Menuju konten utama

Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita

Ada dua pokok yang masih menjadi soal utama dalam sistem pendidikan di Indonesia: bongkar-pasang kurikulum dan kualitas guru.

Yang Meresahkan dari Sistem Sekolah Kita
Sejumlah pelajar SMK Negeri 3 Kota Tangerang mengikuti pembekalan jelang Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), di Tangerang, Banten, Jumat (31/3). Pihak sekolah memberikan keyakinan kepada para pelajar SMK Negeri 3 agar konsentrasi dan tidak khawatir dalam mengikuti UNBK yang dijadwalkan akan diselenggarakan pada 3-6 April 2017. ANTARA FOTO/Fajrin Raharjo/ama/17

tirto.id - Adolf adalah murid rajin, tak pernah curang dalam ujian, hampir tak pernah mangkir dari sekolah, dan rapornya selalu dipenuhi nilai A. Dia senang menggambar, tak banyak bicara, juga tak pernah membikin ulah. Namun, para guru mengeluhkan Adolf yang dianggap kurang total menyimak pelajaran. Mereka mengkhawatirkan masa depan Adolf yang tampak lebih suka melamun ketimbang menyimak gurunya. Namun, orang-orang kemudian lega karena ternyata Adolf ternyata tak seperti yang dikhawatirkan. Ia malah bercita-cita menjadi tentara.

Kisah itu diceritakan ulang oleh Omi Intan Naomi dalam buku Menggugat Pendidikan. Adolf di cerita itu tak lain adalah Adolf dengan nama belakang Hitler. Cerita itu kemudian bermuara pada pertanyaan: tidak adakah yang bisa menangkap apa yang ada dalam jiwa Adolf kecil sebelum ia tumbuh? Bukankah di sekolah itu Adolf juga diwarnai agama yang menjunjung cinta-kasih? Seberapa besar andil para guru Adolf? Bukankah pendidikan seharusnya bisa menjadi kompas dalam perjalanan si terdidik?

Di tempat lain, Russelin Edhyati, seorang perempuan yang punya perhatian bagi adiknya, menyampaikan keresahannya soal Amal, adiknya yang dianggap berbeda dengan anak kebanyakan. Amal tidak suka berada di kelas. Karenanya, Ruselin mencari sekolah alternatif yang sesuai kebutuhan adiknya. Akhirnya, ia memilih SALAM (Sanggar Anak Alam). Russelin percaya bahwa anak-anak tak sepatutnya hanya disodori satu macam metode.

“Kekhawatiran pertama adalah jika kurikulum masih dipakai dengan konsep sebagaimana sekarang, kita akan jadi orang yang sama. Kita dicetak sama untuk jadi produk yang mudah diolah. Mindset kita selamanya akan menjadi pegawai, dan kamu tidak akan punya keberanian memulai sendiri, karena kamu enggak punya kepercayaan diri,” Russelin melontarkan keresahannya.

Bongkar-Pasang Kurikulum dan Kualitas Guru

Terkait dunia sekolah, Dompet Dhuafa University pernah melakukan penelitian terkait persepsi masyarakat tentang program pendidikan. Terdapat 449 responden dari 8 provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Dari penelitian itu, 86 persen responden menilai pendidikan di Indonesia belum mampu memberikan dampak positif terhadap budi pekerti, sedangkan sebanyak 14 persen menyatakan sudah puas.

Terkait korupsi, ada 34 persen responden perilaku korupsi dipengaruhi oleh faktor pendidikan, sedangkan 66 persen menyatakan sebaliknya. Sebanyak 58 persen responden menilai kurikulum bisa meningkatkan kualitas pendidikan sedangkan 42 persen mengatakan kurikulum tidak meningkatkan pendidikan Indonesia.

Selain ketidaksinambungan antara sekolah dengan nilai-nilai etika seperti ditunjukkan angka-angka di atas, ada pula masalah lain dalam pendidikan yang terkait persoalan struktural dan kebijakan.

Reiza Patters, seorang jurnalis dan peneliti, dalam Pergerakan Indonesia Menggugat mencatat bahwa Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), telah melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan nasional dalam rentang 1947-2013. Kurikulum 1947, yang disebut dengan Rencana Pelajaran Dirinci Dalam Rencana Pelajaran Terurai, terimplementasi selama 17 tahun dan mengalami perubahan pada tahun 1964, yang disebut dengan Rencana Pendidikan Dasar yang hanya terlaksana selama 4 tahun.

Selanjutnya, pada tahun 1968 diterapkan Kurikulum Sekolah Dasar yang kemudian diubah menjadi Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan di tahun 1974. Satu tahun kemudian, tahun 1975, kurikulum diubah kembali menjadi Kurikulum Sekolah Dasar. Lalu, pada tahun 1984, Kurikulum Sekolah Dasar, diubah menjadi Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (K-CBSA).

Setelah terimplementasi selama 10 tahun, CBSA diubah menjadi Kurikulum 1994. Pada tahun 2004, Kurikulum CBSA mengalami perubahan yang cukup signifikan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), lalu disempurnakan pada 2006 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS). Dan, di tahun 2013 pemerintah kembali menerapkan kurikulum baru: Kurikulum 2013 (K-13). Belakangan, Menteri Anies Baswedan pun membatalkan kurikulum ini.

Reiza menyampaikan bahwa penggantian model kurikulum yang ingin diberlakukan itu sah-sah saja dilakukan, jika memang dibutuhkan untuk membuat dunia pendidikan Indonesia semakin berkembang. Apalagi jika kurikulum itu bisa membuat guru lebih memahami apa yang harus mereka lakukan dalam menghadapi siswa didik sesuai tingkatan umur dan tugas perkembangannya secara profesional bisa membuat siswa didik menjadi lebih bergairah dalam belajar. Namun, menurutnya pergantian kurikulum yang tergesa-gesa tanpa kajian mendalam justru akan sia-sia.

Selain masalah kurikulum, kualitas guru juga perlu disorot. Tauhid Aminulloh, konseptor Sekolah Tani Muda sekaligus fasilitator di sekolah Wikikopi, Yogyakarta mengatakan kualitas guru harus dibenahi. Guru, menurutnya, harus memahami betul mata pelajaran yang dia ajarkan, serta menyampaikannya dengan metode terbaik.

“Guru sekarang jauh dari metode-metode pembelajaran, sebagian besar tahunya mengajar itu berdiri di kelas, orasi di situ, mendikte pengetahuan ke murid. Mereka kadang tidak tertarik dengan metode-metode mengajar yang lain. Guru harus terus mengembangkan metode pembelajarannya. Kita seharusnya melihat yang terpenting sekolah itu bukan bangunan, bukan kurikulum, tapi guru. Guru yang memang suka belajar,” tambah Tauhid.

Infografik Keresahan Dari Sekolah

Banyaknya persoalan pendidikan yang masih dialami di Indonesia ini juga dibeberkan oleh konselor pendidikan Itje Chodijah dalam diskusi publik menyambut hari Pendidikan Nasional. Menurutnya, salah satunya adalah rumitnya peraturan administrasi untuk guru memperoleh karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal tersebut mengakibatkan rendahnya motivasi guru untuk meningkatkan kualitas mengajar dan hanya mengejar karir sebagai PNS.

“Motivasi administratif yang sangat sederhana cuma pengin jadi PNS. Saya malah suka bilang, 'apa, sih, masalahnya? Kalau mau jadi guru jadi guru saja. Jangan kejar-kejaran hanya untuk jadi PNS, hanya untuk dapat pensiun.' Memang ada, sih, yang ingin jadi PNS dan memang berkualitas. Ketika masuk [menjadi PNS], dia [mengajar dengan] bagus, tapi berapa jumlahnya? Sedikit sekali yang seperti itu. Dan ini faktor utama, kegagalan pendidikan kita ada di gurunya,” ungkap dia kepada Tirto.

Terkait guru, tak ada salahnya jika kita menilik sistem pendidikan di Finlandia. Di sana, ada timbal balik antara guru dengan orangtua di sana. Orangtua paham bahwa mengajar merupakan pekerjaan yang kompleks dan penuh dinamika. Maka, orangtua pun mendukung para guru dalam semua aspek.

Seperti pernah dibahas dalam laporan tentang rahasia pendidikan di Finlandia, orangtua di sana akan membantu guru. Mereka tak disalahkan atau disebut tidak mampu mengajar. Orangtua juga menganggap guru sebagai pahlawan kesuksesan. Siswa pun banyak yang menghias dan memajang foto guru di kamarnya, bahkan dengan tambahan kalimat "You are my inspiration."

Tentu, semua itu harus dilengkapi dengan prasyarat lain: kualitas guru itu sendiri. Harus diakui bahwa ada masalah di lini ini. Data hasil penilaian Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) tahun 2010 Dinas Kabupaten Sleman menyatakan bahwa terdapat 47,37 persen dari peserta Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) bidang studi IPS dinyatakan tidak lulus. Guru kita juga masih banyak yang mengajar tak sesuai dengan bidang kompetensinya. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, seperti dipetik Kompas, hanya sebesar 22 persen saja yang mengajar bidang studi yang sesuai.

Baca juga artikel terkait HARDIKNAS atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani