tirto.id - Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) juga memperbolehkan mabit di Muzdalifah dengan cara melintas dengan tetap di dalam kendaraan bus (Murur) setelah dari Arafah tanpa turun. Keputusan ini menyusul rencana PPIH Kemenag yang akan melakukan skema tersebut bagi beberapa jemaah haji, terutama lansia dan risti (risiko tinggi).
Keputusan Persis ini merupakan hasil dari Sidang Dewan Hisbah PP Persis terkait Persoalan Murur dan Tidak Mabit di Mina (Tanazzul) pada 10 Zulhijjah. Sidang terbatas tersebut menghasilkan sejumlah keputusan penting terkait permasalahan yang dimintakan pandangan hukumnya.
Seperti disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) Jeje Zaenudin. Ia menyampaikan, dalam hal persoalan murur, Dewan Hisbah PP Persis menyepakati untuk mempertegas keputusan Tahun 1994 yang menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah adalah wajib, sehingga jika tidak dilaksanakan dengan sengaja hajinya berakibat tidak sempurna.
"Jika jemaah tidak dapat melaksanakan mabit secara sempurna di Muzdalifah melainkan hanya singgah sejenak untuk berzikir dan doa, atau hanya bisa lewat saja di kendaraan tanpa bisa turun dan singgah karena padatnya tempat atau ada alasan lain yang tidak bisa dihindarkan, maka itu kategori masyaqqoh yang menyebabkan boleh ia melakukannya dan tanpa ada kewajiban kafarah atau dam dan hajinya tetap sah," katanya kepada Media Center Haji (MCH), Minggu (2/6/2024).
Masalah yang sama juga berlaku pada mabit di Mina pada malam-malam tasyrik. Dewan Hisbah, kata, menguatkan keputusan tahun 2003 yang menegaskan bahwa mabit di Mina pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah dalam rangkaian ibadah haji hukumnya wajib.
"Namun, dalam kondisi tertentu yang menyulitkan pelaksanaan mabit sehingga tidak dapat bermalam di Mina, padahal pembimbim, petugas, dan jamaah telah berikhtiar namun bisa terjadi kedaruratan, maka hajinya tetap sah," ujarnya.
Hasil sidang ini memiliki implikasi yang kuat terhadap pelaksanaan ibadah haji tidak hanya untuk tahun ini, tetapi juga untuk tahun-tahun berikutnya.
Diharapkan, keputusan hukum yang diambil ini akan memberikan pedoman yang jelas bagi para jemaah haji dalam menjalankan manasik haji mereka dengan baik dan tidak ada kekhawatiran serta keragu-raguan akan keabsahan dan kesempurnaan ibadah hajinya.
PBNU juga Memperbolehkan
Sebelumnya, PBNU juga membuat fatwa yang mirip. Fatwa telah melalui sejumlah ulama NU bersama perwakilan dari Kementerian Agama (Kemenag) pada 28 Mei 2024. Diskusi dihadiri sejumlah pengurus syuriah NU dan perwakilan perwakilan Kemenag RI, di antaranya Staf Khusus Menag Ishfah Abidal Aziz dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.
Keputusan dituangkan dalam Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Jumat (31/5/2024). Dengan skema murur, jemaah haji tetap berada di dalam bus dan tidak harus turun dari kendaraan saat melintasi kawasan Muzdalifah, lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.
"Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika murur di Muzdalifah tersebut melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, karena mencukupi syarat mengikuti pendapat wajib mabit di Muzdalifah," demikian bunyi keputusan tersebut.
Namun, syarat hukum murur ini masa mabitnya belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah. Hal ini berdasarkan keterangan beberapa ulama.
Misalnya, dalam Hasyiyah al-Jamal 'ala Syarh al-Manhaj dijelaskan bahwa berkenaan ungkapan Zakariya al-Anshari tentang wajib mabit sebentar, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mabit hukumnya sunnah. Ar-Rafi'i bahkan mengunggulkan pendapat ini.
Dalam Hasyiyah Ibn Hajar 'ala Syarh al-Idhah, dijelaskan juga tentang dua pendapat asy-Syafi'I tentang Mabit di Muzdalifah, wajib dan sunnah. Bila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu wajib, maka dam-nya wajib. Apabila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu sunnah maka dam-nya sunnah.
Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama juga memutuskan bahwa kepadatan jemaah di area Muzdalifah dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah, sehingga hajinya sah dan tidak terkena kewajiban membayar dam.
Sebab, kondisi jemaah yang berdesakan berpotensi menimbulkan mudharat/masyaqoh dan mengancam keselamatan jiwa jemaah.
"Menjaga keselamatan jiwa (hifdu an-nafs) pada saat jemaah haji saling berdesakan termasuk uzur untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah," demikian dikutip dari kesimpulan musyawarah.
Musyawarah untuk menentukan boleh tidaknya murur di PBNU ini dipimpin oleh Rais ‘Aam Kiai Miftachul Akhyar dan Katib Aam Ahmad Said Asrori. Musyawarah berlangsung secara hybrid, daring dan luring, diikuti Kiai Afifuddin Muhajir dan Kiai Musthofa Aqiel Siraj.
Kemudian Kiai Masdar F Masudi, Sadid Jauhari, Abd Wahid Zamas, Kafabihi Mahrus, M Cholil Nafis, Muhibbul Aman Aly, Nurul Yaqin, Faiz Syukron Makmun, Sarmidi Husna, Aunullah A’la Habib, Muhyiddin Thohir.
Selain itu, juga hadir Kiai Moqsith Ghozalie, Reza A Zahid, Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan Kiai Abd Lathif Malik.
Skema Murur dan Tanazul
Sebelumnya, Kementerian Agama memang sedang merancang skema baru dalam penyelenggaraan haji tahun ini yang memerlukan masukan dari sejumlah pihak, antara lain dari PBNU.
Skema baru tersebut terkait murur atau mabit di bus saat di Muzdalifah dan tanazul ke hotel ketika di Mina. Skema ini sebenarnya sudah disosialisasikan oleh para pembimbing ibadah ke hotel-hotel penginapan jemaahh haji di Makkah.
Kemungkinan, pada puncak haji nanti tidak semua jemaah bisa mabit di Muzdalifah. Ini untuk menghindari penumpukan jemaah haji di kawasan Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina).
Skema ini dilakukan agar para jemaah haji Indonesia tidak terjebak di Muzdalifah akibat berkurangnya ruang disebabkan adanya pembangunan sarana toilet dalam jumlah banyak di area Muzdalifah serta pemindahan 27.000 jemaah haji yang selama ini mabitnya di Mina Jadid.
Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief.
"Apalagi saat ini tengah dibangun fasilitas toilet di atas lahan dua hektare di Muzdalifah sehingga mengurangi space jemaah Indonesia saat melakukan mabit," ujarnya.
Penulis: Muhammad Taufiq
Editor: Maya Saputri