Menuju konten utama
Misbar

Over the Garden Wall, Tontonan Halloween yang Tak Lekang

Over the Garden Wall adalah tontonan Halloween yang tak lekang. Di tonton kapan pun, ia tetap mengasyikkan.

Over the Garden Wall, Tontonan Halloween yang Tak Lekang
Header misbar Over The Garden Wall. tirto.id/Quita

tirto.id - Jelang tanggal 31 Oktober alias Halloween, ada satu judul tontonan yang kerap terlewatkan dalam perbincangan di ranah kultur pop. Alasannya barangkali karena kesannya yang kekanakan bila dibandingkan judul-judul gambar bergerak lain terkait Halloween. Ia sebenarnya cocok dilabeli cult classic, bahkan sempat pula disebut-sebut sebagai salah satu show terbaik yang pernah ada di Cartoon Network.

Yang sedang kita bicarakan ini adalah serial animasi pendek berjudul Over the Garden Wall. Ia rilis pada November 2014 dibawah arahan Patrick McHale (juga terlibat dalam seri populer Adventure Time dan berlaku sebagai co-writer dalam Guillermo del Toro's Pinocchio). Kisahnya didasarkan pada film animasi Tome of the Unknown karya sang kreator sendiri yang dirilis setahun sebelumnya.

Over the Garden Wall hadir dalam 10 episode yang masing-masingnya hanya berdurasi sekitar 11 menit. Meski ia dirilis untuk penonton anak-anak, Over the Garden Wall nyatanya cocok untuk segala umur.

Ringkas dan tanpa banyak eksposisi, kita tahu-tahu sudah mendapati sepasang saudara tiri, Gregory (Greg) dan Wirt tersasar di hutan supranatural bernama The Unknown. Situasinya sudah demikian, apa dan bagaimananya dijelaskan sambil keduanya mencari jalan keluar dari hutan.

Kita lantas segera tahu bahwa Greg yang bertopi ceret dan punya piaraan seekor katak ialah bocah yang perhatiannya gampang teralihkan. Sementara itu, si abang Wirt yang mengenakan semacam topi santa jadi sosok remaja yang uring-uringan akibat polah adiknya.

The Unknown mempertemukan mereka dengan Beatrice, seekor burung biru yang bisa bicara. Mereka kemudian jadi rekan sepetualangan.

The Unknown sendiri memang hutan yang ditinggali hewan-hewan antropomorfis seperti Beatrice. Nanti, mereka bakal bertemu dengan hewan lain yang cerdas, tapi juga ada hewan yang tetap layaknya hewan. Petualangan menyusuri hutan magis ini juga bakal kian semarak berkat kerangka hidup berkostum labu serta makhluk-makhluk fantastis lainnya.

Meski menerapkan animasi dan art style yang retro plus pembingkaian gambar dengan vignette, para karakter serial pendek ini justru bertutur dengan gaya bicara yang lebih kekinian (ambil contoh ekspresi "I'm not into labels"). Visualnya mengesankan bahwa serial ini berasal dari masa jauh yang lebih lampau ketimbang 2010-an, tapi cara bertuturnya yang unik memberi kesan yang lebih timeless.

Tentu ada alasan di balik paduan kesan retro dan kekinian itu. Kelak, kita memang akan mengetahuinya seiring dengan perkembangan naratif. Gaya penyampaian demikian pun lantas membuat Over the Garden Wall punya daya tarik yang sama dengan kartun-kartun klasik. Meski begitu, ia tetap punya orisinalitas yang otentik juga memesona.

Sebagian besar episodenya mengusung tema-tema yang terkesan berat, tapi disampaikan dengan ringan. Tersasarnya Greg dan Wirt bukan hanya soal mencari jalan keluar dan kerja tim, tapi juga dibergunakan untuk mengangkat tema-tema lain, seperti toleransi akan keberagaman, prasangka terhadap mereka yang berbeda, hingga menyoal krusialnya pendidikan formal. Semua itu dirangkai dengan penceritaan yang heroik.

Di satu waktu, kedua anak ini menemukan orang dewasa yang menimbun kekayaan hanya agar bisa merasa “hilang”. Di lain waktu, pertemuan Greg dan Wirt dengan karakter-karakter baru memberinya pelajaran tentang perkara merelakan orang terdekat yang telah tiada.

Seluruhnya dilakukan tanpa meniadakan kedalaman untuk para karakter utamanya. Bukan sekadar Wirt menemukan cinta masa remaja di tempat tak terduga atau Greg menemukan benda atau makhluk apa pun yang bikin dia girang.

Lebih dalam lagi, pudarnya ketakjuban pada dunia kerap kali ditampilkan pada sosok remaja seperti Wirt. Hal itu terjadi seiring dengan meningkatnya kecemasan dan keputusasaan atas hidup dan kondisi dunia. Di lain pihak, Greg mengalami kebalikannya. Dia seakan tak punya rasa takut, tak pernah putus asa, dan masih menatap indah-anehnya dunia dengan mata berbinar.

Kombo keduanya jadi menarik, terutama untuk mengantarkan cerita-cerita unik yang tentunya ditampilkan dengan imajinatif, pula diramaikan desain-desain karakter yang distingtif.

Tak Lekang

Keluguan mungkin memang menjerumuskan. Keluguan bahkan mengantar Greg dan Wirt tersasar ke hutan magis dengan bahaya di tiap sudutnya. Namun, keluguan pulalah yang lantas jadi inti sekaligus perekat yang erat untuk menyampaikan subjek yang lebih berat. Dan yang terpenting, ia membuat kisah upaya lolos dari hutan ini jadi tetap kohesif.

Nilai-nilai yang terbilang lebih mudah ditangkap bagi penonton anak-anak juga tetap hadir di sana-sini. Misalnya, jangan sembarangan melempari burung atau menyakiti hewan pada umumnya lantaran perilaku buruk demikian dapat menimbulkan konsekuensi.

Sebagai cerita anak-anak, Over the Garden Wall kadang menyederhanakan beberapa elemen. Ambil contoh absennya pelajaran atau nilai-nilai survival mendasar terutama bila kau sembarangan masuk hutan tanpa persiapan. Namun, setidaknya masih ada cukup porsi penderitaan di sana, untuk tak menantang hukum alam; cukup sebagai cerita anak-anak dengan kadar “pesan moral” yang pas dalam durasi sesingkatnya.

Dalam waktu singkat pula, sebelum penonton dari berbagai usia kehilangan minat dan perhatian, misteri yang dihadirkan serial ini berhasil dipecahkan dan naratif dijelaskan tuntas.

Secara umum, Over the Garden Wall berjalan melankolis, tapi tetap manis. Ia creepy, tapi masih riang (sebagian besar berkat karakter Greg). Ia tak terlampau menyeramkan, tapi cukup menakutkan. Sesekali agak gore, tapi “tetap kartun”. Ia kadang juga menyinggahi pojokan cerita yang cukup gelap.

Pokoknya, ia cocok jadi wahana pengenalan genre horor atau suspens untuk anak-anak.

Kemasannya pun menyenangkan. Animasi dan art style-nya memberikan kesan nostalgia yang kental. Over the Garden Wall juga ditopang oleh akting suara yang memadai dari Elijah Wood (Wirt) dan Collin Dean (Greg). Begitu pun karakter-karakter yang mengelilingi keduanya, terdapat penyanyi opera kenamaan Samuel Ramey yang menyuarakan The Beast hingga Melanie Lynskey sebagai penyuara Beatrice yang tampil fantastis.

Perkara suara dan bebunyiannya, serial ini memang tak main-main. Score dan soundtrack bahkan jadi salah satu komponen paling menonjol. Musik folk yang riang kerap terdengar mengiringi kisah macam ini, kadang juga terdengar anasir musik Amerika 1950-an dengan sentuhan jazz bahkan opera.

Musik-musik itu diarahkan oleh McHale sendiri dan kemudian diaransemen dengan memikat oleh band nouveau-folk The Blasting Company. Ketika kisah mengambil pendekatan musical layaknya sederet film animasi yang sudah-sudah, Over the Garden Wall tetap terasa menjejak.

Konsistensi dalam berbagai komponennya itu lantas tergambarkan dalam setiap episode yang bisa dibilang setara kualitasnya. Ragam keunikan dan keanehan pun tetap berujung pada konklusi kisah yang terasa murni dan tulus.

Itu semua menjadikan Over the Garden Wall selalu jadi pilihan tontonan tepat, baik untuk yang baru pertama kali atau kesekian kalinya. Ia pun bisa ditonton kapan saja atau khusus saat Halloween. Over the Garden Wall seperti cerita sebelum tidur yang pernah kaudengar dulu, yang sarat pelajaran sekaligus tetap manis dan sanggup jadi katarsis.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi