Menuju konten utama

DJKI Soroti Nilai Warisan Hak Cipta dalam Industri Animasi

Sebuah karya harus diwujudkan untuk dapat disebut sebagai hak cipta, termasuk hak cipta dalam industri animasi.

DJKI Soroti Nilai Warisan Hak Cipta dalam Industri Animasi
kegiatan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Mendengar dan Mengajar di Werdhi Budaya Art Center, Bali, pada Sabtu, 7 September 2024. FOTO/Istimewa

tirto.id - Denpasar - Animasi merupakan salah satu karya cipta yang berkaitan erat dengan kekayaan Intelektual (KI). Dari awal pembuatan sampai akhirnya menjadi sebuah animasi. Hal tersebut disampaikan oleh Agung Oka Sudarsana selaku owner dari Timeline Studio Bali yang juga animator.

“Sebelum memproduksi sebuah animasi, biasanya ada tahapan pembuatan script. Setelah script selesai, dibuatkan visualisasinya atau gambarnya. Semua itu masuk ke dalam Hak Cipta,” jelas Oka dalam kegiatan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Mendengar dan Mengajar di Werdhi Budaya Art Center, Bali, pada Sabtu, 7 September 2024.

Menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang sangat penting. Dengan kekayaan intelektual (KI), ada warisan untuk generasi berikutnya tanpa perlu mempunyai sebuah materi dan sebagainya.

“Kalau di industri sekarang kita sudah memiliki satu gambar, artinya memiliki intelektual di bidang gambar, kita bisa mendapatkan keuntungan dari karakter yang kita buat dan mewariskan karakter tersebut ke anak cucu kita,” ucap Oka.

“Contohnya seperti pencipta Doraemon, ketika dia meninggal dunia haknya diberikan atau dialihkan kepada anaknya. Hal tersebut menunjukkan betapa besarnya nilai dari sebuah hak cipta,” lanjut Oka.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Festival Minikino Edward H. Wulia atau yang biasa dikenal dengan Edo Wulia menyampaikan hal terkait menghargai karya atau ciptaan orang lain. Edo berpesan untuk tidak memaksakan sesuatu yang bukan milik sendiri.

“Sebelum dilihat dari sisi bidang hukum, ada etika untuk menghargai sebuah karya atau ciptaan. Etika itu posisinya lebih dulu dibandingkan dengan hukum, walaupun masalah yang dilalui secara hukum adalah benar,” ujar Edo.

Sementara itu, Analis Kebijakan Ahli Muda DJKI Morata D. Lumbanraja menjelaskan mengenai apa itu hak cipta dan jenis-jenisnya. Dia menyampaikan bahwa sebuah karya harus diwujudkan untuk dapat disebut sebagai hak cipta.

“Sebuah karya dapat disebut sebagai sebuah hak cipta jika itu diwujudkan atau dituangkan menjadi sebuah karya yang berbentuk, seperti not balok, novel, maupun sebuah animasi,” jelas Morata.

”Jika ide tersebut tidak dituangkan dalam bentuk nyata, maka hal tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah hak cipta, sehingga jika nantinya ada seseorang yang mencuri ide tersebut, mewujudkan dan mengembangkannya, maka kita tidak memiliki hak untuk melarang orang tersebut untuk menggunakan atau mengklaim karya tersebut,” lanjutnya.

Analis KI Ahli Pertama Aldiansyah Pradana Putra juga menyampaikan mengenai Perlindungan dan Pemanfaatan KI Komunal atau KIK. Dia mengatakan bahwa KIK merupakan awal dari seluruh jenis KI yang ada saat ini atau KI modern.

“KIK merupakan pioneer dari KI modern, dari mulai merek, hak cipta, desain industri, bahkan inovasi dari paten pun dapat terinspirasi dari KI komunal,” ucap Aldiansyah.

“Tetapi perlu diingat bahwa KIK berbeda dengan rezim KI lainnya. KIK merupakan KI yang kepemilikannya bersifat komunal dan memiliki nilai ekonomis dengan tetap menjunjung tinggi nilai moral, sosial, dan budaya bangsa, sehingga sesuatu dapat dinyatakan sebagai KIK jika mereka memiliki unsur yang disebutkan tersebut,” pungkasnya.

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis