatian sebanyak ketika ia di TK yang masih sangat tergantung dengan guru-gurunya. Di sekolah dasar, anak dituntut untuk lebih mandiri dan bertanggungjawab dengan waktu belaja lebih lama dan materi pembelajaran yang jauh lebih beragam.
Selain itu, lingkungan sekolah yang jauh lebih luas dan lebih beragam juga akan menjadi faktor penting yang menuntut kesiapan mental psikologis anak. jadi tidak melulu sekedar bisa membaca dan menulis saja.
Hal yang sama diungkapkan oleh Dr. Saptawati Bordosono. Ia menjelaskan bahwa usia sangat menentukan tingkat kognisi dan karakter setiap anak. Ia juga mengkhawatirkan keputusan orang tua yang memilih memasukkan anaknya ke sekolah formal lebih awal, terlebih dengan pembentukan karakter si anak sendiri.
"Karakternya belum terbentuk. Jadi khawatirnya, bila sekolah sebelum usia , pembentukan karakternya tidak mewakili keluarganya. Banyak campur tangan di luar keluarganya. Itu yang membuat dia nanti menjadi berbeda," tutur Dr. Saptawati, dilansir dari Antara.
Baca juga: Ujian Nasional Tak Menjamin Siswa Lebih Pandai
Dr. Amanda Mergler, psikologis dari School of Early Childhood, Queensand University of Technology meneliti 224.000 sekolah selama empat tahun.
Sistem pendidikan di Australia mengatur bahwa anak sudah dapat masuk sekolah formal di usia lima tahun. Sementara itu, Megler menemukan bahwa orang tua di Australia mempunyai kecenderungan menahan anaknya sekolah sampai dengan usia 6 tahun. Mulai dari tahun 2010 sampai dengan 2014 ia menemukan bahwa kecenderungan orang tua menunda anaknya bersekolah sampai usia enam tahun tersebut meningkat dari 1,5 persen menjadi 2,9 persen.
Menurut Megler, peningkatan tersebut berdasarkan pada tingkat kecemasan orang tua terhadap tekanan pada anak-anaknya di tahun pertama mereka sekolah. Ia juga menyampaikan bahwa mengirim anak-anak ke sekolah secara prematur dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan anak di masa depan.
Baca juga:Mengajarkan Anak-anak Menghindari Berita Hoax
“Jika kita mengirim anak-anak yang terlalu muda untuk mulai bersekolah dan menuntut mereka untuk berperilaku dan melakukan hal-hal yang sebenarnya belum mereka bisa, itu sama saja membentuk mereka menjadi’ anak-anak bermasalah’,” kata Megler.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani