tirto.id - Suburnya tanah dataran rendah telah menarik minat pemerintahan Hindia Belanda untuk menjadikan kawasan Kediri dan sekitarnya lumbung industri pertanian dan perkebunan sejak abad ke-19.
Pemberlakuan sistem tanam paksa (culturstelseel) sejak 1830 di Jawa Timur mendorong naiknya jumlah perkebunan tebu di Kediri. Pada era itu, tebu adalah salah satu tanaman wajib tanam selain kopi dan nila. Ada banyak orang Jawa Tengah bermigrasi ke Jawa Timur karena tergiur menggarap kebun tebu sebagai mata pencarian baru. Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur (1978) mencatat, dari 1885 sampai 1900 jumlah penduduk Jawa Timur bertambah 30 persen.
Berdirinya banyak pabrik gula (suiker fabriek) di wilayah Kediri seperti Pabrik Gula Merican, Pabrik Gula Tegowangi, Pabrik, Pabrik Gula Kawarasan, Pabrik Gula Pesantren, Pabrik Gula Purwoasri, dan Pabrik Gula Minggiran menjadi bukti besarnya industri perkebunan tebu dan pengolahan gula.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 maju pesat. Jaringan kereta api antar dan dalam kota dibangun di mana-mana. Perusahaan transportasi swasta berbasis rel asal Belanda pun mulai mengendus peruntungan.
Pada 27 September 1895, berdirilah Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM), perusahaan jasa transportasi kereta api yang membangun jaringan rel kereta di wilayah Kediri timur hingga Jombang. Dalam perkembangannya, kereta trem tak hanya hadir untuk mengakomodir angkutan perkebunan dan menunjang aktivitas pabrik gula, tetapi juga menjadi sarana transportasi massal dalam kota.
Melayani Gula
Dilihat dari jajaran direksinya, Kediri Stoomtram Maatschappij punya keterkaitan dengan Malang Stoomtram Maatschappij (MS) yang baru dibentuk pada 1897. Kursi direktur pertama dua perusahaan itu diduduki oleh orang yang sama: C.E van Kesteren. Sedangkan ketua komisaris dijabat oleh Huyser, P.C, sekretaris oleh Augustus Janssen, dan J.K Kempees sebagai ketua dewan direksi KSM.
Modal pendirian perusahaan kereta trem uap itu diketahui sebesar f 1.800.000. Hafid Rofi Pradana dalam penelitiannya yang berjudul "Perkembangan Kediri Stoomtram Maatschappij Pada Tahun 1895-1930" (2018) menyebut, modal sebesar itu dipakai untuk membangun jaringan trem lintas Kediri-Pare-Jombang sepanjang 121 km, lengkap dengan berbagai pengadaan sarana dan prasarananya.
Jalur rel KSM merupakan pendukung atau lintas cabang dari jalur rel utama Staats-Spoorwegen (SS), relasi antar kota jarak jauh Sidoarjo-Jombang-Kertosono-Kediri yang sudah beroperasi kira-kira sejak 1880-an. SS adalah perusahaan kereta api milik pemerintahan Hindia Belanda.
Jalur rel yang dibangun KSM menghubungkan Jombang-Pare-Kediri sejauh 50 km dan dibuka tanggal 7 Januari 1897. Jaringan rel yang menghubungkan Stasiun Jombang (SS) dengan Stasiun Jombang Kota (KSM) dibuka pada 1898 dengan panjang 2,7 km. Pembangunan jalur rel terus berlanjut secara bertahap dalam kurun waktu 1896 sampai 1900, dan masuk ke Stasiun Kediri (SS) di jalur tiga.
Tujuh trayek perjalanan dibuka dan dioperasikan oleh KSM. Relasi Jombang-Pare-Kediri sebagai jalur utama dilayani oleh delapan kereta. Relasi yang lebih pendek, yaitu Pare-Papar, Pare-Konto, Pare-Kepung, Pulorejo-Kandangan, Gurah-Kawarasan dan Kediri-Wates, masing-masing dilayani dengan lima kereta. Total per hari, KSM mengoperasikan 76 kereta pulang-pergi yang tetap melayani penumpang di hari libur.
Meski pembangunan rel pertama KSM dimulai dari Jombang, kantor pusatnya tetap berada di Pare, Kediri. Beberapa meter dari kantor pusat, berdiri Stasiun Pare milik KSM yang merupakan jenis stasiun kelas I, memiliki depo yang dilengkapi sumur, menara air, dan bengkel lokomotif (balai yasa). Stasiun Pare melayani jasa penumpang lintas utama Kediri, baik ke Jombang maupun ke Kediri. Posisi Pare berada di tengah antara Kediri dan Jombang.
Dari Stasiun Pare, dibangunlah jalur rel jarak pendek lainnya yang menjangkau daerah-daerah pedalaman dalam kurun tahun 1898-1899. Misalnya jalur Pare-Papar (13,6 km), Pare-Kepung (11,7 km), dan Pare-Kencong-Kandangan (8,6 km).
Sepanjang jalur kereta trem, stasiun bukanlah tempat pemberhentian utama. Ada tempat pemberhentian lainnya yang ukurannya lebih kecil dan dinamai halte. Bangunan-bangunan halte ini bersifat semi-permanen. Jika stasiun diklasifikasikan menjadi kelas I,II dan III, halte merupakan tempat pemberhentian trem yang lebih kecil dari stasiun kelas III. Baik stasiun maupun halte yang dekat dengan pabrik gula menjadi titik persilangan antar rel untuk kereta trem dan rel untuk kereta barang atau lori.
Biasanya KSM mengoperasikan gerbong penumpang dan barang sekaligus dalam satu rangkaian. Ada dua tipe lokomotif uap berbahan bakar kayu jati dan batubara yang didatangkan KSM. Selama periode 896-1930, KSM memesan lokomotif sejumlah 28 buah, dimulai dari lokomotif tipe B1501, B1502, C2601 sampai dengan C2610 yang diproduksi oleh dua pabrik Jerman, Henschel dan Hohenzollern.
Ditilik dari spesifikasinya, lokomotif tipe B memiliki rata-rata kecepatan hingga 25-30 km/jam yang dipakai untuk mengangkut penumpang serta hasil perkebunan relasi Jombang-Kediri. Lokomotif tipe C mulai didatangkan KSM tahun 1914 dan dioperasikan untuk pengangkutan barang. Lokomotif tipe C bisa melaju dengan kecepatan maksimal 30km/jam dan dioperasikan untuk jarak dekat dan menengah.
Beroperasinya KSM cukup sukses menghidupkan denyut ekonomi dan memudahkan masyarakat beraktivitas dari satu tempat ke tempat lain, termasuk ke luar kota, via stasiun besar milik SS. Gerbong kereta kelas III yang khusus untuk kaum pribumi selalu ramai dan menjadi sumber pendapatan terbesar dibanding kelas gerbong di atasnya. Tarif gerbong kelas 3 ketika itu sekitar f 11,0530. Dari segi angkutan barang, jaringan trem menjangkau banyak pabrik gula.
Senjakala Trem Kediri
Krisis ekonomi global pada 1929-an berimbas pada stabilitas pendapatan ekonomi KSM. Penurunan pendapatan mulai terasa pada 1930. Waktu itu, KSM hanya meraup keuntungan sebesar f 167.122,27 dibanding tahun 1929 yang masih mencatatkan keuntungan mencapai f 182.316,58.
Tahun 1930 bisa adalah masa kemunduran bagi KMS. Dalam suasana krisis ekonomi, merosotnya barang yang diproduksi oleh pabrik berdampak langsung pada menurunnya kapasitas daya angkut KSM. Krisis finansial juga mempengaruhi daya beli masyarakat, sehingga menurunkan daya beli tiket trem. Perusahaan swasta tersebut mulai mengurangi jumlah pegawai, dari yang awalnya 420 orang (1929) ke 406 (1930). Stasiun Papar, Halte Tegowangi, dan Halte Kayangan yang kerap digunakan untuk pengangkutan barang terpaksa ditutup pada 1930.
Masih adakah jejak peninggalan jaringan trem di Kediri sekarang?
Jejak yang paling mencolok bisa dilihat di Jalan Raya Kediri-Pare. Beberapa rel kereta yang menyembul ke permukaan masih bisa disaksikan tepat di bahu jalan. Stasiun Pare yang dulu adalah jantung KSM kini sudah berganti wujud menjadi pertokoan di Jalan PB Sudirman dan rumah penduduk di bagian dalamnya. Bangunan pintu masuk utama Stasiun Pare masih bisa dilihat, namun sudah beralih fungsi menjadi kios sate. Kantor pusat KSM sendiri beralih fungsi menjadi kantor Koramil 0809/11 Pare.
Stasiun Bendo yang hanya berjarak beberapa meter dari pabrik gula Tegowangi juga sudah beralih fungsi. Sisa-sisa bangunan stasiun nyaris hilang karena beralih fungsi menjadi pasar. Yang tersisa hanya jaringan rel, wesel, dan sinyal tebeng. Fisik pabrik gula Tegowangi tidak bisa ditemukan lagi karena sudah ditutup sejak sekitar tahun 1970-an. Kini, pabrik rokok Apache berdiri di lahan yang sama.
Penonaktifan jalur trem KSM dimulai dari Jombang. Dalam buku Kereta Malam (2014) karya Kunto Wibisono dan Heri Kurniawan dkk, jalur rel relasi Jombang-Pare ditutup pada 1976, disusul oleh Pare-Kediri (1978), dan Stasiun Jombang-Jombang Kota KSM (1981). Sedangkan jalur rel lainnya sudah mati terlebih dahulu karena dicabuti oleh Jepang pada masa pendudukan 1942-1945. Beberapa stasiun dan halte bahkan dihancurkan.
Pada 1984, semua lokomotif dipindah ke Madiun. Salah seorang warga yang rumahnya tak jauh dari Stasiun Bendo menuturkan kepada Tirto bahwa ia terakhir kali melihat kereta melintas di depan rumahnya pada 1985.
Kini, secara keseluruhan jalur kereta Jombang-Kediri beserta percabangannya sudah berstatus tidak aktif. Asetnya menjadi milik PT. Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 7 Madiun.
Sebagaimana di daerah-daerah yang pernah memiliki jaringan trem, kehadiran angkutan transportasi bermotor di jalanan mempercepat kematian trem uap sebagai moda transportasi massal. Tidak terdengar lagi suara khas lokomotif kereta uap, atau peluit dari petugas perjalanan kereta yang disambut oleh bunyi peluit masinis.
Editor: Windu Jusuf