tirto.id - “Banyak yang mengeluh nggak bisa main, tapi aku biasa aja,” ujar Dita (28), pengajar bahasa Jepang di Yogyakarta, kepada Tirto (03/05). Ketika kantornya berhenti beroperasi pada awal pandemi Covid-19, penyuka komik manga ini memutuskan untuk mengasah kemampuan menggambar secara otodidak, sembari ditemani kucing hitam kesayangannya. Dita memang tidak hobi plesiran, “Pandemi atau nggak, kalau libur ya aku lebih senang di rumah.” Terlepas suka menyendiri, ia tetap merasa santai tatkala diminta kembali masuk kantor untuk mengisi kelas tatap muka. “Toh pertemuan ini untuk menjelaskan materi, bukan ngobrol basa-basi,” imbuhnya.
Rahmad (35) juga mengaku pada Tirto bahwa dirinya bukan tipe yang suka mengobrol, meskipun ia menikmati aktivitas jalan-jalan. Selama satu tahun pandemi, asisten dosen di kota gudeg ini rutin memberikan kuliah secara daring. Saat ditanya apakah ia merasa stres dengan kegiatan monoton di dalam rumah, atau terganggu dengan situasi di rumah karena baru saja punya bayi, Rahmad menggelengkan kepalanya. “Nggak juga. Justru senang ada anak, suasana baru,” ujarnya. Selain itu, Rahmad mengharapkan kuliah daring bisa terus dilanjutkan usai pandemi nanti. “Mengajar secara daring lebih efisien, terutama buatku yang perlu melakukan penelitian lapangan. Semisal aku harus pergi ke daerah untuk riset, aku bisa memberikan kuliah dari sana,” tandasnya.
Dita dan Rahmad adalah segelintir pihak yang mengidentifikasi diri sebagai introvert, tipe kepribadian yang cenderung nyaman ketika menyendiri atau berada dalam lingkup pertemanan kecil. Pasalnya, dari situlah mereka dapat mengumpulkan energinya. Di spektrum berlawanan, orang dengan kepribadian ekstrovert relatif lebih bersemangat atau punya suasana hati lebih baik setelah bertemu banyak orang. Tidaklah mengherankan, introvert seperti Dita dan Rahmad tampak menikmati keseharian selama karantina, diimbangi dengan interaksi secukupnya dari aktivitas mengajar.
Sejalan dengan pandangan umum, kaum introvert dianggap lebih tangguh dalam menjalani kehidupan terisolasi ketika pandemi. Karena sudah terbiasa menyepi, mereka tidak terkejut dengan ritme kegiatan dalam ruang gerak terbatas. Berkurangnya frekuensi untuk tatap muka langsung dengan banyak orang pun jadi semacam berkah.
Sejak awal pandemi, media sudah heboh melukiskan karantina layaknya pengalaman surgawi bagi kaum introvert. Andrew Ferguson menulis di The Atlantic bahwa aturan karantina merupakan momen pas bagi para introvert untuk “memulihkan diri dari trauma” yang ditimbulkan oleh acara-acara sosial yang menguras energi mereka selama libur panjang akhir tahun, seperti perayaan Thanksgiving, Natal, Hanukkah, Tahun Baru. Sementara dalam paparannya di The New York Times, Joanne Kaufman mengulas bahwa sejumlah introvert mendapati “kepuasan dan kedamaian” di samping merasa lebih produktif dan berenergi. Seiring waktu, media sosial dibanjiri dengan berbagai meme kocak tentang bagaimana kaum introvert “berjaya” selama pandemi.
Namun demikian, tetap ada titik jenuh yang dialami oleh siapapun selama karantina. Seperti dituangkan oleh Abby Olheiser dalam tulisannya di MIT Technology Review, selama pandemi, masyarakat berusaha menciptakan kembali dunia yang sempat hilang gara-gara pembatasan fisik, yakni dengan cara virtual. Seluruh pertemuan, mulai dari aktivitas belajar atau kuliah, rapat kantor, sampai minum-minum yang biasa dilakukan di bar, dipindah sedemikian rupa agar muat di dalam aplikasi video dan fitur chat, seperti Google Hangouts atau Zoom, aplikasi-aplikasi yang sebelumnya tidak didesain untuk menampung dua kehidupan (dunia sosial dan kerja) sekaligus. Semua orang, baik introvert, ekstrovert maupun campuran keduanya, pada akhirnya dibuat lelah dengan undangan tiada henti untuk menghadiri pertemuan virtual. Dalam tekanan, mereka tak kuasa untuk menolak. “Aku sedang tidak ingin bicara,” tampaknya bukan alasan yang mudah dimengerti pada situasi ketika mayoritas umat manusia merasa haus akan relasi dan komunikasi.
Dampak karantina yang melelahkan terutama dirasakan oleh kelompok pekerja pada umumnya. Baru saja, Tirto dan Jakpat merilis hasil survei tentang pandangan masyarakat terkait dampak sistem bekerja jarak jauh (WFH) setelah satu tahun pandemi. Berdasarkan survei daring yang dilakukan pada 20 April 2021 terhadap 803.000 responden, terungkap bahwa nyaris separuh responden (47,2 persen) merasa kesepian atau terisolasi, sementara 32 persen orang merasakan tingkat stres yang tinggi.
Introvert yang Tak Bisa Digeneralisasi
Perlu dipahami pula, kepribadian tiap-tiap orang sangatlah unik, apapun kategorisasi kepribadiannya. Meskipun tampak nyaman dan bahagia dengan kehidupan menyepi selama pandemi, bukan berarti kepribadian introvert bisa digeneralisasi atau bersifat statis. Seiring berjalannya waktu, terungkap bahwa terdapat introvert yang cukup dinamis atau luwes. Sejumlah temuan ilmiah juga menunjukkan bahwa kelompok penyuka sepi ini punya kecenderungan untuk mengalami stres.
Dilansir dari Refinery29, seorang staf bidang personalia bernama Taylor, adalah seorang introvert yang menyambut pandemi dengan baik-baik saja. Namun demikian, seiring pandemi berlalu, Taylor mengaku bahwa dirinya berangsur-angsur jadi ekstrovert. “Saya jadi ingin bicara lebih banyak,” ujarnya. Pandemi yang berkepanjangan ini mendorong Taylor untuk merangkul beberapa teman dan merancang kegiatan bersama setiap akhir pekan, sesuatu yang Taylor pandang sebagai perubahan besar dalam hidupnya.
Masih dikutip dari Refinery29, seorang introvert bernama Jenn Granneman, pendiri platform komunitas Introvert, Dear dan Highly Sensitive Refuge, mengaku tak lagi memiliki daya semangat tinggi untuk mendekam di rumah seperti dirasakannya pada hari-hari pertama karantina. “Saya merasa siap untuk memberikan waktu pada lebih banyak orang, hal yang mungkin aneh untuk diungkapkan seorang introvert,” ujarnya. Granneman mengaku terkungkung di dalam rumah, sampai-sampai sekarang begitu bersemangat untuk kembali menjalani hidup normal. Terlepas dari itu, ia yakin bahwa hasrat tersebut tak akan berlangsung lama. “Paling, seminggu kemudian saya bakal memohon-mohon untuk dibiarkan sendiri lagi,” ujarnya.
Selain menunjukkan perilaku dinamis, orang introvert juga tidak terbebas dari isu-isu psikologis yang bermuara dari kenyamanannya untuk menyendiri. Dalam studi yang hasilnya dirilis di jurnal Frontiers in Psychology pada September 2020, Maryann Wei dari University of Wollongong, Australia melakukan penelitian tentang dampak psikologis dari penerapan aturan jaga jarak dan karantina terhadap 114 responden, mayoritas berada di Amerika Serikat dan segelintir dari Inggris Raya, Kanada, Australia, Jerman. Hasilnya, introversi yang semakin tinggi diasosiasikan dengan meningkatnya rasa kesepian, depresi dan kecemasan.
Temuan di atas berkaitan dengan kecenderungan orang introvert untuk tidak mencari bantuan dari pihak luar ketika mengalami permasalahan. Mengutip temuan Shapiro and Alexander (1975), Wei menjelaskan bahwa ketika dihadapkan pada emosi negatif, orang introvert cenderung berpaling ke diri sendiri untuk mengatasinya. “Terlepas perilaku introspektif bisa memfasilitasi pengaturan diri secara emosional, kebiasan tersebut juga bisa jadi pedang bermata dua karena melanggengkan internalisasi, ruminasi dan kekhawatiran—masing-masing merupakan dasar kognitif utama dari kesepian, depresi dan kecemasan,” tulis Wei.
Ekstroversi-Introversi Saja Tidak Cukup
Bagaimana dengan respons kaum ekstrovert terhadap pembatasan selama pandemi? Lis Ku, dosen psikologi di De Montfort University, Inggris dalam artikel di The Conversation mengutip studi terbaru tentang bagaimana kelompok introvert dan ekstrovert menunjukkan perbedaan gejolak stres dan mood (suasana hati) sepanjang pandemi. Studi ini diikuti oleh 484 mahasiswa tahun pertama di University of Vermont, AS yang mengikuti perkuliahan sepanjang semester musim semi (dimulai bersamaan dengan penyebaran pandemi).
Hasilnya, anak-anak yang memiliki kadar ekstraversi rendah (introvert) cenderung mengalami peningkatan stres, sedangkan tingkat stres di kalangan murid dengan ekstraversi tinggi (ekstrovert) relatif melandai. Sehubungan dengan suasana hati yang riang atau positif, grafik di kalangan mahasiswa ekstrovert justru menunjukkan tren melandai, berbeda dari anak-anak introvert yang mood baiknya cenderung meningkat. Terlepas dari itu, Ku menekankan, kelompok ekstrovert secara umum tetap punya mood lebih positif daripada teman-temannya yang introvert.
Dalam pandangan Ku, kurang tepat apabila dimensi ekstroversi-introversi digunakan sebagai satu-satunya tolak ukur respons seorang individu terhadap pandemi. Pasalnya, ada sejumlah kombinasi kepribadian yang memberikan dampak berbeda-beda ketika seseorang dihadapkan pada kondisi karantina.
Ku berpendapat, dimensi-dimensi selain extraversion turut mempengaruhi bagaimana orang bereaksi terhadap pandemi. Kesemuanya tergabung dalam Teori Kepribadian Model Lima Besar, terdiri atas dimensi extraversion(ekstroversi dan introversi), openness (keterbukaan terhadap pengalaman baru), conscientiousness (teratur, tekun, berorientasi tujuan), agreeableness (sikap kooperatif), dan neuroticism (ketahanan terhadap stres, ketidakstabilan emosional).
Selama ini, orang-orang ekstrovert kerap dielu-elukan karena kesehariannya suka diasosiasikan dengan kegiatan yang positif dan menyehatkan. Namun, seperti Ka tuturkan, justru dimensi ketekunan dan keteraturan (conscientiousness) yang bisa memprediksi perilaku individu terkait hal-hal yang menyehatkan. Selain itu, meskipun orang-orang ekstrovert sering dipandang keren karena bisa mempertahankan jaringan pertemanannya yang lebih luas daripada introvert, dimensi agreeableness-lah yang dipandang lebih esensial untuk memperkirakan kualitas dari relasi pertemanan tersebut.
Editor: Windu Jusuf