tirto.id - Pada pertengahan 1970-an, Eros Djarot berkenalan dengan Teguh Karya, sutradara film sekaligus pembesar Teater Populer—tempat kakak Eros, Slamet Rahardjo, menimba ilmu drama. Karena sudah kenal, Eros, yang dikenal blak-blakan, pun dengan leluasa melayangkan kritiknya terhadap lagu-lagu dalam film Teguh.
Sekali, dua kali, kritik Eros masih bisa ditolerir Teguh. Sampai akhirnya, di satu kesempatan, Teguh mulai jengah dan berbalik menyerang Eros.
“Kalau elu ngerti, coba, deh, elu aja yang bikin ilustrasi musik film gua nanti. Gua pengen tau, tuh, hasilnya kaya apa,” tegas Teguh sebagaimana dikutip almarhum Denny Sakrie.
Eros seketika tertantang dan tanpa pikir panjang menerima tawaran Teguh. Pada 1975, Eros, bersama Barong’s Band, mulai menggarap soundtrack untuk Kawin Lari, yang dibintangi Slamet dan Christine Hakim. Garapan Eros ternyata tokcer: ia diganjar Piala Citra untuk Penata Musik Terbaik dalam Festival Film Indonesia 1976.
Setahun berselang, Teguh kembali meminta Eros menggarap musik latar untuk film yang kelak jadi salah satu magnum opus-nya, Badai Pasti Berlalu. Eros, lagi-lagi, menyetujui tawaran Teguh dan segera mencari nama-nama yang akan membantu dirinya menyelesaikan proses penggarapan album.
Bersama Chrisye dan Yockie Suryoprayogo, Eros membikin 13 lagu. Beberapa di antaranya yaitu “Angin Malam,” “Khayalku,” “Cintaku,” “Badai Pasti Berlalu,” “Semusim,” “Pelangi,” hingga “Merepih Alam.”
Kelak, album ini menjadi pencapaian penting dalam kancah musik pop Indonesia.
Berkat “Suara Kuntilanak”
Ada beberapa alasan mengapa album Badai Pasti Berlu disebut-sebut sebagai tonggak musik pop Tanah Air.
Ketika album ini dilepas ke pasaran, industri musik pop digenangi lagu-lagu dengan tendensi komersial—dalam arti bahwa perkara kualitas pikir belakangan. Di tengah gejolak semacam itu, Badai Pasti Berlalu lahir sebagai antitesis.
Album ini menolak tunduk pada pakem “album pop biasa.” Album Badai Pasti Berlalu adalah album yang, menyitir kata-kata Yockie, lahir oleh “semangat dan greget yang jauh dari naluri industrial.” Jika tak percaya, Anda bisa simak sejak album ini dibuka dengan track “Pelangi” hingga ditutup lewat “Merpati Putih.”
Komposisi musik yang disusun Yockie sangat berkelas. Sesekali instrumentasi yang ia cipta memancarkan aura gloomy, kadang pula memantulkan kegelapan yang nihil harapan, sonder buaian. Progresi akornya pun tak bisa ditebak: Yockie dapat seenak jidat memasukkan warna baroque, chamber, dan, yang paling dahsyat, orkestrasi klasik abad 17 seperti yang dimainkan Bach.
Musik Yockie yang katarsis makin terdengar paripurna, dan ini menjadi faktor penting berikutnya, dengan kehadiran vokal Berlian Hutauruk yang tinggi.
Ada cerita menarik tentang keterlibatan Berlian di album Badai Pasti Berlalu. Di mata Teguh, Berlian bukanlah vokalis yang tepat untuk membawakan lagu-lagu Badai Pasti Berlalu. Alasannya: karakter vokal Berlian dinilai kelewat sopran. Sebagai gantinya, Teguh menyodorkan nama Anna Mathovani yang lebih “lembut,” seperti saat ia menyanyikan “Cinta Pertama” karya Idris Sardi.
“Teguh Karya sangat keberatan ketika saya memperdengarkan contoh rekaman Berlian Hutauruk yang akan dipergunakan dalam soundtrack film Badai Pasti Berlalu. ‘Suara apaan ini? Kayak suara kuntilanak,’ begitu kata Teguh,” kenang Eros.
Namun, baik Eros dan Yockie tak setuju. Menurut mereka, suara Berlian punya chemistry yang pas dengan nuansa aransemen musik yang dibangun dalam Badai Pasti Berlalu. Ketegangan tak bisa dihindarkan sampai akhirnya, demi menyelesaikan beda pendapat, Eros memberi Teguh ultimatum.
“Kalo enggak setuju dengan konsep musik saya ini, ya, batalin aja semuanya,” kata Eros. Masalah pun bisa teratasi. Teguh melunak dan menerima pilihan Eros.
Berlian merupakan penyanyi yang lahir di Jakarta pada 1957. Bakat olah vokalnya sudah terlihat sejak belia. Di umurnya yang baru menginjak 11 tahun, misalnya, Berlian sudah tampil di acara “Ayo Menyanyi” yang disiarkan di TVRI.
Seiring waktu, potensinya kian terasah, berkat tempaan gereja, di mana ia sering menyanyikan lagu-lagu religius. Karakter vokalnya pun terbentuk dengan meyakinkan. Tak tanggung-tanggung, ia bernyanyi dengan membawa gaya sopran, suatu hal yang jarang dijumpai di dunia musik—terlebih pop—Indonesia dekade 1970-an.
Soal gaya sopran ini terlihat jelas ketika Berlian menyanyikan lagu-lagu Badai Pasti Berlalu. Berkat vokalnya, nomor seperti “Semusim” dan “Matahari” terdengar begitu gelap, muram, dan depresif, sebagaimana kisah Siska (Christine Hakim), si karakter utama, yang terombang-ambing realita dan asmara.
Bisa dibilang suara Berlian memberikan semacam ruh tersendiri, membikin lirik-lirik ciptaan Eros—yang romantis namun tak terjebak pada pola mendayu-dayu—menjadi lebih hidup serta menyentuh sukma pendengarnya.
“Suara Berlian Huaturuk itu sangat inspiratif. Bahkan, nuansa klasikal [dari vokalnya] punya chemistry dengan nuansa arransemen musik yang saya bangun,” tegas Yockie tentang vokal Berlian.
Membicarakan betapa dahsyatnya album Badai Pasti Berlalu tak mungkin lengkap bila tak menyebut kontribusi Berlian. Anda boleh sebut album ini bisa besar karena Eros, Yockie, atau Chrisye. Tapi, satu hal yang pasti—dan tak dapat dilupakan: dengan adanya vokal Berlian, yang sempat disebut “suara kuntilanak,” album tersebut makin terdengar gemuruhnya.
Editor: Nuran Wibisono