tirto.id - TIDAK benar jika penyanyi campur sari Didi Kempot hanya terkenal di Jawa dan sebagian Indonesia. Si gondrong ikal ini juga populer hingga ke Benua Amerika bagian selatan. Tepatnya di sebuah negara kecil berpenduduk sekitar 534 ribu bernama Suriname. Di pulau itu, 15 persen penduduknya adalah orang-orang Jawa.
Menteri Dalam Negeri Suriname, Soewarto Moestadja, yang namanya memperlihatkan kejawaannya, pada 2013 pernah menyebut bahwa Didi Kempot penyanyi terkenal di Suriname. Begitu juga biduanita keroncong Waldjinah. Didi Kempot sering diundang menyanyi ke Suriname. Lagu-lagu berbahasa Jawa laris di sana, meskipun bahasa Jawa Suriname agak berbeda dengan bahasa Jawa yang kita dengar sekarang di sini.
"Kami tidak menggunakan bahasa Indonesia, namun bahasa Jawa. Orang tua saya bicara bahasa Jawa. Anak-anak saya dalam pendidikannya menggunakan bahasa Belanda, namun di rumah kami berbahasa Jawa,” kata Raymond Sapoen seperti dirilis BBC, Sabtu (21/3/2015)
Menurut Hein Vruggink, dalam Surinaams-Javaans – Nederlands Woordenboek (2001), sekitar 70 persen orang Jawa di Suriname berasal dari Jawa Tengah, 20 persen dari Jawa Timur, dan 10 persen dari Jawa Barat.
Kurang lebih, 90 persennya adalah etnis Jawa, 5 persen etnis Sunda, 2,5 persen Madura, dan sisanya suku lain, termasuk juga orang-orang Betawi asal Jakarta. Itulah mengapa bahasa jawa Suriname mirip daerah Kedu, Jawa Tengah. Daerah Kedu adalah wilayah bekas keresidenan Kedu seperti Magelang, Purworejo, Boyolali, dan sekitar Yogyakarta.
Bahasa Sunda dan Madura tidak lagi dituturkan. Kemungkinan keturunannya sudah berbaur dengan orang Jawa atau lainnya. Pernah ada juga penutur dialek Jawa Banyumasan, yang biasa disebut Ngapak, namun juga punah.
Dialek ini dianggap lucu, dan penuturnya sering diejek, karenanya keturunan penuturnya tak memakainya lagi. Di sana, bahasa Jawa ala Suriname dipengaruhi oleh Bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Meski begitu, pengaruh itu tak mempengaruhi fonologinya sehingga masih terasa Jawa. Hingga kini, menurut Vruggink, bahasa Jawa Suriname memiliki 65.000 penutur di Suriname dan 30.000 penutur di Negeri Belanda.
Bagaimana asal-usulnya?
Bahasa Jawa di Suriname adalah bahasa Jawa yang berkembang ketika orang-orang Jawa di datang ke Guyana Belanda (yang kini bernama Suriname) secara bergelombang sejak tahun 1880an. Tentu saja karena dibawa Belanda dari Jawa.
Sebagian besar dari mereka adalah kuli kontrak buta huruf yang tak punya pilihan. Akhirnya, mereka bekerja di perkebunan gula atau perkayuan. Selama kurun waktu 1890 hingga 1939, sebanyak 33 ribu orang Jawa dikapalkan ke Suriname sebagai calon kuli perkebunan. Mereka menggantikan kuli asal India yang dianggap banyak ulah.
Orang-orang Jawa yang jauh dari tanah leluhur mereka itu kemudian beranak-pinak, dan tetap berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Kebanyakan mereka beragama Islam seperti halnya kebanyakan orang-orang Jawa. Nama-nama Jawa pun masih mereka pakai, setidaknya sebagai nama belakang. Sebagian memakai nama depan ala Belanda atau Inggris.
Hubungan dengan tanah leluhur pun mereka pelihara. Beberapa di antara mereka bahkan sudah bertemu langsung saudara dan kerabat, atau sekadar berhubungan lewat surat elektronik. Saat ini, di Facebook terdapat grup Sambung Roso Java Suriname-Indonesia. Anggotanya mencapai 29,1 ribu akun facebook.
Orang-orang Jawa di Suriname pun akhirnya terlibat dalam gerakan politik. Dulu pernah ada Persekutuan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) dan Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI). Saat ini, yang eksis hanya KTPI, Pertjaja Luhur dan Pandawa Lima. Beberapa tahun terakhir, partai-partai Jawa itu, mendapat kursi di Parlemen Suriname. Mereka yang duduk di parlemen antara lain: Paul Somohardjo, Martha Djojoseparto, Soetimin Marsidh, Hendrik Sakimin, dan Ronny Tamsiran.
Dengan kendaraan Pandawa Lima yang dipimpinnya, Raymond Sapoean mencalonkan diri dalam Pemilihan Presiden 2015. Pertjaja Luhur juga mendukung Raymond. Meski akhirnya Raymond kalah dan Desi Bouterse terpilih kembali.
Orang-orang Jawa juga banyak yang masuk di dalam pemerintahan. Selain Soewarto yang menjadi menteri dalam negeri, ada Hendrik Setrowidjojo yang menduduki posisi posisi menteri pertanian, ternak dan perikanan.
Ada pula Ginmardo Kromosoeto yang menjadi menteri perencanaan pembangunan infrastruktur fisik dan pengelolaan pertanahan dan Ismanto Adna yang jadi menteri pemuda dan olahraga. Dari 16 menteri kabinet Desi Bouterse, ada empat menteri Jawa. Belum lagi anggota parlemen.
Menurut Raymond, orang-orang Jawa Suriname banyak yang menjadi "dokter, guru, polisi, pengusaha, politisi, mereka yang bergerak di industri serta finansial.” Meski minoritas, kehidupan sosial politik orang Jawa di Suriname terbilang baik. Walau hanya 15 persen saja, orang-orang Jawa Suriname sangat terwakili dalam kehidupan politik.
Selain menjadi seperti yang disebut Raymond ada juga yang terkenal sebagai penulis, seniman atau olahragawan. Karin Amatmoekrim adalah seorang penulis. Dalam situsnya, www.amatmoekrim.com, Karin juga bercerita soal kedatangan orang-orang Jawa ke Suriname.
Orang Jawa yang jadi seniman ada Reinier Asmoredjo dan Soeki Irodikromo. Mereka yang jadi olahragawan juga banyak. Ada Maarten Atmodikoro dan Sigourney Bandjar di cabang sepakbola. Ada juga yang menjadi perenang: Ranomi Kromowidjojo. Atlet bulutangkis juga ada, di antaranya Virgil Soeroredjo dan Mitchel Wongsodikromo.
Banyak orang Jawa di Suriname yang tidak bisa lupa tanah leluhurnya, Jawa. Di antara mereka, tak jarang ada keinginan berkunjung ke tanah Jawa. Beberapa dari mereka berhasil bertemu famili jauh mereka di Jawa. Sebagian lagi harus puas dengan menginjakkan kaki di tanah Jawa saja, karena hubungan komunikasi sudah lama terputus.
Setelah 1945, setelah Indonesia merdeka, banyak orang Jawa Suriname yang ingin pulang ke Jawa. Sebanyak 7 ribu orang sempat pulang ke Indonesia, namun pemerintah mengarahkan mereka ke Tongar, Sumatra Barat, karena Jawa sudah padat. Buruknya fasilitas hidup yang disediakan pemerintah di daerah tersebut membuat sebagian orang Jawa Suriname itu memilih kembali ke Suriname.
Tentu saja. Mereka datang untuk pulang ke Jawa, tapi malah ditransmigrasikan lagi. Mereka menolak berulangnya sejarah, seperti terjadi pada leluhur mereka. Kembali ke Suriname yang masih Jawa, tentu lebih baik daripada di Indonesia tapi tidak di Jawa.
Selain bahasa yang masih terkonservasi, buah budaya lain seperti makanan khas Jawa juga masih terjaga. Rasanya memang agak berbeda, seperti yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib.
“Pecel dan soto (di Pasar) Alberqueque itu ramuan dan rasanya juga tidak nyamleng, saya bayangkan itu pecel soto abad ke-18, dimasak oleh orang yang tidak ahli,” tulis Emha dalam Jejak Tinju Pak Kiai (2008).
Namun Emha memakluminya. Menurutnya, orang-orang Jawa yang didatangkan ke Suriname itu hanya orang-orang yang hanya mengerti pertanian saja yang ikut. Jika pengiriman orang-orang Jawa tersebut dalam rangka transmigrasi bedol desa, barangkali tak hanya orang-orang tani saja yang ikut, tapi juga kyai, pengrawit, jago silat, dan juru masak yang paling enak masakannya.
Maka, wajar jika soto dan pecel mereka kalah enak dengan soto dan pecel yang bisa ditemukan di restoran-restoran Indonesia di Belanda. Rasa soto dan pecel Suriname seolah terputus dari tanah leluhurnya. Resep yang diwariskan secara turun-temurun bukanlah resep terbaik karena bukan berasal dari ahli masak.
Meski banyak hal terputus seperti rasa soto, tapi hubungan surat-menyurat karen rasa rindu dan penasaran orang Jawa Suriname tetap ada. Bagi mereka yang belum bisa menginjakan tanah nenek moyang, grup facebook Sambung Roso Java Suriname-Indonesia, yang anggotanya mencapai 29,1 ribu, cukup membantu.
Media sosial macam Facebook pun membantu sebagian mereka bertemu keluarga jauh. Mereka juga memperingati kedatangan mereka di Guyana Belanda. Pada 9 Agustus, orang-orang Jawa di Suriname memperingati Hari Imigrasi Jawa yang dikenal sebagai The Day of Wong Jawa.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani