tirto.id - Sejumlah pelaku usaha kembali melanjutkan aktivitas produksi, setelah sebelumnya berhenti karena terdampak pandemi COVID-19.
Pabrik mobil merek Daihatsu, misalnya, memutuskan untuk siap-siap beroperasi usai berhenti produksi selama dua pekan. Pabrik-pabrik lainnya menargetkan kembali beroperasi sekitar Juni-Juli 2020--bulan-bulan yang diprediksi Presiden Joko Widodo sebagai masa akhir dari pandemi COVID-19 di Indonesia.
Keputusan untuk kembali berproduksi seperti Daihatsu tidak terlepas dari kebijakan Kementerian Perindustrian yang memberikan dispensasi ke sejumlah perusahaan untuk tetap berproduksi selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Syaratnya: mematuhi protokol kesehatan seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2020 tentang Kewajiban Lapor Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang Memiliki Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI).
“Perusahaan yang tidak menyampaikan laporan pelaksanaan operasional dan mobilitas kegiatan industri sebanyak tiga kali periode akan dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan IOMKI,” ucap Menteri Perindustrian Agus Gumiwang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mendukung langkah pemerintah yang membolehkan pabrik tetap beroperasi selama PSBB. Ia bilang kebijakan itu diperlukan demi mempertahankan ekonomi dan menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ia juga memastikan kalau setiap anggotanya akan beroperasi sesuai protokol Kesehatan yang ditetapkan pemerintah.
“SE Menteri Perindustrian ini adalah salah satu opsi yang baik agar dunia usaha tidak serta merta terhenti, mengingat kepentingan untuk tetap memberikan pekerjaan dan penghasilan bagi karyawan dan ekonomi secara makro,” ucap Hariyadi dalam keterangan tertulis, Kamis (23/4/2020).
Sementara Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Berry Juliandi mengatakan belum ada jaminan kalau berbagai protokol Kesehatan yang ditetapkan pemerintah dan pengusaha terbukti efektif mencegah COVID-19. Apalagi, masih banyak yang belum diketahui tentang karakteristik virus ini, bahkan bagi ilmuwan sekalipun. Sebab, ada kemungkinan protokol yang kesehatan yang dijalankan pabrik-pabrik tersebut tiidak sesuai standar.
“Nampaknya peluang penyebaran masih tinggi walau menerapkan protokol,” ucap Berry saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/4/2020).
Karena itu, ia meminta agar perusahaan yang beroperasi cukup yang dikecualikan saja, seperti perusahaan alat kesehatan, obat-obatan, dan sembako. Kalaupun industri mau kembali beroperasi, ia menyarankan itu dilakukan usai tren pandemi melandai. Kebijakan inilah yang dilakukan di Wuhan, katanya, kota pertama tempat penyebaran COVID-19 dan relatif berhasil memberantasnya.
Butuh Waktu Lama
Selain faktor kesehatan, yaitu tidak ada jaminan penyebaran tidak terjadi di pabrik meski protokol kesehatan diterapkan, kebijakan menggerakkan kembali produksi di pabrik juga diprediksi tidak bakal efektif menggerakkan ekonomi.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan dengan kontribusi mencapai 20,27 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sektor Industri bakal menggerakan perekonomian sektor-sektor lain yang terpuruk akibat wabah. Dan, yang paling penting, adalah peningkatan Purchasing Managers' Index (PMI) yang jadi acuan pelaku pebisnis terhadap prospek perekonomian ke depan.
"Ini dapat dilihat dari melonjaknya PMI Cina dari 35 persen menjadi 53 persen di Maret 2020 atau setelah tren kasus COVID-19 di negeri tersebut melandai," ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (28/4/2020).
Masalahnya, tutupnya sektor lain seperti pusat perbelanjaan, sentra, pasar, dan pertokoan masih menghambat penyerapan produksi industri. Kalaupun mereka buka, kata Yusuf, permintaan masyarakat belum sepenuhnya pulih.
Penyebaran virus di Indonesia masih tinggi, termasuk di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang merupakan sentra produksi di Indonesia.
Bank Indonesia mencatat pos volume persediaan dan volume produksi sektor manufaktur di kuartal pertama 2020 turun ke kisaran 40 persen dari posisi kuartal terakhir 2019 yang berada di angka 50 persen. Hal ini menandakan komoditas dari pabrik menumpuk karena sulit diserap pasar. Akibatnya, produksinya juga harus dikurangi. Tren ini masih berlanjut.
“Artinya, dari sisi produksi nasional, industri manufaktur belum akan sepenuhnya bergairah dalam waktu dekat,” katanya menegaskan.
Pandangan serupa disampaikan ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri. Pemulihan itu memakan waktu. Selain itu, pertumbuhan ekonomi saja baru kembali 5 persen pada 2023-2024, jauh dari prediksi Lembaga Moneter Nasional (IMF) yang bisa menjadi 8 persen pada 2021.
Kondisi ini diperburuk oleh cara pemerintah menangani pandemi yang ia nilai lamban seperti menolak PSBB beberapa wilayah, tetap memperbolehkan mudik, hingga kurang maksimal dalam penambahan laboratorium tes COVID-19.
“Seolah-olah COVID-19 hilang tiba-tiba dan kehidupan normal kembali. Rasanya dunia akan mengalami new normal recovery tidak bisa lebih secepat yang dibayangkan,” ucap Faisal dalam diskusi daring bertajuk 'Ongkos Ekonomi Hadapi Krisis COVID-19' yang diselenggarakan Jumat pekan lalu (24/4/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana