Menuju konten utama
Album Klasik Indonesia

Nada & Apresiasi (1982): Lantun Dahsyat Suara Utha Likumahuwa

Utha terlahir dengan suara emas; berhasil membikin pendengarnya seperti terus-menerus dibuai manisnya asmara.

Nada & Apresiasi (1982): Lantun Dahsyat Suara Utha Likumahuwa
Ilustrasi Utha Likumahuwa. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam kancah musik Indonesia, Ambon dikenal sebagai daerah yang konsisten melahirkan penyanyi bersuara emas. Anda bisa sebut Bob Tutupoly, Broery Marantika, Harvey Malaiholo, hingga Glenn Fredly. Kendati tidak berada pada satu generasi yang sama, mereka punya kemiripan: bersuara dahsyat.

Deretan daftar penyanyi di atas akan terasa lengkap bila turut menyertakan nama Utha Likumahuwa. Dibandingkan yang lain, setidaknya bagi saya, Utha adalah kewajiban manakala Anda ingin membahas dinamika musik pop-jazz Indonesia. Utha tak sekadar menjadi wajah keberhasilan Ambon dalam memproduksi bakat-bakat bernas, melainkan juga potret geliat musik pop-jazz dekade 1980-an yang tengah panas-panasnya muncul ke permukaan.

Utha terlahir dengan bakat olah vokal yang mumpuni. Meski begitu, kariernya di masa-masa awal justru dibangun bukan dari medan tarik suara. Pada era 1970-an, misalnya, ketika tinggal di Bandung, Utha justru tergabung sebagai drummer band rock bernama Big Brother. Tak hanya menggebuk drum, Utha juga mahir memainkan piano.

Tapi, panggilan hati memang tak bisa ditampik. Utha akhirnya memantapkan diri untuk menjadi penyanyi. Setelah mengelana dari satu pub ke pub yang lain, Utha, pada awal warsa 1980-an, direkrut sebagai vokalis di Jopie Item Combo. Kelompok jazz rock ini sering manggung di Captain Bar Mandarin Hotel, Jakarta.

Panggung malam membikin popularitas Utha perlahan melonjak. Suaranya yang khas membuat perusahaan rekaman tertarik memboyongnya. Terlebih, pada 1981, sebagaimana ditulis kritikus musik almarhum Denny Sakrie, Utha berhasil menjuarai Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors, menyanyikan “Tembang Pribumi” karya Christ Kayhatu.

Sejak saat itu, pintu karier Utha terbuka begitu lebar. Puluhan album, lagu-lagu hits, kolaborasi, hingga juara kompetisi menyanyi berhasil ia bikin dan dapatkan. Namanya pun berdiri tegak, menjadi padan kata dari penyanyi pop legendaris di masanya.

Suara Menggelegar

Utha, pada satu kesempatan, pernah mengaku bahwa ia sangat kagum dan terinspirasi dengan gaya vokal penyanyi macam Gino Vannelli, Alex Ligertwood, Stevie Wonder, maupun James Ingram. Dari penyanyi-penyanyi tersebut, Utha membangun karakter vokalnya yang cenderung ekspresif, tegas, dan, tentu saja, tinggi menggelegar.

Vokal Utha memang unik. Ia merupakan sedikit dari penyanyi Indonesia yang dapat memadukan tenor tiga oktaf dengan karakter vokal yang cenderung menyibak aura pop. Kekuatannya inilah yang lantas membikin lagu-lagu Utha seperti punya soul, selain juga dapat diterima mudah oleh audiens.

Perjalanan karier Utha diisi dengan puluhan album. Mengambil album mana yang paling baik, atau dengan kata lain mampu mencerminkan musikalitas Utha secara proporsional, bukanlah perkara yang mudah. Hampir setiap album memenuhi kualifikasi tersebut.

Namun demikian, Nada & Apresiasi (1982), bisa dibilang menjadi gambaran tepat bagaimana vokal Utha melantun dengan (hampir) sempurna. Album ini tak cuma bergizi dan berkualitas secara komposisi musik, tapi juga berhasil meletakan pondasi bagi karya-karya Utha selanjutnya.

Album Nada & Apresiasi dirilis di bawah Granada Records. Dalam prosesnya, Utha ditemani musisi pengiring seperti Kayhatu (keyboard), Karim Suweileh (drum), Joko (gitar), Jopie Item (gitar), Yance Manusama (bass), serta Embong (saksofon). Beruntung bagi Utha: musisi pengiringnya telah punya reputasi jempolan dan, dengan serta merta, memberikan jaminan aransemen yang mumpuni.

Total ada 11 lagu yang termuat dalam Nada & Apresiasi. Semua lagu dibungkus dalam aransemen yang tak jauh-jauh dari warna city pop dan jazz. Sepintas ada pengaruh The Isley Brothers, Hugh Masekela, Tatsuro Yamashita, hingga Stevie Wonder di album My Cherie Amour (1969).

Nomor berjudul “Tersiksa Lagi” membuka kotak dalam album. Lagu yang dibikin Kayhatu dan Youngky Alamsyah ini, kendati mendatangkan kontroversi karena dianggap plagiat dari komposisi berjudul “You’re the Reason” ciptaan pianis jazz Ramsey Lewis, langsung menjadi track andalan Nada & Apresiasi.

Infografik Utha Likumahuwa

Infografik Utha Likumahuwa. tirto.id/Nadia

Bagian terbaiknya tentu saat Utha bernyanyi, “Kala surya menghilang/Bulan dan bintang 'kan bersemi lagi/Bagaikan pelita yang datang/Menyinari sukma yang hilangkan lara/Duka nestapa” dengan sangat halus. Musiknya mengalun lembut sembari mengajak pendengar sedikit bergoyang.

Di lagu berikutnya, “Kenikmatan Tersendiri”, Utha masih menebar pesona. Di bagian reff, vokalnya melengking tinggi━seperti membelah cakrawala kenangan. Solo saksofon Embong di tengah lagu kian menambah kesyahduan.

Apabila Anda menyukai tembang-tembang city pop yang kerap berseliweran di YouTube, track “Pertama Kali” kiranya bakal dengan mudah mencuri perhatian serupa. Ketukan di bagian intro, melodi Jopie, serta cabikan bass Yance mengingatkan saya pada nomor “Let’s Dance Baby” atau “Donut Song” garapan Yamashita.

Sementara dalam “Hanyalah Engkau” dan “Di Sini Aku”, Utha berupaya menjaga harapan dan optimisme tentang asmara. Menariknya pula, album ini turut memuat sepasang nomor instrumental, “F. 15” serta “Mimpi,” yang semuanya diaransemen oleh Jopie. Aroma Casiopea, kelompok funk-jazz asal Jepang sangat terasa, khususnya di track yang disebut pertama.

Mendengarkan keseluruhan materi dalam Nada & Apresiasi membuat saya seperti kembali ke masa silam yang dipenuhi momen-momen tak terlupakan. Utha, dengan vokalnya yang lembut, dalam, sekaligus bernyawa, berhasil membawa saya menyelami petualangan yang sebelumnya hanya berada di kerak ingatan.

Walaupun ada beberapa bagian dari lagu yang terdengar cheesy, sebab memuat gombalan-gombalan yang diharapkan mampu bikin sang pujaan hati takluk ke haribaan, hal tersebut bisa dimaafkan dengan kualitas vokal dan musik yang seperti tanpa tanding. Utha memiliki kualitas yang tidak bisa ditepikan begitu saja. Dan sudah semestinya kita bersyukur pernah (atau masih) menikmati suaranya.

Baca juga artikel terkait JAZZ atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono