tirto.id - Pada suatu siang di hari Sabtu, sebuah sekolah yang terletak di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, mendadak ramai. Usut punya usut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy-lah yang menjadi penyebabnya. Ia secara tiba-tiba melakukan kunjungan ke sekolah bernama Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN) I Luwuk itu untuk berdialog dengan para murid.
Dengan cepat Muhadjir memasuki sejumlah ruangan kelas di sekolah itu. Ketika ia selesai berdialog di sebuah ruang kelas dan hendak meninggalkan ruangan, tiba-tiba seorang murid mengacungkan jarinya, meminta kesempatan untuk bertanya kepada sang Menteri.
"Mohon maaf Pak Menteri, boleh saya bertanya," ujar Mohamad Kaharuddin, nama sang murid yang masih duduk di kelas XII, dengan lugas, seperti dikutip dari kantor berita Antara. "Pak Menteri, apakah ujian nasional [UN] itu masih akan dilakukan? Apakah UN tidak menghambur-hamburkan dana saja."
Gemuruh tepuk tangan para siswa dan guru pun menyambut pertanyaan tersebut.
"Lha, menurut kamu bagaimana?," kata Muhadjir, balik bertanya.
"Menurut saya Pak, UN tidak perlu lagi. Dihapus saja, karena kalau UN itu siswa pasti meniru-niru temannya. Maksudnya, mencontek. Jadi, UN buang-buang dana saja," katanya tegas, sembari para siswa menyambut pernyataan itu dengan riuh tepuk tangan.
Sembari tersenyum, Muhadjir pun menjawab, "Keputusannya nanti, kami segera umumkan apakah tahun depan masih ada UN atau tidak. Berdoa saja ya? Mudah-mudahan..."
Percakapan itu terjadi pada 5 November lalu, dan seperti yang sudah-sudah, wacana penghapusan UN selalu berkembang dan menarik perhatian publik.
Beberapa minggu berselang, Jumat pekan lalu, Presiden Joko Widodo berusaha memperjelas sikap pemerintah terhadap isu itu. Ia menyatakan moratorium UN pada 2017 masih belum diputuskan. Tapi jika penghapusan memang diperlukan untuk meningkatkan standar kualitas pendidikan maka akan dilakukan.
"Tapi tentu saja harus ada rapat terbatas dulu yang nantinya akan kita putuskan," kata Jokowi.
Sikap Muhadjir sendiri jelas. UN hanyalah berfungsi untuk memetakan kualitas pendidikan nasional, sehingga tidak perlu dilakukan setiap tahun. Hal yang lebih krusial, menurutnya, adalah pembenahan sistem pendidikan Indonesia yang bertolak dari hasil pemetaan hasil UN. Hanya 30 persen sekolah yang sudah berada di atas standar nasional.
"Kalau sudah tahu dengan [pemetaan] melalui UN ternyata sekitar 30 persen saja yang bagus, maka kami harus melakukan pembenahan-pembenahan dulu," kata dia.
Aspek-aspek yang ditingkatkan, lanjutnya, antara lain kualitas guru, proses bimbingan dan pembelajaran, revitalisasi sekolah dan lingkungan. Biaya pembenahan tersebut akan menggunakan anggaran yang seharusnya digunakan untuk pelaksanaan ujian nasional.
Muhadjir pantas risau, sebab berdasarkan sejumlah peringkat pendidikan yang dirilis oleh beberapa lembaga internasional, posisi Indonesia masih rendah, kendati menunjukkan sedikit perbaikan. Artinya, selama ini tidak ada perbaikan signifikan dalam sistem pendidikan.
Dalam studi the Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) misalnya, Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2012 secara konsisten berada di peringkat bawah.
Sementara itu, berdasarkan indeks yang dalam laporan The Learning Curve yang dirilis oleh Pearson Education dan ditulis oleh The Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 dan 2014, Indonesia juga menempati posisi bawah.
Berkaca Dari Negara Lain
Dari daftar pada laporan PISA dan Learning Curve, terdapat sejumlah negara yang secara konsisten menonjol, yakni negara-negara Skandinavia dengan Finlandia sebagai cream of the crop-nya, dan negara-negara di wilayah Asia Timur, seperti Korea Selatan, Jepang, dan Hong Kong-Cina.
Dalam sistem pendidikan di negara-negara tersebut, ada beberapa perbedaan mendasar dengan sistem Indonesia. Finlandia, misalnya, menerapkan sistem pendidikan yang tidak ortodoks. Mereka menerapkan sistem pendidikan yang tidak didorong oleh sistem evaluasi dan menempatkan murid benar-benar sebagai obyek pembelajaran. Kualitas guru juga sangat dijaga, namun tidak melupakan kesejahteraan mereka.
Anak-anak di Finlandia tidak memulai sekolah hingga mereka berusia tujuh tahun, ketika mereka dinilai sudah benar-benar siap untuk belajar. Tapi, hampir serupa dengan di Indonesia, anak-anak wajib bersekolah selama sembilan tahun. Bedanya, hari-hari sekolah lebih pendek dan kelas juga lebih sedikit. Pekerjaan rumah pun sangat minim.
Selain itu, tidak ada tes standardisasi yang diamanatkan. Tidak ada pula peringkat, perbandingan atau persaingan antara siswa, sekolah atau daerah.
Di sisi lain, seluruh guru di Finlandia wajib memiliki gelar magister yang disubsidi penuh oleh pemerintah. Guru-guru ini biasanya juga merupakan bagian dari 10 persen lulusan terbaik di universitas. Mereka mendapatkan gaji yang cukup layak sekitar $42.800 per tahun menurut laporan The Guardian, dan dipandang memiliki status yang setara dengan dokter ataupun pengacara.
Dengan sistem tersebut, mereka hampir selalu berada di lima besar posisi teratas dengan skor PISA tertinggi sejak tahun 2000 hingga 2012.
Sementara itu, Korea Selatan menerapkan sistem yang berbeda. Di negara ini, para muridnya harus menjalani waktu belajar yang sangat panjang yakni delapan jam per hari di sekolah. Setelah itu mereka biasanya mengambil kelas privat di luar sekolah resmi, belum ditambah dengan jam belajar pribadi mereka di rumah.
Masyarakat Korea sangat fokus pada pendidikan. Para orangtua sangat menginginkan anaknya masuk di universitas bergengsi dan lulus. Hal ini kemudian membuat tekanan sosial pada pelajar menjadi tinggi, yang kemudian berdampak pada tingginya tingkat stres pada pelajar akibat kompetisi yang begitu ketat.
Tapi terlepas dari kekurangannya, sistem tersebut jelas membuahkan hasil. Dalam empat dekade, negara itu berhasil bertransformasi dari negara berkembang menjadi salah satu macan Asia. Sumber daya manusia berkualitas yang diperoleh dari pendidikan yang baik dapat mengubah nasib perekonomian suatu bangsa.
Lantas apakah kesamaan dari dua negara tersebut? Keduanya sama-sama memiliki kultur yang melihat pendidikan sebagai hal penting buat masa depan bangsa. Studi The Learning Curve pada tahun 2012 menemukan bahwa kultur masyarakat memegang peranan penting dalam sukses tidaknya sistem pendidikan di suatu negara. Sejauh mana tingkat dukungan pendidikan dalam kultur masyarakat merupakan kuncinya.
"Sebagian besar ahli mengatakan, hal yang lebih penting daripada uang adalah tingkat dukungan pendidikan dalam budaya di sekitarnya," kata laporan tersebut.
Selain itu, guru juga memegang peranan penting. Laporan itu mengatakan bahwa tidak ada daftar yang absah untuk menentukan atau mengidentifikasi guru yang sangat baik, dan bagaimana memperoleh mereka.
Akan tetapi, "sistem sekolah yang berhasil memiliki sejumlah kesamaan: mereka menemukan cara yang efektif secara kultural untuk menarik orang-orang terbaik kepada profesi [guru]; mereka menyediakan pelatihan yang relevan dan terus berlanjut; mereka memberikan guru status yang sama dengan profesi dihormati lainnya; dan sistem [pendidikan tersebut] juga menetapkan tujuan dan harapan yang jelas, tetapi juga memungkinkan guru untuk mencapai tujuan tersebut."
Bagi Indonesia yang beberapa waktu lalu dihiasi dengan berita kasus penganiayaan guru oleh muridnya dan masih besarnya kesenjangan pendidikan antar daerah, hal ini merupakan pekerjaan rumah yang besar. Namun seperti Korea Selatan, dan negara Asia Timur lainnya yang mampu bangkit, maka tercapainya sistem pendidikan yang lebih baik bukanlah hal yang muskil.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara