tirto.id - Sudah setahun lebih pandemi COVID-19 berlangsung di Indonesia. Selama itu, pandemi telah mengubah drastis perilaku dan aktivitas sehari-hari masyarakat, terutama dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan pemerintah di berbagai daerah, serta protokol kesehatan untuk menekan transmisi virus corona. Akibatnya, aktivitas yang dulunya dilakukan secara tatap muka, seperti bekerja dan pembelajaran di sekolah, kini harus dilakukan secara jarak jauh.
Hingga April 2021, praktik bekerja dan pembelajaran jarak jauh masih berlangsung seiring dengan program vaksinasi yang tengah berjalan di Indonesia. Our World in Data menyebutkan baru 4,54 persen penduduk Indonesia yang telah menerima vaksin per 30 April 2021.
Kelompok masyarakat yang telah menerima vaksin di tahap pertama diantaranya adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan, tenaga penunjang, serta mahasiswa pendidikan profesi kedokteran yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Kelompok selanjutnya yang menerima vaksinasi pada tahap kedua adalah para petugas pelayanan publik, termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lainnya.
Hanya saja, dengan masih banyaknya kelompok masyarakat yang belum mendapat vaksin, masih banyak perusahaan yang menerapkan sistem bekerja jarak jauh tanpa batas waktu yang ditentukan. Apalagi, baru-baru ini Satgas COVID-19 pusat mencatat adanya kenaikan penyebaran COVID-19 di sektor perkantoran. Seperti yang dikutip di laporan tersebut, data Pemprov DKI Jakarta menunjukkan bahwa di periode 12-18 April 2021 saja, ada 425 kasus di 177 perkantoran di Jakarta, melonjak tajam dari 157 kasus di 78 perkantoran di periode sebelumnya, pada 5-11 April 2021.
Aktivitas bekerja jarak jauh sebenarnya bukan hal baru. Kegiatan bekerja jarak jauh berkembang seiring kemunculan teknologi komunikasi dan komputer pribadi. Menurut artikel berjudul "Bekerja dari Rumah (Working From Home/WFH): Menuju Tatanan Baru Era Pandemi COVID 19" oleh Oswar Mungkasa yang diterbitkan di The Indonesian Journal of Development Planning, konsep bekerja jarak jauh sendiri sudah mulai populer sejak tahun 1970-an, sebelum menjadi makin populer di akhir abad 20, mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan komputer pribadi. Salah satu istilah penyebutannya adalah telecommute. Pengertiannya, seperti dikutip dari Huuhtanen (1997) di artikel tersebut, kurang lebih sama seperti yang diterapkan para pekerja di rumah masa kini, yakni bekerja dari lokasi yang jauh dari kantor menggunakan media telekomunikasi.
Dalam praktiknya, setiap perusahaan memiliki kebijakan sendiri, seperti membagi dua tim yang secara bergantian bekerja di rumah dan di kantor, atau bekerja dari rumah secara penuh. Per April 2020 lalu, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta mencatat sebanyak 3.290 perusahaan menerapkan sistem kerja dari rumah, atau yang lazim disebut work from home (WFH).
Baik manfaat dan risiko dari WFH ini telah banyak didokumentasikan. Riset dari Valoir pada Mei 2020 menunjukkan bahwa kerja jarak jauh memberikan manfaat bagi pekerja seperti berkurangnya kebutuhan transportasi, lebih banyaknya waktu untuk berolahraga, dan bekerja dengan ritme masing-masing individu. Tapi di sisi lain, tenaga medis mengingatkan dampak dari WFH terhadap masalah kesehatan, termasuk karena ketidakjelasan batas waktu kerja. Akibatnya, karyawan bisa mengalami kelelahan atau overworked.
Selanjutnya, seperti apakah pengalaman dari para pekerja di Indonesia yang beralih dari bekerja di kantor menjadi bekerja dari jauh? Dengan pertanyaan ini, Tim Riset Tirto bekerjasama dengan Jakpat merancang sebuah survei dengan tujuan meneliti pandangan masyarakat mengenai dampak ekonomi dan kesehatan dari sistem bekerja jarak jauh setelah setahun pandemi. Sebagai catatan, Jakpat adalah penyedia layanan survei daring yang memiliki lebih dari 803.000 responden.
Survei ini dilakukan tanggal 20 April 2021. Tujuan dari survei ini adalah untuk mencari gambaran apakah sistem kerja jarak jauh dinilai cukup menguntungkan oleh masyarakat untuk diteruskan setelah pandemi berakhir. Selain itu, perusahaan-perusahaan juga bisa menggunakannya sebagai bahan dalam memberikan dukungan untuk para karyawan yang melakukan kerja jarak jauh.
Metodologi Riset
Jumlah responden: 1.500 responden
Wilayah riset: Indonesia
Periode riset: 20-21 April 2021
Instrumen penelitian: Kuesioner online dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non probability sampling
Profil Responden
Pada survei ini, sebaran responden menurut jenis kelamin lebih banyak lelaki, yakni 69,1 persen dan perempuan sebanyak 30,9 persen. Sementara sebaran umur cukup merata, dengan jumlah responden paling banyak berasal dari kelompok usia 30-35 tahun (31 persen).
Untuk daerah asal, mayoritas responden berada di Pulau Jawa. Jumlahnya sebesar 79,7 persen. Kemudian, untuk status ekonomi, kebanyakan responden merupakan kelompok kelas menengah ke bawah (pengeluaran Rp1 juta - Rp3 juta per bulan) dan kelas menengah (pengeluaran Rp3 juta - Rp6 juta per bulan).
Dari 1.500 orang yang disurvei, mayoritas adalah pegawai swasta, yakni sebanyak 60,9 persen. Lalu, sebanyak 30,1 persen berprofesi sebagai wiraswasta. Sisanya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan TNI/Polri. Mayoritas responden berposisi staf di perusahaan atau institusi mereka, sebanyak 69,3 persen. Responden lainnya berada di posisi setara manajer (15,9 persen), setara general manager(3,5 persen), dan direktur (11,3 persen).
Sementara terkait status anak, mayoritas responden, sebesar 61,1 persen, memiliki anak, sementara sisanya tidak memiliki anak.
Situasi Kerja Selama Pandemi
Ketika ditanyakan mengenai perubahan sistem kerja sebelum dan setelah pandemi, sebanyak 50,6 persen mengatakan sebelumnya mereka bekerja di kantor dan saat ini bekerja jarak jauh. Kemudian, sebanyak 41,1 persen orang tetap bekerja di kantor selama pandemi. Perlu diketahui bahwa survei ini tidak melanjutkan pertanyaan bagi yang telah bekerja jarak jauh sejak sebelum pandemi, yang jumlahnya sebanyak 8,3 persen dari responden.
Tim riset Tirto juga melakukan analisis tabulasi silang antara profesi, level pekerjaan, dan domisili responden terhadap perubahan situasi kerja. Survei ini menemukan bahwa hampir seluruh lini jabatan mengalami perpindahan dari bekerja di kantor menjadi bekerja jarak jauh. Meski perpindahan tersebut paling banyak dialami oleh manajer (63,0 persen). Sementara itu, untuk posisi staf, jumlah orang yang bekerja di kantor dan yang bekerja jarak jauh tidak jauh berbeda, yakni antara 46,9 persen dan 47,6 persen.
Dari segi profesi, perubahan sistem kerja paling banyak dialami oleh responden ASN. Sebanyak 59,4 persen responden ASN melakukan kerja jarak jauh setelah sebelumnya bekerja dari kantor. Demikian pula dengan pegawai BUMN, yang mayoritas (54,8 persen) beralih ke kerja jarak jauh selama pandemi. Proporsi perubahan sistem kerja ASN dan pegawai BUMN lebih tinggi dari pegawai swasta yang harus bekerja jarak jauh selama pandemi, sebanyak 48,3 persen.
Memang, pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (MenPAN-RB) telah menetapkan kebijakan kerja jarak jauh untuk ASN sejak Maret, yang terus diperpanjang ke bulan-bulan berikutnya. Alasannya adalah untuk mencegah penyebaran COVID-19 di lingkungan instansi pemerintah.
Temuan menarik lainnya, dari segi pulau, hampir sebagian orang Sumatera (49,5 persen) tetap bekerja di kantor, demikian pula dengan mayoritas responden di Sulawesi (51,9 persen).
Tim riset Tirto juga menanyakan faktor utama yang menyebabkan sebagian responden tidak bisa bekerja jarak jauh (mereka yang disisihkan dari analisis data bekerja jarak jauh). Mereka pun menjawab peraturan kantor sebagai faktor utama (48,1 persen). Faktor lainnya adalah pekerjaan yang memang tidak bisa dilakukan dari jauh (karyawan minimarket, apoteker, dan petugas kesehatan) sebanyak 31,2 persen.
Sistem Bekerja Jarak Jauh
Survei ini menemukan proporsi yang hampir seimbang dalam hal lamanya bekerja jarak jauh. Mayoritas responden telah melaksanakan kerja jarak jauh sekitar 7 hingga 12 bulan (37,5 persen). Sisanya, sebanyak 35,6 persen responden menyatakan sudah bekerja jarak jauh lebih dari satu tahun, dan ada pula yang baru melakukannya 1-6 bulan belakangan (26,9 persen).
Penerapan bekerja jarak jauh pun bermacam-macam. Sebagian besar responden masih ke kantor sekitar 1-2 kali seminggu (40,8 persen), ada pula yang sampai 3 kali seminggu (26,7 persen). Hanya 17,3 persen yang bekerja jarak jauh secara penuh. Temuan riset ini menunjukkan bahwa sistem kerja jarak jauh yang ditetapkan di Indonesia masih banyak yang bermodel hibrida, yakni menggabungkan sistem kerja jarak jauh dengan kerja dari kantor.
Terkait jam kerja, sebagian besar responden (52,6 persen) mengatakan jam kerja mereka fleksibel dengan jumlah jam yang telah ditentukan per hari.
Pendapat Tentang Sistem Kerja Jarak Jauh
Mayoritas responden dalam survei ini menjawab bahwa pengalaman bekerja jarak jauh mereka cukup positif (43,5 persen). Kemudian sisanya menjawab positif (33,3 persen) dan sangat positif (15,8 persen). Proporsi responden yang menilai pengalaman bekerja jarak jauh sebagai negatif atau sangat negatif hanya berjumlah kurang dari 6 persen.
Jika dilihat dari posisi pekerjaan melalui tabulasi silang, jumlah responden pekerja di posisi staf dan manajer yang merasa pengalaman bekerja jarak jauh cukup positif terbilang berimbang, antara 44,4 persen untuk staf dan 43,3 persen untuk manajer. Jumlah responden dengan posisi direktur yang menyatakan hal yang sama sedikit lebih rendah, sebesar 39,5 persen.
Lalu, responden dalam survei ini menjawab bahwa bekerja jarak jauh membuat mereka bisa mengurangi ongkos transportasi (71,1 persen), membuat mereka bisa melakukan aktivitas rumah tangga (64,2 persen), dan punya banyak waktu luang, seperti berolahraga (56,5 persen).
Temuan ini sesuai dengan riset Valoir yang disebutkan di atas, terutama mengenai berkurangnya kebutuhan transportasi dan banyaknya waktu luang. Terkait waktu untuk mengurus keluarga, hal ini juga sempat disebutkan Oswar Mungkasa dalam artikel jurnal ini, sebagai salah satu manfaat bekerja jarak jauh atau dari rumah.
Beberapa responden juga menjawab bahwa bekerja jarak jauh membuat mereka bisa menghindari kerumunan, bisa berkumpul dengan keluarga, tidur tercukupi, dan punya rutinitas yang tidak membosankan.
Di samping manfaat yang dirasakan dari bekerja jarak jauh, responden juga melaporkan kendala-kendala dari sistem kerja ini. Pada riset ini, mayoritas responden menjawab kendala terbesar mereka adalah koneksi dan/atau biaya internet (67,9 persen). Selanjutnya, responden melaporkan kendala rapat virtual yang semakin banyak (52,3 persen) dan fasilitas kerja seperti ruangan atau teknologi atau koneksi internet yang kurang memadai (41,8 persen).
Kendala dengan koneksi internet terutama dialami oleh pekerja yang memiliki anak (41,9 persen). Ini mungkin karena murid-murid sekolah dari berbagai jenjang pendidikan juga harus melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi. Murid-murid umumnya menggunakan platform digital seperti Google Classroom dan Zoom untuk menggantikan pembelajaran tatap muka di ruang kelas sebelum pandemi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menemukan dari survei mereka pada April 2020 bahwa 42,2 persen siswa mengaku tidak memiliki kuota internet yang memadai.
Meskipun begitu, kedua kelompok responden, baik yang punya anak maupun tidak, sama-sama menyatakan bahwa tantangan kedua dan ketiga terberat adalah rapat virtual yang semakin banyak dan fasilitas kerja yang tidak memadai di rumah.
Kemudian, terkait keluhan kesehatan mental yang dialami selama bekerja jarak jauh, mayoritas responden menjawab merasa kesepian/terisolasi (47,2 persen) dan mereka juga merasakan tingkat stres yang tinggi (32 persen). Untuk keluhan fisik sendiri, sebagian dari responden menjawab mata lelah karena menatap layar (56,9 persen), nyeri punggung (39,8 persen), dan nyeri leher (37,8 persen).
Ini sesuai dengan penelitian sebelumnya mengenai dampak fisik dan mental dari kerja jarak jauh. Misalnya, sebuah penelitian tahun 2020 di Italia yang melibatkan 51 orang yang bekerja di rumah menemukan bahwa 41,2 persen responden melaporkan nyeri punggung bawah dan 23,5 persen melaporkan sakit leher. Bahkan setengah dari responden melaporkan bahwa nyeri leher mereka memburuk karena bekerja dari rumah.
Selain itu, laporan lainnya dari Eurofound dan International Labour Organization (ILO) pada tahun 2015 juga menunjukkan bahwa bekerja jarak jauh rentan mengalami perasaan terisolasi.
Lalu, ketika tim riset bertanya pada responden soal faktor yang paling mengganggu konsentrasi, responden menjawab yang utama adalah keperluan terkait anak, misalnya membantu anak belajar (34,9 persen). Selanjutnya adalah media sosial (24,8 persen) dan keperluan rumah tangga (24,1 persen). Beberapa jawaban lainnya adalah koordinasi masalah pekerjaan yang jadi sulit dilakukan, gangguan dari hewan peliharaan, kondisi rumah yang tidak kondusif, hingga suara televisi.
Riset Valoir (2020) juga menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki anak akan kesulitan membagi waktu dan tenaga karena juga membantu anak belajar, walaupun berdasarkan riset ini, media sosial disebut sebagai distraksi utama bagi orang yang bekerja jarak jauh.
Responden juga mengatakan pos pengeluaran terbesar mereka adalah paket internet dan pulsa (63,6 persen). Pos biaya paling banyak kedua dan ketiga masing-masing adalah biaya listrik (18,3 persen) dan makanan minuman (10,8 persen). Lebih jauh, mayoritas responden (46,9 persen) menjawab bahwa peningkatan biaya rumah tangga ketika bekerja jarak jauh adalah sebesar 10-30%.
Masa Depan Kerja Jarak Jauh
Survei ini juga menemukan bahwa terlepas dari segala dampak yang ditimbulkan oleh sistem bekerja jarak jauh, responden menyatakan bahwa menurut mereka, kombinasi antara kerja jarak jauh dan bekerja di kantor adalah bentuk kerja ideal di masa mendatang. Lebih dari setengah responden orang menyatakan hal ini (56,1 persen).
Menurut mereka pula, pilihan untuk bekerja jarak jauh jadi penting dalam memilih tempat bekerja di masa depan. Lagi-lagi, sebanyak 54,9 persen responden menyatakan hal ini.
Analisis McKinsey Global Institute yang dipublikasikan bulan November 2020 menyebutkan bahwa menurut survei perusahaan konsultan manajemen global tersebut, 38 persen dari 800 pemegang posisi eksekutif di perusahaan-perusahaan yang disurvei memperkirakan karyawan mereka akan bekerja jarak jauh setiap dua hari atau lebih dalam seminggu setelah pandemi. Persentase ini lebih tinggi dari 22 persen responden sebelum pandemi.
Artikel analisis itu juga menyebutkan bahwa model hibrida, yakni gabungan antara kerja jarak jauh dan kerja dari kantor, akan dipertahankan setelah pandemi. Potensi untuk kerja jarak jauh sendiri disebut banyak terkonsentrasi di antara pekerja dengan keahlian dan pendidikan tinggi.
Kesimpulan
Berdasarkan riset mandiri Tirto dan Jakpat, dapat disimpulkan bahwa para pekerja yang baru melakukan kerja jarak jauh setelah pandemi menilai sistem kerja tersebut cukup positif. Para pekerja merasakan manfaat dari kerja jarak jauh, seperti berkurangnya ongkos transportasi dan lebih banyaknya waktu luang. Tapi, mereka juga mengalami dampak negatif dari kerja jarak jauh terhadap kesehatan, baik secara fisik maupun mental, dan kendala-kendala yang dialami seperti fasilitas kerja yang tidak memadai dan biaya paket data internet yang tinggi.
Dengan mempertimbangkan manfaat dan dampak negatif tersebut, mayoritas masih memilih sistem kerja hibrid, yang memungkinkan mereka untuk tetap menikmati fasilitas kantor dan bertemu rekan kerja mereka, sambil tetap menikmati manfaat kerja jarak jauh di hari-hari tertentu. Hal ini, menurut studi, memang diperkirakan akan menjadi sistem yang dipertahankan oleh perusahaan-perusahaan selepas pandemi.
Editor: Farida Susanty