Menuju konten utama
Album Klasik Indonesia

Pamor Vina Panduwinata Melampaui Burung Camar

Stempel "Diva Indonesia" yang dialamatkan pada Vina Panduwinata bukan sekadar bualan. Album-albumnya membuktikan kebenaran label tersebut.

Pamor Vina Panduwinata Melampaui Burung Camar
Vina Panduwinata. tirto.id/Sabit

tirto.id - Vina Panduwinata sebetulnya bisa saja mengikuti jejak sang ayah, Raden Panduwinata, untuk menjadi seorang diplomat, atau mungkin birokrat pemerintahan. Namun, sejak belia, kata hati Vina berkata lain. Vina ingin bernyanyi.

Setelah mengikuti perjalanan dinas sang ayah ke Jerman Barat, Vina memutuskan untuk mendalami dunia tarik suara. Modalnya sudah dirasa cukup: beberapa single yang dirilis label lokal Jerman, RCA Hamburg.

Pada 1981, Vina merilis album debut bertajuk Citra Biru. Di album ini, suaranya yang lembut mengalun halus di antara komposisi musik yang terasa sekali pengaruh “baratnya”—imbas dari bertahun-tahun tumbuh di Jerman.

Tak ada yang patut disesalkan di album pertama Vina. Bisa dibilang ia berhasil membangun pamornya selaku penyanyi pop yang punya karakter kuat dan tak mengekor eksistensi penyanyi lainnya.

Dua hal itulah yang kelak turut membentuk citranya sebagai “Diva Pop Indonesia”.

Lebih dari “Burung Camar”

Publik mengenal Vina melalui lagu “Burung Camar”, jika bukan “Di Dadaku Ada Kamu”. Sebagian besar orang hanya mengingat dua nomor tersebut. Bagaimanapun, baik “Burung Camar” maupun “Di Dadaku Ada Kamu”, yang masing-masing termaktub dalam album Citra Ceria (1984) dan Burung Camar (1985), merupakan titik puncak popularitas seorang Vina Panduwinata.

Lewat dua lagu itu, pamor Vina menjulang tinggi dan membawanya ke barisan penyanyi terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia—sejajar dengan, katakanlah, Rien Djamain, Ermy Kulit, sampai Utha Likumahuwa.

Namun, yang mesti publik ingat, bakat Vina melampaui “Burung Camar”, dan ini terlihat jelas dalam album Citra Pesona (1983).

Usai debut yang menjanjikan, Vina kembali meneruskan capaian apiknya di Citra Pesona. Bila di album pertama Vina masih seperti main aman, Vina mulai berani keluar dari zona nyaman di album kedua.

Sampul albumnya pun sudah terlihat berbeda. Di Citra Biru, Vina digambarkan sebagai sosok kalem. Sorot matanya sedikit sayu menjurus kosong, tak ada senyum, dan rambutnya yang lebat terurai begitu saja, mirip Mariya Takeuchi, pelantun tembang “Plastic Love” yang populer dan bikin anak-anak muda kiwari kesengsem berat itu.

Sementara di cover kedua, gambaran akan Vina yang kalem tidak terlihat. Vina berubah jadi sosok yang lebih serius. Rambutnya basah seperti habis menyelami samudera pasang dan tatapan matanya tajam.

Dari aspek musikalitas pun juga muncul pergeseran yang signifikan. Album Citra Pesona tak lagi memuat nomor-nomor pop melankolis ala soundtrack film-film garapan Wim Umboh atau Teguh Karya. Di album barunya, Vina membuka kemungkinan eksplorasi musik yang bermacam rupa: dari bossa, jazz, soul, hingga city pop.

Singkatnya, album Citra Pesona lebih kaya warna.

Album dibuka dengan “Dunia yang Kudamba”. Iringan orkestra yang disusun Addie M.S. terdengar megah, dominan, sekaligus membentuk ikatan yang solid dengan nafas pop dan jazz yang muncul sepanjang lagu.

Berikutnya ada “September Ceria”, nomor dalam Citra Pesona yang meledak dan jadi salah satu hits Vina. Kekuatan lagu ini terletak pada lirik anthemic yang berbunyi, “September ceria milik kita bersama”, seolah hendak membuktikan kepada khalayak: September tak semata soal tragedi, melainkan juga tentang cinta dan harapan untuk hidup bersama.

Infografik Vina Paduwinata

Infografik Vina Paduwinata. tirto.id/Sabit

Dua nomor ini, “Rembulan” dan “Maaf”, menjadi ladang Vina untuk menumpahkan segala kenangan muram. Kendati bisa disebut sebagai lagu patah hati, Vina berupaya untuk bernyanyi dengan suara yang tegak dan kokoh—menegaskan bahwa semua akan baik-baik saja.

Pengaruh Motown, yang identik dengan warna musik soul, nampak pada nomor “Resah”. Aransemen musiknya sungguh kompleks, melibatkan ketukan-ketukan yang energik hingga solo flute yang nyaring di telinga.

Di album Citra Pesona, karakter vokal Vina perlahan berkembang matang. Keraguan Vina untuk mengambil nada-nada tinggi di album pertama tak lagi nampak. Vina pun juga lebih piawai mengatur harmoni dan leluasa berimprovisasi.

Kredit tersendiri patut disematkan pada Addie M.S. dan Dodo Zakaria. Keduanya berhasil menciptakan aransemen musik yang kuat. Komposisi orkestra yang dibuat Addie tak ragu dan tak canggung melebur dengan melodi-melodi bikinan Dodo. Di tangan mereka, perpaduan antara sesuatu klasik dan modern menyatu padu secara paripurna.

Sekali lagi, album Citra Pesona membuktikan Vina tak sekadar “Burung Camar”. Dengan album ini, Vina sukses meyakinkan publik akan potensinya yang besar, menghempaskan pelbagai keraguan yang hadir, dan membuka lebar jalan karier yang nantinya terbentang amat panjang—serta senantiasa awet.

Untuk itulah kita bisa lupakan Mariya Takeuchi sejenak sebab kita punya Vina Panduwinata.

Baca juga artikel terkait MUSIK INDONESIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf