tirto.id - Guru honorer bernama Rumini yang mengajar di SDN Pondok Pucung 02, Tangerang Selatan, mengungkap praktik pungutan liar yang terjadi di sekolahnya. Ia menyebut, sekolah melakukan berbagai modus, mulai dari jual-beli buku paket, uang komputer, uang cat. Bahkan ia menduga ada penyimpangan anggaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dilakukan sekolah.
Dari informasi tersebut, reporter Tirto menjumpai beberapa orangtua siswa yang menyekolahkan anaknya di SDN Pondok Pucung 02. Salah satunya Uus (32 tahun), yang anaknya duduk di bangku kelas 2.
Uus menuturkan untuk bersekolah di sana, dirinya merogoh kocek sebesar Rp750 ribu. Uang tersebut, kata dia, diperuntukkan untuk biaya seragam dan uang kegiatan tahunan.
"Uang tahunan itu untuk kalau ada acara seperti maulidan, hari kartini, agustusan. Jadi terkumpul, enggak pakai cicil-cicilan,” kata dia saat ditemui di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Selasa (2/72019).
Ia mengaku pembayaran uang tahunan untuk kegiatan tersebut diwajibkan oleh pihak sekolah. Namun, ia mengatakan tidak keberatan dengan nominalnya.
“Soalnya acaranya banyak, ada lima kegiatan hari besar gitu. Rata-rata jadinya setiap anak cuma Rp30 ribu,” kata dia.
Selain itu, ia juga harus membayar uang iuran pelajaran komputer. Setiap bulannya, Uus membayar sebesar Rp20 ribu. Menurut dia, iuran itu diwajibkan sampai nanti kelas 6. Namun, kata dia, tidak semua orangtua murid membayarkan dengan nominal yang sama.
“Itu seikhlasnya. Ada yang bayar Rp20 ribu sampai maksimal Rp30 ribu. Pihak sekolah tidak memaksakan. Kalau ada yang mampu, boleh lebih malah,” kata dia.
Namun untuk buku-buku pelajaran, ia mengaku pihak sekolah tidak menyediakan. Sehingga para orangtua murid yang tergabung dalam paguyuban kelas biasanya inisiatif untuk membeli sendiri. Meski ia bercerita bila sekolah bersedia meminjamkan buku-buku tersebut.
"Kalau setiap buku paket habis nanti pihak guru yang menginformasikan ke orangtua murid. Nah, kami beli sendiri di luar. Harganya Rp30 ribuan,” kata dia.
Ia melanjutkan, “pihak sekolah menyiapkan untuk bukunya difotokopi. Tapi kasihan anak-anak. Suka enggak jelas hasilnya. Apa boleh buat, orang tua jadi beli.”
Muyah (29 tahun) yang sekarang anaknya duduk di bangku kelas 4 menuturkan hal serupa. Setiap tahun, kata dia, dirinya membayarkan Rp150 ribu untuk kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah. Menurutnya nominal itu bisa dicicil.
"Itu kadang bisa dicicil. Kadang ada yang banyak tidak bayar, tidak semuanya bayar,” kata dia, di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Selasa (2/7/2019).
Begitu juga dengan pembelian buku-buku. Ia melalui paguyuban kelasnya mengetahui sekolah tidak bisa memberikan buku secara gratis, akhirnya para orangtua murid ambil inisiatif untuk beli sendiri. Alasannya agar lebih bebas.
“Agar bisa dicoret-coret. Kalau buku pinjaman dari sekolah kita harus jaga, takut dicoret, takut sobek,” kata dia menambahkan.
Sementara Lissa, yang anaknya duduk di kelas 6, malah mengaku diminta uang seragam oleh pihak sekolah saat masa awal masuk. Ia juga mengatakan, membayar Rp150 ribu untuk biaya kegiatan yang diselenggarakan sekolah.
“Uang praktik dan yang lainnya, tidak dimintain. Gratis,” kata dia saat ditemui di Pondok Aren, Tangerang Selatan.
Pungutan Tidak Diperkenankan
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim menilai pemungutan uang demi kegiatan sekolah sebagai hal terlarang. Ia merujuk pada Permendikbud No. 76 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
“Ada tiga hal dalam Permendikbud itu, yaitu pungutan, bantuan, dan sumbangan,” kata Satriawan saat dihubungi reporter Tirto.
Pertama, Satriawan menjelaskan yang dimaksud bantuan ialah pemberian berupa barang, uang atau jasa yang telah disepakati para pihak terkait. Pelakunya yaitu pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orang tua murid.
Kedua, sumbangan yakni berupa pemberian uang, barang, atau jasa yang diberikan secara sukarela dan tidak mengikat satuan pendidikan. Pelakunya yaitu peserta didik, orang tua baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat, atau lembaga.
Ketiga, pungutan yakni penarikan dalam bentuk uang yang sifatnya wajib, mengikat serta dalam jumlah dan jangka waktu yang pemungutannya ditentukan. Pelakunya yaitu sekolah.
"Ini bentuknya [biaya kegiatan hari besar], ini yang dilarang karena sifatnya wajib dan memaksa peserta didik,” kata Satriawan.
Menurut Satriawan, untuk menghilangkan praktik pungli di sekolah, maka perlu komitmen kuat pada pengawas sekolah dan dinas pendidikan setempat. “Kecuali pengawas dan birokrat lainnya terkait atau diduga ikut terlibat menikmati pungli tersebut. Jika ini terjadi harus ada sanksi tegas sesuai hukum,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Tangerang Selatan, Taryono yang melakukan sidak pada Senin (1/72019) kemarin, mengatakan tak menemukan apa yang menjadi tudingan guru honorer, Rumini.
“Kemarin disdikbud yang terdiri dari kasi [kepala seksi] keuangan, kasi perencanaan, dan kasi dikdasmen memeriksa pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari BOS dan BOSDA. Hasilnya baik BOS dan BOSDA dilaksanakan dengan baik dan realisasinya maksimal,” kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Taryono menambahkan, pada Selasa kemarin, sekolah SDN Pondok Pucung 02 juga akan diperiksa oleh Inspektorat dari Kemendikbud.
Inspektur Jenderal Kemendikbud Muchlis R. Ludwig mengatakan lembaganya sedang mendalami kasus yang terjadi di sekolah tersebut. “Sedang diselidiki dulu dan cari tahu bagaimana duduk perkaranya,” kata dia saat dikonfirmasi reporter Tirto.
Muchlis mengatakan, jika nanti ditemukan praktik pungli, maka institusinya tak segan-segan akan menindak dan melakukan pemecatan, sebab hal tersebut tidak dibenarkan.
“Karena dalam PP No 43 2018, di situ ada peran serta masyarakat dalam mengungkap praktik korupsi,” kata Muchlis menambahkan.
Dana Bos Tak Cukup
Plt. Kepala Sekolah SDN Pondok Pucung 02 Suriah menampik semua tudingan soal praktik pungli hingga penyimpangan dana BOS dan BOSDA. Dia juga membantah jika sekolahnya memperjual-belikan buku kepada orang tua murid.
“Kan kami sudah ada anggaran dari dana BOS 20 persen, karena tidak cukup soalnya untuk 590 murid, jadi tidak bisa satu satu. Dengan 20 persen, satu kelas itu bisa tidak semuanya dapat,” kata dia saat ditemui di ruang kerjanya, pada Selasa (2/7/2019).
Meski begitu, ia menampik kalau orang tua murid harus membeli dari pihak sekolah. Ia mengklaim memberi kebebasan kepada orang tua murid untuk membeli buku di luar sekolah.
“Anggaran 20 persen itu tidak bisa ditambah, karena sekolah punya kebutuhan, tidak hanya buku saja, sudah ada aturannya. Bahkan kalau sudah tercukupi, pengurangan pun tidak apa-apa,” kata dia.
Ketua Komite Sekolah Supriyadi juga menambahkan, untuk pengadaan buku tersebut memang tidak cukup mengandalkan dana dari BOS. Sehingga dirinya berkoordinasi dengan para orang tua murid untuk mencari jalan alternatifnya.
"Kami komunikasikan ke paguyuban kelas, nanti mereka yang ambil inisiatif sendiri. Karena memang anggarannya tidak cukup untuk membelanjakan buku,” kata dia saat ditemui reporter Tirto di kesempatan yang sama.
Perihal uang Rp150 ribu untuk kegiatan tahunan di sekolah, Supriyadi mengaku hal itu diperuntukkan untuk pengembangan pendidikan siswa di sekolah. Alasannya, untuk operasional kegiatan tahunan ini tidak bisa menggunakan dana BOS.
“Akhirnya saya serahkan ke wali murid. Mereka setuju karena ingin agar kegiatan sekolah lebih terasa. Sumbangan sukarela, itu atas anjuran dari dinas. Kami dipersilakan karena dana bos tidak mencukupi,” kata dia.
Menurut Supriyadi, untuk sumbangan tersebut, anak yatim dan piatu tidak dipungut biaya. Sebab, nanti akan ada dana silang dari orang tua yang memang secara finansial lebih mampu.
"Itu bisa juga dicicil. Nanti setiap tahunnya kami rembukan lagi, mau diadakan atau tidak kegiatan tersebut, kalau tidak ya, enggak apa-apa. Itu melalui kesepakatan bersama lagi,” kata Supriyadi.
Sementara untuk uang komputer, Supriyadi mengatakan juga tidak bisa menggunakan dana bos lantaran pelajaran tersebut di luar kurikulum. Namun, setelah ia berdiskusi dengan orang tua murid, ia mengklaim mereka pada setuju agar anak-anak diberikan pelajaran komputer.
“Itu juga sumbangan sukarela. Awalnya malah Rp10 ribu sampai Rp20 ribu. Pilihan itu ada untuk subsidi silang sebetulnya. Bagi yang mampu, nanti akan membantu yang tidak mampu,” kata dia.
Menurut Supriyadi, jika hal tersebut dikatakan sebagai praktik pungli, maka ia siap untuk bermusyawarah kembali dengan para orang tua murid.
“Mau tetap dilanjutkan atau tidak. Intinya semua itu untuk pengembangan pendidikan yang tidak boleh dibayarkan dana bos,” kata dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz