Menuju konten utama

Panas-Dingin Hong Kong dan Beijing akibat RUU Ekstradisi

RRC berkuasa atas Hong Kong sejak 1997. Kebebasan berdemokrasi yang dijanjikan mulanya dijaga. Semakin ke sini, semakin sulit dicari.

Panas-Dingin Hong Kong dan Beijing akibat RUU Ekstradisi
Para pengunjuk rasa berbaris di sepanjang jalan pusat kota menentang amandemen yang diusulkan untuk undang-undang ekstradisi di Hong Kong, Minggu, 9 Juni 2019.AP Photo/Vincent Yu

tirto.id - Warga Hong Kong berbondong-bondong turun ke jalan, memprotes rencana pemerintahnya mengesahkan sebuah rancangan undang-undang ekstradisi baru, sejak Minggu (9/6) kemarin.

RUU baru itu akan memudahkan transfer buronan antara Hong Kong, Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, dan Makau. Bila disahkan, mereka yang jadi tersangka di Hong Kong dapat diekstradisi ke RRC—negara yang populer disebut Cina Daratan oleh orang-orang Hong Kong. Pemerintah Hong Kong mengatakan undang-undang ini disusun untuk membuat Hong Kong tak lagi jadi "surga" para penjahat.

Dilansir Guardian, motivasi pengesahan undang-undang ini ialah kasus pembunuhan seorang wanita asal Hong Kong di Taiwan. Otoritas Taiwan menengarai bahwa pembunuh wanita itu adalah pacarnya sendiri. Tetapi, otoritas Taiwan tidak dapat menyelidiki atau mengadili si pacar karena dia berada di Hong Kong yang tidak punya perjanjian ekstradisi dengan Taiwan.

Para demonstran menilai rancangan undang-undang ini hanya akan digunakan untuk menghukum musuh politik Cina daratan. George Wan, demonstran yang diwawancara New York Times, mengatakan sistem peradilan di RRC tidak sebagus Hong Kong. Pemerintah Hong Kong pun dinilai Wan buru-buru meloloskan undang-undang ekstradisi baru ini tanpa meminta pendapat rakyat. Sementara Lee Kin-long, warga Hong Kong berusia 46 tahun, menyatakan rancangan undang-undang ekstradisi itu berbahaya, utamanya bagi kebebasan warga Hong Kong.

“Kami bukan aktivis. Bahkan sebagai warga negara biasa, kami tidak tahan melihat Cina mengikis kebebasan kami,” sebut Kin-long.

Tapi, tunggu dulu. Bukankah Hong Kong masuk wilayah kekuasaan RRC?

Jawaban dari pernyataan itu: ya, betul, Hong Kong masuk wilayah kekuasaan Cina. Namun, kata "ya" saja tidak cukup untuk menjelaskan relasi unik RRC dengan Hong Kong. Mengenal relasi ini ialah mula untuk memahami mengapa warga Hong Kong melancarkan demonstrasi menentang rancangan undang-undang tersebut.

Hong Kong, dari Imperium Inggris ke Komunis Cina

Sejak 1841, Hong Kong berada dalam kekuasaan Inggris. Ini merupakan hasil keputusan alot yang diambil Cina selepas Inggris menyerangnya dalam Perang Opium Pertama pada 1839. Pada 1842, perang tersebut berakhir dengan ditekennya Perjanjian Nanking oleh Inggris dan Cina.

Di tangan Inggris, Hong Kong menjadi pusat perdagangan orang Eropa di Asia Timur. Melalui Perjanjian Beijing Kedua pada 1898, waktu berkuasa Inggris atas Hong Kong ditambah 99 tahun.

Semasa itu, Cina daratan bergejolak. Perang saudara antara golongan nasionalis dan komunis pecah pada 1946. Kelompok komunis, dengan pimpinannya Mao Zedong, memenangkan pertarungan ini dan mendirikan Republik Rakyat Cina (RRC). Sementara kelompok nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-sek dan berhimpun dalam partai Kuo Min Tang melarikan diri ke Taiwan. Di sana, mereka mendirikan Republik Cina yang beribukota Taipei.

Pada 1980-an, pimpinan RRC Deng Xiaoping mengusulkan konsep "One Country, Two Systems" (Satu Negeri Dua Sistem) untuk merayu teritori yang secara historis merupakan bagian dari Cina namun dikuasai negara lain dan tentu saja tidak bersistem komunis, misalnya Hong Kong, Taiwan, dan Makau. Yang disebut terakhir dikuasai Portugis hingga 1974.

Dalam naungan "One Country, Two Systems", RRC menjanjikan tiga teritori itu otonomi luas untuk mengurus eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah pusat RRC—kerap disebut Beijing, sesuai ibukota RRC—dilarang mengintervensi serta Partai Komunis Cina (PKC) tidak hadir secara resmi untuk mengurus urusan teritori. Kebebasan berpendapat, pers, beragama, dan protes dilindungi hukum. Sementara Beijing bertanggung jawab atas pertahanan dan urusan luar negeri.

Pada 1984, RRC-Inggris sepakat menyerahkan Hong Kong ke RRC pada 1997. Tiga tahun kemudian, RRC-Portugis setuju menyerahkan Makau ke RRC. Sementara Taiwan tidak menyetujui usulan Deng. Mereka menentangnya lewat pelbagai usulan baru seperti "Satu Cina, Dua Pemerintahan". Melalui itu, Taiwan ingin hidup berdampingan dengan RRC sebagai dua rezim negara yang terpisah tapi setara.

Transaksi kekuasaan atas Hong Kong dari Inggris ke RRC pun berlangsung tepat pada 1 Juli 1997. Pada 1999, Makau juga secara sah dikuasai RRC.

Dalam tata negara RRC, Hong Kong dan Makau menjadi Daerah Administrasi Khusus (SAR) RRC. Konsep "One Country, Two Systems" pun dibakukan menjadi Basic Law alias konstitusi mini Hong Kong. Ia kadaluarsa 50 tahun sejak 1997 alias tepat pada 2047. Apa yang bakal berlaku di Hong Kong setelah 2047, belum diumumkan.

Hong Kong dan Cina Daratan, Dekat Tapi Terasa Jauh

Alvin Y. So menuliskan tahapan-tahapan penting relasi Hong Kong dan Cina daratan dalam "'One Country, Two Systems' and Hong Kong-China National Integration: A Crisis-Transformation Perspective" (2011). Relasi ini berubah seiring dinamika politik yang terjadi di antara dua wilayah tersebut.

Semasa pemerintah Inggris berkuasa atas Hong Kong, penduduk Cina bagian selatan berbondong-bondong masuk Hong Kong. Mereka mencari peruntungan sekaligus menghindari perang yang berkecamuk di Cina daratan. Inggris juga tak membuat perbatasan resmi yang memisahkan Hong Kong dan Cina daratan sehingga orang leluasa keluar-masuk Hong Kong.

Inggris membangun pagar tinggi-tinggi sebagai pemisah Hong Kong dengan Cina daratan setelah hampir satu juta orang Cina daratan mengungsi ke Hong Kong pasca-Revolusi Komunis yang melahirkan RRC (1946-1949). Pemerintah kolonial Inggris takut pengaruh komunis menyebar ke Hong Kong. Sementara itu, RRC juga mengetatkan penjagaan perbatasan dan memagarinya dengan kawat berduri sebab khawatir kapitalisme Hong Kong masuk Cina daratan.

Setelah itu, Inggris juga mengalihkan orientasi ekonomi Hong Kong yang semula sebagai penyalur perdagangan berorientasi Cina daratan menjadi ekspor terindustrialisasi berorientasi pasar global. Di masa ini pula, orang-orang Hong Kong mulai mengindentifikasi diri sebagai "Hong Kongers" dan kritis terhadap pemerintahan RRC.

Integrasi ekonomi antara Hong Kong dan RRC mulai terjalin kembali setelah 1984. Dalam bimbingan "One Country, Two System", pebisnis kecil Hong Kong mempekerjakan banyak penduduk Guangdong, provinsi RRC tetangga Hong Kong. Meski demikian, integrasi politik mengalami kemunduran karena pembantaian Tiananmen 1989.

Tragedi Tinanmen mendorong para pelajar Hong Kong memprotes Beijing. Selain itu, orang-orang Cina daratan yang menghindari kekejaman rezim RRC mengungsi ke Hong Kong. Di Hong Kong, mereka menjaga dan mengembangkan gerakan perlawanan terhadap Beijing. Walhasil, Beijing pun menganggap Hong Kong sebagai markasnya para pembangkang.

Gelap-Terang "One Country, Two System"

Relasi di atas menciptakan anggapan "One Country, Two System" baik secara ekonomi, tapi buruk secara politik untuk Hong Kong.

Namun, benarkah anggapan tersebut? Menurut Yo, setelah berkuasa atas Hong Kong pada 1997, Beijing dinilai menghormati demokrasi di Hong Kong. Protes anti-komunis di Hong Kong dibolehkan, kebebasan pers berjalan, dan pemilu diselenggarakan untuk memilih kepala eksekutif dan badan legislatif. Namun, pada 1997, krisis ekonomi yang melanda Asia turut menyerang Hong Kong. Situasi ekonomi Hong Kong memburuk tatkala ekonomi RRC tumbuh semakin pesat sejak 1990-an.

Jelang 1997, mungkin hanya situasi ekonomi saja yang memburuk. Tetapi, pada 2003, situasi ekonomi dan politik sama buruknya di Hong Kong.

Infografik PAnas dingin RRC Hongkong

Infografik PAnas dingin RRC Hongkong. tirto.id/Fuad

Ekonomi Hong Kong semakin menderita ketika PBB meluncurkan peringatan berkunjung (travel warning) ke Hong Kong menyusul epidemik Sindrom Pernapasan Akut Berat (SARS) di sana pada 2003. Sebagai gambaran, produk domestik bruto (PDB) Hong Kong terhadap RRC dari 27 persen pada 1993 menjadi kurang dari tiga persen pada 2017.

Pada tahun yang sama, pemerintah SAR Hong Kong memberlakukan hukum anti-subversi. Menjalankan amanat pasal 23 Basic Law, peraturan tersebut melarang segala tindakan pengkhianatan, separatis, penghasutan, subversi terhadap Beijing.

Walhasil, tepat pada 1 Juli 2003, sekitar 500 ribu orang turun melancarkan aksi protes. Menurut mereka, pasal 23 mengancam kebebasan berkumpul, informasi, dan pers, serta membahayakan kemerdekaan berpendapat dan beragama di Hong Kong.

Aksi itu merupakan demonstrasi terbesar perdana di Hong Kong sejak 1997. Demonstrasi itu kerap dijadikan landasan historis aksi protes warga Hong Kong terhadap Beijing pada tahun-tahun berikutnya, termasuk Umbrella Movement 2014 dan demonstrasi menolak rancangan undang-undang ekstradisi tahun ini.

Menyusul krisis ekonomi dan politik Hong Kong, Beijing mengambil tindakan mempercepat proses integrasi Hong Kong ke Cina daratan. Proses ini dilakukan secara resmi, melibatkan perjanjian yang diteken Hong Kong dan RRC. Hasilnya berupa Skema Perjalanan Individu yang membolehkan penduduk asal sembilan provinsi RRC mengunjungi Hong Kong secara pribadi. Sebelumnya, pengunjung mesti melalui paket tur resmi. Proses pengajuan tur ini rumit dan memakan waktu lama, bahkan bisa hingga berbulan-bulan.

Hong Kong dan pemerintah daerah Guanddong juga menandatangani Pengaturan Partisipasi Ekonomi yang Lebih Dekat (CEPA) pada 2003 dan CEPA II pada 2005. CEPA menggratiskan tarif masuk 1.087 produk bikinan Hong Kong ke Guangdong. CEPA II menggratiskan tarif masuk jasa dari Hong Kong. Setelah ini, banyak universitas di Hong Kong buka cabang di Cina daratan. Sebaliknya, orang-orang di Cina daratan juga banyak yang kuliah di Hong Kong.

Pada Februari 2019, Beijing mengungkapkan rencana Greater Bay Area yang menghubungkan Hong Kong, Makau, dan sembilan kota besar di Cina daratan bagian selatan dalam satu jejaring ekonomi lewat pengembangan teknologi, inovasi, infrastruktur, dan finansial.

Namun, seiring dengan ambisi Beijing yang semakin besar, sebagaimana ditulis Ben Bland dalam Foreign Policy, dalam tiga tahun terakhir, pemerintah Hong Kong yang ditunjuk oleh Beijing telah mengambil banyak langkah represif, bahkan sebelum aparat menggunakan kekerasan untuk menyetop demonstran penentang rancangan undang-undang ekstradisi baru.

Menurut catatan penulis buku HK: Seeking Identity in China’s Shadow tersebut, pemerintah mendiskualifikasi anggota parlemen terpilih, melarang aktivis muda mencalonkan diri dalam pemilu, melarang partai politik, memenjarakan pemimpin protes pro-demokrasi, mengusir seorang jurnalis asing senior, dan tidak peduli ketika Beijing menculik penjual buku pengkritik Beijing di Hong Kong.

Pelbagai aksi itu menunjukkan semakin Beijing ingin "One Country", semakin warga Hong Kong bereaksi menuju "Two System".

Baca juga artikel terkait EKSTRADISI atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf