tirto.id - Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Prof Wiku Adisasmito, meminta semua daerah memantau perkembangan zonasi risiko dari minggu ke minggu secara serius. Peningkatan jumlah daerah yang masuk zona merah (risiko tinggi) dan zona oranye (risiko sedang) menunjukkan adanya anggapan bahwa zona oranye tergolong aman, padahal tidak demikian.
"Ini tentunya harus disikapi secara serius. Ingat, zona risiko sedang bukan zona aman, sedikit lengah maka kabupaten/kota dapat berpindah ke zona yang lebih tinggi dan lebih berbahaya," ungkap Wiku dalam keterangan pers pada Selasa (15/12/2020) yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Kabupaten/kota di Indonesia dikelompokkan ke dalam 4 zona, yaitu zona merah (risiko tinggi), zona oranye (risiko sedang), zona kuning (risiko rendah), dan zona hijau. Pada praktiknya, jumlah kabupaten/kota yang masuk zona hijau dari pekan ke pekan semakin tipis.
Berdasarkan data Satgas Penanganan COVID-19 per 6 Desember 2020,terdapat 9,14 persen (47 kabupaten/kota) yang masuk zona merah. Selain itu ada 72,18 persen kabupaten/kota di zona oranye, 16,34 persen di zona kuning, dan hanya 2,33 persen yang masuk zona hijau.
Data per 14 Desember 2020 menunjukkan kenaikan jumlah kabupaten/kota di zona merah dan oranye. Zona merah diisi oleh 12,45 persen atau setara dengan 64 kabupaten/kota. Sementara itu, zona oranye menjadi 380 kabupaten/kota (73,93 persen). Ini membuat zona kuning tersisa 11,48 persen dan zona hijau hanya 2,14 persen.
Jika melihat perkembangan zonasi risiko sejak 31 Mei 2020, zona oranye (risiko sedang) sudah ada di kisaran 70 persen sejak pekan 25 Oktober. Ini dapat diartikan, mayoritas kabupaten/kota merasa nyaman untuk tetap di zona oranye.
Untuk mencegah perubahan zona oranye ke merah atau kuning ke oranye, Wiku meminta upaya 3T yaitu testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan) dan treatment (perawatan) terus dimasifkan. Selain itu, penting pula disiplin protokol kesehatan 3M di tengah masyarakat terus digencarkan sehingga tercipta kedisiplinan dan kepatuhan.
Selain mengingatkan soal zona risiko penularan COVID-19, Wiku juga menyatakan perkembangan angka positivity rate tingkat nasional perlu mendapatkan perhatian serius.
Positivity rate tingkat nasional pada Juni 2020 mencapai titik 11,71 persen. Angkanya terus naik sampai September dengan 16,11 persen. Dalam bulan Oktober, positivity nasional ada 13,86 persen, lalu November pada 13,61 persen. Namun, kembali naik hingga per 13 Desember 2020 mencapai 18,10%.
Angka positivity rate nasional tersebut sangat tinggi, di atas standar World Health Organization (WHO) yaitu harusnya dibawah 5%. Wiku mengingatkan, hal ini menunjukkan penularan masih tetap tinggi di tengah-tengah masyarakat.
"Tingginya positivity rate menunjukkan bahwa masih tingginya penularan yang terjadi di masyarakat. Hal ini sangat berbahaya. Positivity rate yang tinggi hanya dapat ditekan melalui kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan," jelasnya.
Sementara pemerintah berupaya mencegah penularan COVID-19 dengan 3T (testing, tracing, dan treatment), masyarakat dapat bersinergi dengan menerapkan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan).
M pertama dalam 3M, memakai masker, adalah langkah preventif paling dekat dengan diri sendiri. Dengan memakai masker, seseorang bertanggungjawab untuk mencegah dirinya tertular virus sekaligus menghalangi penularan virus dari dirinya kepada orang lain.
M kedua dalam 3M adalah menjaga jarak, idealnya 2 meter dari orang lain dengan pertimbangan jarak terjauh yang dijangkau droplet ketika seseorang berbicara. Mengingat penularan COVID-19 terjadi karena droplet, hal ini penting. Selain itu, dalam M kedua ini penting pula menghindari kerumunan..
M ketiga dalam 3M adalah mencuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir selama 20 detik. Jika tidak ada air dan sabun, gunakan hand sanitizer dengan alkohol setidaknya 60 persen.
-----------------
Artikel ini diterbitkan atas kerja sama Tirto.id dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Editor: Agung DH