tirto.id - Negara Suriname terkenal di Indonesia karena banyak orang Jawa yang tinggal di sana. Sebagian besar keturunan Jawa di Suriname masih mempraktikkan adat istiadat Jawa. Mereka fasih berbahasa Jawa dan menggunakan nama Jawa. Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Ini sejarahnya.
Suriname terletak di pantai utara Amerika Selatan. Suriname dulunya dikenal sebagai Guyana Belanda, koloni perkebunan Belanda yang memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 25 November 1975.
Dari tahun 1980 hingga 1987, negara ini diperintah oleh serangkaian rezim militer. Sebuah konstitusi sipil baru disetujui pada tahun 1987.
Kudeta militer kembali terjadi pada tahun 1990, namun negara ini kembali ke pemerintahan sipil pada tahun berikutnya. Ibu kota Suriname adalah Paramaribo, terletak 9 mil (15 km) dari Samudra Atlantik di Sungai Suriname.
Britannica mencatat, Suriname adalah salah satu negara terkecil di Amerika Selatan, namun populasinya merupakan salah satu yang paling beragam secara etnis di wilayah ini.
Orang Asia Selatan, keturunan pekerja kontrak dari India, adalah kelompok etnis terbesar di Suriname, yang mencakup lebih dari seperempat populasi.
Kelompok etnis utama kedua, yang mencakup sekitar seperlima dari populasi, adalah orang Maroon (keturunan budak yang melarikan diri dari Afrika).
Orang Kreol, yang di Suriname sebagian besar adalah keturunan Afrika, berjumlah antara sepersepuluh dan seperlima dari populasi.
Keturunan Jawa (orang-orang dari pulau Jawa Indonesia) menurut survei pada tahun 2012, mencapai 13,7 persen populasi, etnis populasi terbesar keempat di negara tersebut.
Sejarah Orang Jawa Tinggal di Suriname
Menilik sejarahnya, banyak orang Jawa tinggal di Suriname saat ini adalah keturunan dari imigran Jawa pada masa penjajahan Belanda. Mereka bermigrasi ke Suriname sebagai pekerja atau buruh di perkebunan Belanda.
Darmoko dari Universitas Indonesia dalam studinya berjudul Budaya Jawa dalam Diaspora: Tinjauan pada Masyarakat Jawa di Suriname, menjelaskan perpindahan sebagian etnis Jawa ke Suriname merupakan dampak berakhirnya sistem perbudakan pada tahun 1863.
Dalam studinya itu, Darmoko merujuk Keterangan Dasar Suriname (2003) yang ditulis oleh KBRI Paramaribo. Berakhirnya era perbudakan membuat banyak tenaga kerja meninggalkan pekerjaannya di perkebunan-perkebunan dan beralih ke lapangan kerja lain sesuai dengan keinginan mereka masing-masing.
Situasi ini menyebabkan perkebunan yang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Belanda mengalami kemerosotan tajam. Demi membuat bisnis mereka tetap berjalan, pemerintah Belanda mendatangkan orang Indonesia (Hindia Belanda) untuk memperoleh buruh murah yang akan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan.
Hampir seluruh buruh kontrak didatangkan dari Jawa Tengah, karena saat itu wilayah tersebut sudah cukup padat penduduknya dan rawan bencana alam berupa gunung meletus yang mengakibatkan rendahnya tingkat perekonomian masyarakat.
Kelompok imigran Indonesia pertama direkrut oleh perusahaan “De Nederlandsche Handel Maatschappij” terdiri dari 94 orang. Kelompok pertama ini tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890 untuk diperkerjakan di perkebunan tebu dan perusahaan gula Marrienburg.
Perusahaan yang sama lalu mendatangkan kelompok imigran kedua yang terdiri dari 582 orang Jawa pada tahun 1894. Sejak 1897 imigran dari Indonesia dikelola langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.
Imigran dari Indonesia sejak 1890-1939 tercatat 32.956 orang dengan 34 kali kloter kedatangan. Berdasarkan perjanjian yang ada, para buruh Jawa tersebut memiliki hak untuk kembali ke Indonesia melalui repatriasi bila telah habis masa kontraknya.
Setelah habis kontrak, pada tahun 1890-1939 tercatat 8.120 orang telah kembali ke Tanah Air; pada tahun 1947 berjumlah 1.700 orang; dan terakhir pada tahun 1954 berjumlah 1.000 orang.
Dengan kata lain, sebagian besar buruh kontrak yang telah habis masa kontraknya tersebut memilih tinggal di Suriname sebagai pekerja bebas.
Kejayaan perkebunan tebu mulai merosot di kemudian hari, sehingga banyak pekerja Jawa yang beralih profesi sebagai buruh industri, seperti pertambangan bauksit di Moengo, Paranam, dan Biliton.
Pada tahun 1975 banyak orang Jawa ikut migrasi massal menuju Belanda, pada saat itu sebanyak 150.000 orang meninggalkan Suriname.
Orang Jawa di Suriname memutuskan berpindah karena didorong kekhawatiran mereka terhadap kemungkinan terjadinya bencana nasional, serta dominasi dan penindasan politis yang dilakukan oleh golongan etnis Creole.
Sensus tahun 2004 mendapati bahwa ada 71.879 orang Jawa di Suriname. Selain itu, pada tahun 2004 tercatat lebih dari 60.000 orang keturunan campuran, dengan jumlah yang tidak diketahui berapa persen keturunan Jawa.
Rosemarijn Hoefte dan Hariëtte Mingoen dalam Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia Vol 23 No. 3 (2022): 523 – 551 menyebut bahwa orang Jawa di Suriname membentuk ekspresi budaya dan tradisi mereka sendiri di Suriname dengan sedikit yang dapat mereka ingat dari tempat asal mereka.
Orang Jawa di Suriname mempertahankan ekspresi budaya mereka selama lebih dari satu abad. Potret terakhir menampilkan kesinambungan dan perubahan dalam warisan budaya Suriname-Jawa di Suriname dan Belanda pada abad ke-21.
Pengaruh dari masyarakat multietnis Suriname dan dari negara lain, serta perkembangan sejarah dan sosial ekonomi, termasuk migrasi baru, telah menghasilkan warisan yang dinamis. Beberapa bagian budaya terancam punah, sementara pada saat yang sama ada kemunculan elemen-elemen baru baru yang dapat dilabeli sebagai ciri khas Suriname-Jawa.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Dipna Videlia Putsanra