Menuju konten utama

Pada 1975, Indonesia yang Memerangi Timor Timur, Pak Prabowo

Jokowi bilang tak ada ancaman perang dalam 20 tahun ke depan. Prabowo menyanggah dengan melontarkan soal perang di Timor Timur pada 1975.

Pada 1975, Indonesia yang Memerangi Timor Timur, Pak Prabowo
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Laiknya Monumen Nasional (Monas) tanpa emas di puncaknya. Begitu kiranya analogi militer Indonesia tanpa Timor Timur (Timtim). Debat Keempat Pemilihan Presiden 2019 yang berlangsung Sabtu (30/3) kemarin menunjukkan bahwa analogi itu pas.

Dalam debat yang berlangsung selama hampir dua jam tersebut, kata “Timtim” disebut dua kali oleh Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02. Prabowo mengatakan itu dalam rangka menceritakan pengalamannya empat puluh empat tahun lalu kala baru saja lulus dari Akademi Militer.

“Jadi saudara, Pak Jokowi, saudara sekalian. Saya waktu letnan dua, masih muda, saya juga dapat pengarahan dari jenderal-jenderal saya tahun ‘74, [bahwa] dalam dua puluh tahun tidak akan terjadi perang. Tahu-tahu tahun ‘75, Timtim meletus. Saya, letnan dua, berangkat ke Timtim, Pak. Padahal, jenderal-jenderal saya memberi pengarahan dalam dua puluh tahun tidak akan ada perang,” ujar Prabowo.

Pangkal pernyataan itu: ucapan Jokowi, calon presiden nomor urut 01, soal informasi intelijen strategis yang masuk kepadanya bahwa tidak akan ada invasi dari negara lain ke Indonesia dalam dua puluh tahun ke depan. Jokowi menerangkan ini untuk menjelaskan tanggapannya terhadap Prabowo yang mengungkit soal anggaran kecil dan betapa tidak memadai alat pertahanan dan keamanan Indonesia.

“Kalau tadi bapak membandingkan kita dengan negara negara tetangga yang memang anggaran kita lebih kecil, tetapi saya masih meyakini bahwa dari informasi intelijen strategis yang masuk pada saya mengatakan bahwa dua puluh tahun ke depan invasi dari negara lain ke negara kita dapat dikatakan tidak ada dalam waktu kurun dua puluh tahun,” kata Jokowi.

Manuver Benny dan Moertopo

Pada abad ke-17, pulau Timor dicaplok dua negara adidaya Eropa: Portugis dan Belanda. Belanda menguasai Timor bagian barat. Wilayah ini, kemudian, jadi bagian dari Indonesia yang diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 1949. Sedangkan Portugis berkuasa atas Timor bagian timur. Wilayah Timor Portugis inilah yang kemudian diambil secara paksa oleh Indonesia untuk dijadikan provinsi ke-27 yang bernama Timtim.

Yang Prabowo katakan memang benar: perang di Timtim meletus pada 1975. Namun, itu bukan perang seperti yang dimaksud Jokowi: perang yang terjadi ketika negara lain menginvasi Indonesia.

Perang di Timtim adalah perang yang diciptakan Indonesia sendiri. Pada 1975, bukan Timor Portugis atau negara lain yang menginvasi Indonesia, tapi Indonesia yang menginvasi Timor Portugis. Tentu, itu juga terlaksana berkat dukungan negara-negara sekutu Indonesia saat itu. Australia dan Amerika Serikat (AS), misalnya.

Setahun sebelum Indonesia melancarkan invasi ke Timor bagian timur, Revolusi Anyelir melanda Portugis. Revolusi ini bermula kala Perdana Menteri Portugis Marcello Caetano tidak mau menyetop perang terhadap milisi anti-kolonialisme di wilayah jajahan Portugis. Perang ini membuat kehidupan perwira junior angkatan perang Portugis sulit. Mereka pun angkat suara dengan membentuk Movimento das Forças Armadas (MFA).

MFA menuntut pemerintah Undang-undang 373-73 dicabut. Bagi mereka, pencabutan undang-undang itu bakal mengakhiri perang di tanah jajahan sekaligus menawarkan model politik baru untuk Portugis. Puncaknya, para serdadu Portugis melancarkan kudeta pada 25 April 1974.

Ketika Portugis diatur pemerintahan junta yang dipimpin MFA itulah satu per satu wilayah koloninya menyatakan kemerdekaan (Mozambik dan Angola) atau diambil alih negara terdekatnya (Goa oleh India atau São João Baptista de Ajudá oleh Benin).

Ihwal ke arah mana Timor Portugis hendak berlabuh setelah Revolusi Anyelir terbelah menjadi tiga faksi. Partai União Democrática Timorense (UDT) ingin Timor Portugis tetap menjadi wilayah Portugis. Sedangkan Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin) ingin Timor Portugis merdeka. Sementara itu, Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti), Pardito Trabalhista, dan Klibur Oan Timor Aswain ingin bergabung dengan Indonesia.

Melihat situasi tersebut, militer Indonesia tidak tinggal diam. Pada pertengahan dan akhir 1974, mereka cari cara masuk dan merayu para elite masyarakat Timor Portugis.

Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) mengirim tim intelijen ke Timor Portugis pada Juli 1974. Tim ini dipimpin Kolonel Aloysius Sugiyanto. Sebagaimana dicatat buku Benny Moerdani (2015) yang disusun Tempo dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Aloysius ditugaskan Wakil Kepala Bakin Ali Moertopo untuk menjajaki peluang integrasi dengan pemimpin sipil di Timor Portugal.

Pada Januari 1975, Bakin menaikkan status kegiatan itu menjadi operasi penggalangan politik dan diberi sandi Komodo. Operasi ini berhasil menjaring empat partai, kecuali Fretilin, untuk berintegrasi.

Pada akhir 1974, Benny Moerdani, serdadu berpangkat brigadir jenderal yang kala itu menjabat Asisten Intelijen Departemen Pertahanan dan Keamanan, menugaskan Sutiyoso untuk mencari cara masuk ke Timor Portugis. Sutiyoso, kala itu, menjabat Kepala Seksi Intelijen Grup II Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Penugasan ini adalah awal dari rangkaian operasi intelijen militer Kopassandha di Timor Portugis.

Pada pertengahan 1975, skala operasi ini dinaikkan. Benny melancarkan Operasi Flamboyan. Dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi, Flamboyan dimaksudkan untuk merekrut milisi dan menyiapkan basis untuk operasi militer skala besar.

Lampu Hijau Soeharto dan Paman Sam

Jusuf Wanandi, salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menulis dalam Menyibak Tabir Orde Baru (2014) bahwa sikap pemimpin Indonesia terhadap Timor Portugis terpecah. CSIS dan Ali Moertopo ingin solusi politik yang damai. Benny dan kelompok intelijen militer menganggap kasus Timor Portugis sebagai operasi intelijen, sedangkan para jenderal di Departemen Pertahanan dan Keamanan selalu melihat segala sesuatu dari kacamata militer.

Presiden Soeharto, orang yang kelak menjadi mertua Prabowo, pada pertengahan 1975 masih meragukan jalan militer untuk Timor Portugis.

“Ketika memulai ini, persiapan OK, memperkirakan kejadian OK, kau perlu intelijen dan evaluasi kau perlu propaganda saya tidak keberatan. Tapi kalau kita akan berperang, ini soal lain,” kata Seoharto dalam suatu pertemuannya dengan para petinggi militer Indonesia, sehari setelah perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1975.

Pertemuan itu, catat Jusuf, berselang tujuh hari setelah UDT meluncurkan kudeta di Timor Portugis. Di sana hadir sekitar 10 orang, termasuk Panglima ABRI Jenderal Maraden Panggabean, Deputi Urusan Logistik Hasnan Habib, Deputi Urusan Operasional Marsekal Udara Soedarmono, dan Benny. Pernyataan Soeharto itu ditujukan kepada Panggabean yang dalam pertemuan menyatakan pihaknya siap masuk ke Timor Portugis.

Kata Jusuf Wanandi, “Jelas Presiden tidak menginginkan invasi itu.”

Namun, pada 28 November 1975, Fretilin yang berhaluan Marxis-Leninis memproklamasikan kemerdekaan Timor Portugis. Menurut Jusuf, tindakan Fretilin melampaui puncak toleransi Pemerintah Indonesia. Belum lagi, pemerintah Indonesia dibikin pusing dengan jumlah pengungsi di Atambua yang mencapai 100 ribu orang. Soeharto tidak punya alternatif lain karena pemerintahan kolonial Portugal tidak mau melakukan apa pun untuk memulihkan ketertiban di Timor Portugis.

“Prospek sebuah rezim komunis di tengah wilayah Nusantara mengusik dia,” kata Jusuf.

infografik timor leste

undefined

Meski demikian, arsip rahasia AS yang dibuka pada 2001 mengungkap komunikasi antara Soeharto dengan Presiden AS Gerald Rudolph Ford Jr. mengenai Timor Portugis. Pada 5 Juli 1975, Soeharto menelepon Ford. Kata Soeharto, “Sebuah negara merdeka tidak akan mungkin ... Jadi, satu-satunya cara adalah mengintegrasikannya ke Indonesia."

Artinya, Soeharto sebenarnya sudah ingin mencaplok Timor Portugis sejak pertengahan 1975, sebelum menolak usulan Panggabean dan mendengar Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Portugis.

Lalu, Soeharto bertemu para jenderal pada 3 Desember 1975. Memang, tidak ada perintah tegas dari Soeharto untuk menyerang Timtim. Meski demikian, Jusuf memberi penjelasan, “Gaya Presiden Soeharto memang bukan gaya yang memberikan perintah langsung. Namun, ia memberikan lampu hijau kepada Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk mengambil alih Timtim."

Tiga hari setelah pertemuan ini, Presiden AS Ford dan Sekretaris Negara AS Henry A. Kissinger berkunjung ke Indonesia. Arsip Rahasia AS yang dibuka pada 2001 mengungkap dalam pertemuan itu, AS memberikan lampu hijau kepada Indonesia untuk menyerbu Timor Portugis.

"Adalah penting bahwa apa pun yang Anda lakukan berhasil dengan cepat,” ujar Kissinger kepada Soeharto.

Kissinger ingin Soeharto menunggu sampai dia dan Ford tiba di AS lagi.

"Presiden akan kembali pada Senin pukul 14.00 waktu Jakarta," katanya. "Kami mengerti masalahmu dan kebutuhan untuk bergerak cepat, tetapi aku hanya mengatakan bahwa akan lebih baik jika dilakukan setelah kita kembali."

Kissinger juga mengatakan AS dapat menafsirkan invasi Indonesia ke Timor Portugis sebagai "pertahanan diri" bukan "operasi luar negeri."

“Satu-satunya alasan Indonesia berperang di Timor Timur adalah karena sponsor Prabowo, Soeharto, memulai perang itu. Setelah mendapatkan lampu hijau dan senjata dari Ford dan Kissinger [pemimpin] AS, dia dan ABRI menyerbu dan membunuh sepertiga dari populasi Timor Timur, pembantaian proporsional paling intensif sejak Nazi,” ujar jurnalis investigatif yang banyak mengulas militer Indonesia, Allan Nairn, kepada Tirto, Sabtu (31/3) malam.

Seroja Membara di Bumi Lorosae

Pada 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan operasi militer merebut Timor Portugis yang diberi sandi Seroja. Memasuki 17 Juli 1976, pemerintah Indonesia meresmikan Timor Portugis sebagai provinsi ke-27 bernama Timor Timur.

Namun, kuasa Indonesia di Timor Timur tidak abadi. Pada 1999, atas desakan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), sebuah referendum dilaksanakan. Hasilnya menyatakan sebagian besar warga Timor Timur ingin merdeka dari Indonesia.

Commission for Reception, Truth, and Reconciliation (CAVR) melaporkan korban kematian terkait konflik di Timtim sekurang-kurang sebanyak 102.800 orang. Sekitar 18.600 orang di antaranya dibunuh atau hilang. Sedangkan 84.000 orang lainnya mati kelaparan atau karena sakit parah.

Sementara itu, "Indonesian Casualties in East Timor, 1975-1999: Analysis of an Official List" yang disusun Garry van Klinken menelaah sekitar sekitar 3.600 orang Indonesia tewas dalam pertempuran di Timtim pada periode 1975 hingga 1999.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani