tirto.id - Peleburan Kementerian Riset dan Teknologi dan Badan Riset dan Inovasi Nasional ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah kabar yang cukup mengejutkan. Kurang lebih dua tahun terakhir, publik sudah mengetahui bahwa pemerintah akan mendirikan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang diharapkan menjadi pil ampuh untuk menggenjot inovasi di Indonesia.
Di tengah pembentukan badan tersebut, komunitas ilmuwan dan akademisi tidak terlalu yakin harus bersikap seperti apa dalam memandang masa depan sains nasional. Di satu sisi, ada asa bahwa BRIN bisa mengakselerasi rencana-rencana besar yang disusun di atas landasan sains dan pengetahuan. Di sisi lain, keberadaan BRIN justru mempertaruhkan posisi banyak peneliti, terutama ASN, yang nasibnya tidak menentu lantaran rencana penyatuan lembaga penelitian pemerintah di bawah BRIN itu sendiri. Ketika semua desas-desus tersebut tidak terjawab, kejutan justru hadir dengan dileburnya Kemenristek ke dalam naungan Kemendikbud, yang sudah kocar-kacir menambal sulam pendidikan nasional, terlebih selama pandemi.
Ada satu pihak yang tidak pernah kaget dengan semua rencana tersebut. Pihak inilah yang pertama kali secara terang-terangan mendorong munculnya lembaga bernama BRIN. Dalam berbagai kesempatan, partai pemenang pemilu 2019, PDI-P dikabarkan terinspirasi oleh efektivitas lembaga seperti Chinese Academy of Sciencesyang menata pemanfaatan sains dan teknologi dengan pendekatan sentralistik. Sejak terilhami keberadaan lembaga tersebut, partai berkuasa di Indonesia pun getol menyampaikan ide-idenya melalui Undang Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah disahkan pada 2019.
Sejak itu, berbagai pemangku kepentingan sains dan IPTEK rajin berdiskusi mengenai bentuk ideal BRIN dan penataan kelembagaan yang efektif agar menguntungkan semua pihak. Organisasi perwakilan ilmuwan seperti ALMI (Akademi Ilmuwan Muda Indonesia) sebenarnya sudah menyampaikan pandangan bahwa kehadiran satu lembaga baru seperti BRIN belum tentu dapat membenahi tumpang-tindih aktor dalam ekosistem sains dan IPTEK. Namun, berhubung komunitas sains dalam masa lampau, kini, dan depan tidak akan pernah memiliki kuasa, maka BRIN harus terwujud. Terlebih, BRIN sudah menjadi mandat partai.
Di dalam berbagai forum diskusi selama dua tahun terakhir, baik yang terbuka untuk publik maupun tidak, semua aktor telah menyampaikan pandangannya mengenai bentuk ideal BRIN, upaya terbaik untuk menyatukan SDM sains, cara mendorong kualitas ASN dalam bidang IPTEK, dan hingga cara untuk memanfaatkan momentum perubahan yang ada. Di dalam berbagai diskusi tersebut beredar banyak data dan fakta yang menarik, mulai dari kaitan antara teknologi dan pertumbuhan ekonomi hingga minimnya persentase alokasi APBN untuk riset. Namun, fakta yang tidak pernah terdengar adalah soal bagaimana BRIN pada akhirnya hendak diwujudkan. Ketika forum usai, perbincangan umumnya berlanjut ke desas-desus: konon ini dan konon itu mengenai desain apa yang dikehendaki partai untuk lembaga impian bernama BRIN. Yang paling mengherankan, pejabat setingkat menteri pun tidak bisa menjelaskan secara terbuka kepada publik mengapa perpres pengesahan pembentukan BRIN tidak pernah diundangkan oleh KemenkumHAM dalam jangka waktu satu tahun.
Kalimat di atas adalah fakta. Fakta bahwa publik, dan bahkan para pejabat eselon satu dan dua di kementerian yang terkait, tidak pernah mengetahui apa rencana konkrit dalam pembentukan badan riset dan inovasi nasional. Di berbagai forum yang saya ikuti dalam kapasitas profesional, saya mendengar langsung tentang bagaimana para pembuat kebijakan hanya bisa menunggu sampai ada keputusan lanjut dari tingkat yang lebih tinggi, yang tidak terjangkau oleh mereka yang sebenarnya paling terkena dampak keputusan tersebut, yaitu para ASN sains iptek dan komunitas ilmiah itu sendiri. Sampai sekarang tidak ada yang bisa menjawab masa depan lembaga seperti BPPT, BATAN atau LAPAN. Contoh lain dari keganjilan tata kelola BRIN adalah kaitannya dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), di mana dalam draf RUU HIP tersebut dikatakan bahwa pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) juga akan berperan sebagai pengarah BRIN. Bagi komunitas ilmiah, keterkaitan antara dua lembaga tersebut tidak relevan.
Semenjak kabar peleburan Kemenristek ke dalam Kemendikbud mulai beredar, pelaku sains mulai dari peneliti junior, analis kebijakan hingga sosok ilmuwan senior seperti Prof. Mayling Oey-Gardiner urun pemikiran dan pendapat. Dalam observasi saya, hanya satu-dua sosok yang mau menyentuh akar persoalan sesungguhnya, yakni pemikiran sepihak sebuah partai politik terutama para pengurus seniornya yang tidak pernah mengkomunikasikan gagasannya secara transparan dengan para pelaku sains itu sendiri.
Sheila Jasanoff, ilmuwan pengkaji sains, teknologi dan masyarakat, dalam banyak literatur menggunakan istilah civic epistemology untuk menggambarkan ada-tidaknya sebuah nalar publik yang terbentuk dari tabiat negara dalam menggunakan sains untuk mengambil keputusan atau kebijakan. Di tiap masyarakat harusnya nalar publik itu ada—yang membedakan adalah bentuk dan kualitasnya.
Contoh konkret civic epistemology yang terdapat di masyarakat Indonesia adalah persepsi yang terbentuk akibat prioritas negara dalam mendengarkan pendapat pelaku ekonomi ketimbang komunitas ilmiah, terutama pakar kesehatan publik dalam penanganan Covid-19. Rasionalitas yang terbentuk secara timbal balik bukanlah rasionalitas yang didasari oleh nalar kesehatan dan keamanan, melainkan rasionalitas jangka pendek yang didorong naluri ekonomi. Negara melanggengkan hal tersebut di dalam banyak bidang lainnya. Akibatnya, nalar publikdi negeri kita dicederai berbagai kepentingan yang senantiasa terselubung dan bahkan dibela oleh negara.
Inilah yang kemudian terjadi lagi dalam kasus pembentukan BRIN. Kebijakan yang harusnya diurus secara profesional, terbuka, rasional, justru menjadi rembuk tertutup elit politik. Kalaupun setelah berbagai kesemrawutan prosedural ini BRIN akhirnya dapat berkiprah dengan baik, para pemangku kepentingan sudah paham bahwa hal tersebut dimungkinkan oleh proses politik yang akhirnya berhasil diurai di balik layar. Forum-forum formal yang menjadi panggung bagi semua aktor untuk menyampaikan opini, gagasan, data dan fakta seolah jadi arena pantas-pantasan saja. Mungkin ada satu-dua pertimbangan yang akan sampai di kuping elit partai, namun apa yang sesungguhnya menjadi dasar pengambilan keputusan oleh para elit merupakan realitas politik di panggung belakang.
Pada akhirnya, seandainya pun pembentukan BRIN dianggap sebagai sebuah tonggak keberhasilan bagi mereka yang merintisnya. Padahal, yang paling penting sesungguhnya adalah proses bagaimana ia didirikan: minim transparansi, didominasi kekuatan politik, nihil komunikasi terbuka dan tidak dilandasi pertimbangan para pemangku utamanya, yakni komunitas sains dan iptek.
Tak heran jika civic epistemology kita miskin cara berpikir ilmiah.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.