Menuju konten utama
Seri Operasi Intelijen

Opsus Ali Moertopo Mengakhiri Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Opsus berjasa besar dalam meredakan konfrontasi Indonesia-Malaysia. Di masa-masa Konfrontasi itulah Opsus lahir, lalu berjaya di tangan Ali Moertopo.

Opsus Ali Moertopo Mengakhiri Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soeharto dan Ali Moertopo. FOTO/Istimewa

tirto.id - Tak semua insan tentara rela dengan adanya Konfrontasi Dwikora Ganyang Malaysia yang dicanangkan Paduka Jang Mulia Sukarno pada 1964. Bagi mereka, perang melawan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme negara Barat tidak ada untungnya. Apalagi harus perang fisik terbuka.

Kala itu Malaysia berada di bawah naungan Persemakmuran Kerajaan Inggris Raya. Di antara yang tidak suka kepada politik konfrontasi ala Sukarno adalah para petinggi Angkatan Darat, yang dipimpin Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Memang banyak pasukan yang dikerahkan ke perbatasan Indonesia-Malaysia. Namun, pasukan-pasukan yang banyak itu belum semuanya tiba. Tak heran jika Brigadir Jenderal Mustafa Sjarif Soepardjo, yang jadi Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga), bisa pulang dengan nyaman ke jakarta jelang G30S, karena pasukannya belum tiba di sekitar perbatasan.

“Belakangan Yani dan stafnya merekrut Soeharto untuk memainkan peranan rahasia yang penting dalam usaha mereka untuk menggembosi konfrontasi, kampanye anti-Malaysia Sukarno,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008:264).

Menpangad Tak Sejalan dengan Presiden

Suatu hari di tahun 1964, seperti diceritakan orang dekat Moertopo sekaligus tokoh angkatan 1966, Jusuf Wanandi, dalam memoarnya, Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998 (2012:67-68), Letnan Jenderal Ahmad Yani bertemu para perwira Kostrad. Panglima Kostrad kala itu adalah Mayor Jenderal Soeharto, di mana dia bercerita soal kekhawatirannya terhadap konfrontasi Dwikora melawan Malaysia itu.

Yani tak rela pasukan elit bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dilibatkan dalam konfrontasi. Kebetulan, salah satu mantan anak buah Yani di pasukan Banteng Raider Jawa Tengah, Letnan Kolonel Ali Moertopo—yang jadi perwira staf intel dan operasi khusus di Kostrad—hadir pula.

“Pak Yani, saya ingin bertanya, kenapa konfrontasi itu terus dijalankan kalau Bapak tahu itu akan merusak kita? Kenapa bapak tidak menghentikannya saja?” tanya Ali.

Yani hanya bisa menjawab, “kalau tergantung saya, akan saya hentikan, tapi Bung Karno yang memulainya.”

“Kita harus mengakhirinya. Kenapa kita harus bunuh-bunuhan dan nanti berhadapan dengan Cina?” kata Ali Moertopo.

Yani sepakat saja dengan ide di luar nalar orang-orang era Demokrasi Terpimpin yang muncul dari bekas bawahannya itu.

“Ya, tapi siapa yang melaksanakan itu?” tanya Yani pada Moertopo.

Dengan mantap, Moertopo bilang, “serahkan pada saya.”

Itulah cerita yang berkembang tentang bagaimana lahirnya satuan khusus legendaris di masa Orde Baru bernama Operasi Khusus (Opsus). Ali memang perwira untuk operasi khusus Kostrad, termasuk dalam operasi pembebasan Irian Barat di bawah komando Soeharto.

Soeharto, yang dicap musuh Yani, membiarkan Ali melakukannya. Kemungkinan, waktu ada pembicaraan antara Ali dan Yani itu, Soeharto sedang tidak di antara mereka. Soeharto tak keberatan dengan ide Ali itu. Toh Ali tetap tunduk pada Soeharto sebagai atasan langsungnya.

“Selama konfrontasi (dengan Malaysia), ia tetap bertanggungjawab kepada Soeharto dan mengepalai unit Operasi Khusus (Opsus), yang bertugas melawan pihak persemakmuran dan, dengan segala kelenturannya, juga berperan penting dalam memimpin negosiasi yang berhasil dalam mengakhiri konflik,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2009: 42-43).

Benny Moerdani dan Aloysius Sugianto termasuk andalan Ali Moertopo di Opsus dan mereka dilibatkan. Selain mereka berdua, mantan Permesta di Sulawesi Utara—yang beberapa tahun sebelumnya bermusuhan dengan pemerintah pusat—juga dilibatkan. Ada Jerry Sumendap, Daan J. Mogot, Welly Pesik, Jan Walandauw, juga Ventje Sumual. Jerry adalah pemilik perusahaan pelayaran yang sering seliweran ke Singapura dan Hongkong. Anak angkat Sutan Sjahrir, Des Alwi—yang terlibat PRRI-Permesta di luar negeri—juga dilibatkan mencari kontak dengan pihak Malaysia.

Menurut catatan Julius Pour dalam Benny, Tragedi Seorang Loyalis (2007: 146-147), pada pertengahan 1964, sudah ada usaha dari Tan Sri Ghazali Shafie, seorang kepala intel Malaysia. Namun, Yani menaruh curiga pada Ghazali yang intel. Panglima AD itu takut dipermainkan. Yani sendiri diam-diam berusaha mengontak Departemen Pertahanan Inggris. Menurut pemikirannya, jika Inggris mau, biasanya Malaysia tak akan keberatan untuk diajak berunding.

Suatu hari pada pertengahan 1965, Opsus di Bangkok mendengar kabar bahwa Menteri Pertahanan Malaysia Tunku Abdul Razak akan berkunjung ke Bangkok. Daan Mogot tahu, jika Des Alwi sering di Bangkok dan menginap di Hotel Amarin. Mogot bertindak cepat. Didatanginya hotel itu dan ditemuinya Des di lift hotel dan mereka mengobrol.

Kala itu Des berusaha menemui Sutan Sjahrir yang hendak diterbangkan ke Swiss namun akan singgah di Bangkok. Sayangnya, Sjahrir gagal Des temui, karena pesawatnya langsung ke Swiss. Dia berniat menyusul awalnya.

Mogot pun lalu mengajak Des menemui Ali Moertopo yang menanti di kamar hotel. Benny dan Ngaeran juga ada di sana. Intinya kemudian, Des diminta menghubungi Abdul Razak. Des bersedia, bahkan membatalkan rencananya menyusul bapak angkatnya. Razak berhasil ditemui Des. Razak diberi penjelasan bahwa isyarat damai ini datang dari Kostrad. Razak sendiri pernah bertemu panglimanya dan Razak menanggapi positif.

Infografik Operasi Khusus

Bisa Reda Setelah Sukarno Tumbang

Sementara di sekitar perbatasan Kalimantan terjadi ketegangan dan Sukarno masih terus dengan Ganyang Malaysia-nya, nun jauh di Bangkok, pada pertengahan Juli 1965, dilaksanakan makan malam rahasia antara Ali Moertopo dengan Ghazali, yang datang bersama Des Alwi. Mereka makan malam di Hotel Amarin, Bangkok. Setelah Ali pulang ke Jakarta untuk melapor kepada Soeharto, Benny dan Des pun diam-diam menemui Razak yang sedang main golf.

“Kontak pertama Razak dengan Benny pun membuahkan banyak hasil penting. Malaysia menjanjikan akan segera membuat prakarsa ini. Sebagai bukti niat baik itu, Malaysia akan mengatur pembebasan para anggota ABRI dan sukarelawan yang mereka tangkap,” tulis Pour (hlm. 152).

Setidaknya Inggris membatalkan hukuman mati kepada Kopral Angkatan Udara yang terjun ke Pontianak. Makin hari, usaha Opsus itu makin terang. Benny pun jadi perwira penghubung atas hubungan gelap Opsus dengan segelintir "oknum" Malaysia itu.

Pada Desember 1965, dua bulan setelah kudeta G30S pimpinan Letnan Kolonel Untung gagal, Ali Moertopo, Daan Mogot, dan Welly Pesik terbang Kuala Lumpur. Benny sudah berada di sana. Usaha damai makin mudah di masa-masa setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Kala itu Sukarno sudah goyah dan Soeharto makin menguat.

Serombongan perwira—seperti Laksamana O.B. Syaaf, Brigadir Jenderal Kemal Idris, Brigadir Jenderal Yuga Sugomo, Letnan Kolonel Sofyar, dan Kolonel Tjokropanolo—diam-diam ke Malaysia pada 25 Mei 1966 hingga 27 Mei 1966. Komodor Susanto menerbangkan Hercules yang mengangkut perwira-perwira yang kebanyakan dari Kostrad itu.

Setelah misi damai rahasia di belakang Paduka Yang Mulia itu, pada 1 Juni 1966, Menteri Luar Negeri Adam Malik bertemu Tun Abdul Razak—yang juga sudah jadi Menteri Luar Negeri—di Bangkok dengan sebuah rumusan damai.

Bulan-bulan berikutnya, misi besar Opsus menghentikan konfrontasi itu sukses. Puncaknya terjadi pada 11 Agustus 1966 dengan ditandatanganinya Jakarta Accord. Masa-masa berikutnya adalah tahun-tahun kejayaan Opsus dan Ali Moertopo.

Baca juga artikel terkait OPERASI INTELIJEN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan