Menuju konten utama

Setelah PBNU, MUI Juga Memperbolehkan Jemaah Murur di Muzdalifah

PBNU telah menyatakan sah secara hukum terkait mabit atau bermalam di Muzdalifah dengan cara murur atau melintas memakai kendaraan.

Setelah PBNU, MUI Juga Memperbolehkan Jemaah Murur di Muzdalifah
Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi melintas di depan deretan bus Shalawat di Terminal Syib Amir, Makkah, Arab Saudi, Kamis (23/5/2024). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama juga mengaku telah mendapatkan lampu hijau dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait rencana mabit (bermalam) di Muzdalifah dengan skema murur (melintas) tanpa turun dari kendaraan bus.

Seperti disampaikan Kepala Daerah Kerja (Daker) Makkah Khalilurrahman. Menurut dia, meskipun MUI telah memperbolehkan skema tersebut, akan tetapi, sampai sekarang Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) masih melakukan pembahasan terkait skema baru pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) tersebut.

Ia menjelaskan, pembahasan murur ini masih dalam tahap pembahasan seiring denggan bertambahnya kuota jemaah haji. Namun, di sisi lain lokasi mabit malah menyempit. Kemenag ingin menjamin terlaksananya layanan ibadah bagi jamaah haji sesuai dengan ketentuan syariat.

"Untuk skemanya saat ini masih kami bahas," ujar Khalilurrahman kemarin, Jumat, 31 Mei 2024, sambil menegaskan kalau kementerian telah berkonsultasi dengan berbagai pihak.

Selain MUI, sebelumnya kementerian juga telah berkonsultasi dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). "Jadi, kedua organisasi besar di Indonesia ini memberikan sebuah perhatian yang besar terhadap skema murur di Muzdalifah," ucap dia.

Khalil menjelaskan, keputusan hukum tentang masalah murur diperlukan demi kemaslahatan jemaah haji Indonesia. Sebab, luas Muzdalifah jika dibandingkan dengan jumlah kapasitas jemaah yang akan mabit tidak sebanding.

Bila dipaksakan akan berdampak terhadap kemafsadatan atau kerusakan yang besar, misalnya kematian dan menimbulkan bahaya kesehatan bagi jemaah haji Indonesia.

"Oleh karena itu, kami sangat mengapresiasi dengan adanya keputusan MUI terkait murur di Muzdalifah dan juga keputusan dari lembaga Bahtsul Masail PBNU," jelas dia.

Dia menilai, keputusan diperbolehkannya murur itu memberikan solusi alternatif hukum bagi jemaah haji Indonesia yang akan menjalani ibadah pada Puncak Haji di Armuzna.

"Itu memberikan solusi alternatif hukum, bukan menjadi masalah yang kemudian menjadi penghambat bagi jemaah yang akan melaksanakan murur di Muzdalifah. Artinya, secara hukum itu sah dan boleh-boleh saja," ucap Khalil.

Cara penentuan jemaah murur, menurut Khalil, para stake holder masih menunggu keputusan dari pihak masyarik. "Tentu kita akan mempertimbangkan kemaslahatan yang terbaik, yang itu memperhatikan untuk kemaslahatan jemaah haji Indonesia," kata dia.

Sebelumnya, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh menjelaskan hukum jemaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan menuju Mina tanpa berhenti (murur).

"Jika murur (melintas) di Muzdalifah dilakukan selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan di kawasan Muzdalifah, maka mabitnya sah," jelas Niam dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/4/2024).

PBNU Juga Memperbolehkan Murur

Mabit atau bermalam di Muzdalifah dengan cara melintas memakai kendaraan (murur) setelah dari Arafah secara hukum dinyatakan sah oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Fatwa ini sudah melalui sejumlah ulama NU bersama perwakilan dari Kementerian Agama (Kemenag).

Keputusan ini diambil melalui musyawarah yang berlangung pada 28 Mei 2024. Diskusi dihadiri sejumlah pengurus syuriah NU dan perwakilan perwakilan Kemenag RI, di antaranya Staf Khusus Menag Ishfah Abidal Aziz dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.

Keputusan dituangkan dalam Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, Jumat (31/5/2024). Dengan skema murur, jemaah haji tetap berada di dalam bus dan tidak harus turun dari kendaraan saat melintasi kawasan Muzdalifah, lalu bus langsung membawa mereka menuju tenda Mina.

"Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa Mabit di Muzdalifah secara murur hukumnya sah jika murur di Muzdalifah tersebut melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, karena mencukupi syarat mengikuti pendapat wajib mabit di Muzdalifah," demikian bunyi keputusan tersebut.

Namun, syarat hukum murur ini masa mabitnya belum melewati tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah, maka dapat mengikuti pendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah. Hal ini berdasarkan keterangan beberapa ulama. Misalnya, dalam Hasyiyah al-Jamal 'ala Syarh al-Manhaj dijelaskan bahwa berkenaan ungkapan Zakariya al-Anshari tentang wajib mabit sebentar, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa mabit hukumnya sunnah. Ar-Rafi'i bahkan mengunggulkan pendapat ini.

Dalam Hasyiyah Ibn Hajar 'ala Syarh al-Idhah, dijelaskan juga tentang dua pendapat asy-Syafi'i tentang Mabit di Muzdalifah, wajib dan sunnah. Bila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu wajib, maka dam-nya wajib. Apabila seseorang mengikuti pendapat yang mengatakan mabit itu sunnah maka dam-nya sunnah.

Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama juga memutuskan bahwa kepadatan jemaah di area Muzdalifah dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah, sehingga hajinya sah dan tidak terkena kewajiban membayar DAM.

Skema Murur dan Tanazul

Kementerian Agama memang sedang merancang skema baru dalam penyelenggaraan haji tahun ini yang memerlukan masukan dari sejumlah pihak, antara lain dari PBNU.

Skema baru tersebut terkait murur atau mabit di bus saat di Muzdalifah dan tanazul ke hotel ketika di Mina. Skema ini sebenarnya sudah disosialisasikan oleh para pembimbing ibadah ke hotel-hotel penginapan jemaahh haji di Makkah.

Alasannya, pada puncak haji nanti tidak semua jemaah bisa mabit di Muzdalifah. Ini untuk menghindari penumpukan jemaah haji di kawasan Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina).

Skema ini dilakukan agar para jemaah haji Indonesia tidak terjebak di Muzdalifah akibat berkurangnya ruang disebabkan adanya pembangunan sarana toilet dalam jumlah banyak di area Muzdalifah serta pemindahan 27.000 jemaah haji yang selama ini mabitnya di Mina Jadid.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief.

"Apalagi saat ini tengah dibangun fasilitas toilet di atas lahan dua hektare di Muzdalifah sehingga mengurangi space jemaah Indonesia saat melakukan mabit," ujarnya.

Baca juga artikel terkait HAJI 2024 atau tulisan lainnya dari Muhammad Taufiq

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Muhammad Taufiq
Penulis: Muhammad Taufiq
Editor: Maya Saputri