tirto.id - Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Mesir pada 1798, sebagaimana dilakukan terhadap daerah taklukan lainnya, Napoleon Bonaparte memerintahkan pasukannya untuk memantau situasi sekaligus memetakan sumber daya alam.
Panglima perang Prancis ini berharap tanah jajahan barunya memberikan keuntungan guna menunjang segala aktivitas Prancis, khususnya terkait ambisi perang Napoleon. Terlebih, Mesir adalah wilayah yang sangat strategis karena menjadi penghubung antara Asia dengan Eropa, sehingga memiliki potensi besar untuk mendongkrak pendapatan Prancis.
Di tengah eksplorasi, Napoleon menerjunkan satu tim yang bertugas menganalisis kondisi lapangan dari Laut Mediterania ke Laut Merah untuk membangun terusan yang membelah daratan Suez. Ia ingin memastikan bahwa pembangunan terusan aman, tidak mengganggu penduduk sekitar, dan dapat dilaksanakan dengan lancar.
Setelah lima tahun melakukan pemetaan lapangan, rencana penyatuan "Barat" dan "Timur"--yang sesungguhnya gagasan lama sejak dari zaman Mesir Kuno--tidak dapat dijalankan karena kendala teknis yang tidak dapat diatasi. Daratan calon terusan ternyata lebih rendah 30 kaki atau 9 meter dibanding permukaan Laut Merah. Temuan ini diungkap oleh insinyur Prancis yang juga anggota tim surveyor, Jacques-Marie Le Père, yang kemudian disampaikan langsung kepada Napoleon.
Atas temuan Le Père, Napoleon terpaksa menghentikan proyek raksasa ini sebab khawatir wilayah Delta Sungai Nil akan rusak karena kirimin air dari Laut Merah. Selain itu, sebagaimana disebut Valeska Huber dalam Channeling Mobilities: Migration and Globalization in the Suez Canal Region and Beyond 1869-1914 (2013, hlm. 21), kondisi Laut Merah kala itu adalah wilayah yang tak ramah bagi perahu layar. Kondisinya yang diapit gunung serta memiliki karakteristik yang kering dan tandus membuat daerah ini minim embusan angin. Di wilayah ini juga banyak terdapat batu karang yang membuat kapal semakin sulit dikendalikan.
Tiga dekade kemudian, gagasan untuk memulai kembali proyek yang akan memotong jalur pelayaran klasik yang melewati Tanjung Harapan ini kembali mencuat. Pada 1833, sekelompok teknisi Prancis yang dipimpin Prosper Enfantin ingin menyatukan wilayah Eropa dan Asia dengan membuat terusan di Suez. Baginya, tutur Zachary Karabell dalam The Creation of Suez Canal (2003, hlm. 14-15), terpisahnya daratan Barat dan Timur membuat persebaran arus pengetahuan antardua dunia tersebut terhambat. Maka itu, membuat Terusan Suez adalah opsi terbaik untuk menyatukan peradaban di Barat dan Timur.
Memasuki abad ke-19, perkembangan pengetahuan dan teknologi memang kian berkembang pesat. Penemuan mesin uap yang kelak dipasangkan ke dalam kapal dan ditemukannya sistem penguncian air laut guna mengatasi perbedaan ketinggian air laut, membuat hambatan yang sudah dipaparkan sebelumnya bukan lagi menjadi penghalang.
Namun, gagasan cemerlang Enfantin baru dilaksanakan pada 1854 oleh orang Prancis bernama Ferdinand de Lesseps. Setelah melakukan negosiasi panjang dengan penguasa Mesir, Muhammad Said Pasha, pada 25 April 1859, proyek raksasa pembangunan Terusan Suez resmi dimulai. Pendanaan dilakukan de Lesseps melalui perusahaan kontraktornya dengan meminta dana ke pemerintah Prancis dan membuka pintu investasi hingga berhasil menggaet ribuan investor dari Eropa, Arab, Amerika, dan Cina.
Getirnya Pembangunan
Mengeruk tanah secara manual oleh tenaga manusia dengan jarak lebih dari 100 km tentu bukan pekerjaan mudah. Dengan tingkat kesulitan pekerjaan tersebut, siapa yang berminat menjadi kuli Terusan Suez? Permasalahan ini juga turut menjadi perdebatan antara Said Pasha dengan de Lesseps.
Masih merujuk buku Zachary Karabell, Said Pasha berjanji mengganti sistem tenaga kerja sukarela yang sudah dua tahun berjalan dan menyediakan tenaga kerja baru dengan memanfaatkan sistem corvée, sistem kerja paksa yang memiliki jangka waktu sementara tetapi bukan bagian dari perbudakan. Dalam sistem ini, para pekerja akan bekerja sesuai permintaan penguasa.
Namun, de Lesseps berada di posisi dilematis. Ia tidak ingin proyek pengerjaan memakai sistem tersebut karena rentan menjadi sasaran kritik. Tetapi di sisi lain, ia juga kesulitan mencari pekerja. Usahanya berkeliling ke beberapa suku lokal untuk menggaet pekerja tidak membuahkan hasil. Ia hanya mendapatkan pekerja dari luar wilayah seperti Suriah dan Palestina, bahkan berasal dari Australia, Cina, dan Amerika. Itu pun jumlahnya masih terlalu kecil, hanya ratusan dan tidak memadai untuk menggali terusan besar.
“Penduduk desa waspada terhadap orang asing yang menjanjikan upah untuk pekerjaan yang dilakukan berhari-hari dan jauh dari rumah mereka,” tulis Karabell.
Akhirnya, karena tidak ada pilihan lain de Lesseps pun terpaksa mengikuti usulan Said Pasha. Pada tahun 1861, atas perintah penguasa tertinggi Mesir, ribuan orang mulai berdatangan dan secara serius menggarap proyek besar ini. Tercatat lebih dari 20.000 pekerja diterjunkan untuk membelah daratan. Sumber lain menyebut bahwa dalam satu dekade pembangunan sekitar 1.5 juta orang dari berbagai negara diturunkan dalam proyek ambisius ini.
Proyek raksasa ini kemudian menorehkan catatan kelam. Para pekerjanya hidup dalam kondisi memprihatinkan. Mereka harus menggali tanah menggunakan tangan dan peralatan sederhana di tengah terik matahari dan panasnya gurun. Begitu juga pada malam hari, mereka harus bekerja di kala dinginnya padang pasir. Belum lagi harus memindahkan tanah dan ribuan batu dari satu tempat ke tempat lain. Lokasi istirahat pun tidak memadai, hanya tenda, alas, dan selimut seadanya. Jumlahnya juga tidak sebanding dengan banyaknya pekerja. Alhasil, tidak sedikit dari mereka yang terpaksa istirahat di lahan terbuka dekat proyek.
Meskipun mendapatkan bayaran ketika usai bekerja—yang tidak jelas kapan selesainya--mereka bertugas di bawah intimidasi. Para mandor tidak segan memberi hukuman cambuk dan perlakuan kasar lainnya jika pekerja mencoba kabur dari proyek. Penderitaan bertubi-tubi ini membuat banyak yang meninggal ketika bekerja.
Hal ini diperparah ketika pasokan air yang mengalir ke wilayah proyek tercemar bakteri kolera. Dampaknya, para pekerja yang memanfaatkan air tersebut terjangkit penyakit mematikan hingga banyak yang tutup usia karena sakit.
Meski demikian, tidak ada catatan pemberontakan yang dilakukan oleh para pekerja. Penyebabnya karena mereka terlalu mengikuti sistem dan cenderung pasrah. Terlebih, sistem corvée memang sudah terlanjur menjadi bagian dari kehidupan banyak orang Mesir. Maka itu, dalam menjalani pekerjaannya, para pekerja tidak akan protes dan berusaha untuk tidak bekerja terlalu keras dan selalu percaya bahwa pekerjaan mereka akan berakhir.
Satu-satunya protes yang terjadi justru datang dari pihak luar. Pada 1862, Pemerintah Inggris berperan penting dalam upaya menghentikan kerja paksa. Protes keras Inggris membuahkan hasil. Otoritas lokal akhirnya memerintahkan untuk menarik seluruh pekerja dan menghapus kerja paksa hingga membuat proyek terhenti.
Dua tahun berselang, proyek berjalan kembali. Kali ini perusahaan sudah mulai memanfaatkan alat berat dan berbagai macam mekanika serupa, selain menggunakan tenaga manusia. Mulai dari sinilah proyek berjalan dengan cepat dan rampung pada 1869.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi