tirto.id - Hikmatullah "Hikmat" Shadman tinggal bersama ayah, ibu, dan lima saudaranya di sebuah rumah bertembok lumpur di kawasan kota tua Kandahar, Afganistan.
Di bawah kekuasaan Taliban, Hikmat yang baru berusia 14 tahun hidup dalam ketakutan. Ia sering dipaksa menonton eksekusi mati di lapangan sepak bola. Namun, selimut muram ciptaan Taliban yang menyelimuti kehidupannya tak membuat Hikmat patah arang untuk belajar mengenal dunia.
Lewat televisi milik temannya yang seorang Hindu, Hikmat mengenal Van Damme, Bruce Lee, serta Rambo. Dan melalui radio milik ayahnya yang selalu disetel untuk menerima siaran BBC Pashto, Hikmat tak pernah ketinggalan beragam peristiwa dunia. Termasuk tentang serangan Al-Qaeda terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001 dan janji Paman Sam untuk membalas serangan tersebut.
Berbekal kenangan film laga yang disaksikannya, Hikmat membayangkan Kapten Amerika, dengan gagah tiba di kandang Al-Qaeda untuk membayar lunas petaka yang diciptakan sang teroris. Imajinasi kanak-kanaknya membuatnya girang hingga ia menulis "Hidup Bush" di tembok masjid dekat rumahnya. Hikmat ingin segera mendengar warta serangan balasan tersebut.
Nahas, ia dan seluruh warga Afganistan tak mengerti dan menyadari bahwa kandang Al-Qaeda yang dibidik Paman Sam untuk melampiaskan hasrat balas dendam adalah tanah air mereka sendiri.
Tak sampai tiga bulan usai Hikmat mendengar berita 9/11, pesawat pengebom B-52 tiba di langit Afganistan untuk menghancurkan negerinya dalam aksi militer bertajuk "Operation Enduring Freedom".
Ini membuat Hikmat terusir dari rumah dan untuk menjadi pengungsi di Karachi, Pakistan. Setelah ayahnya meninggal karena kanker hingga memaksanya memberanikan diri kembali ke Afganistan untuk bekerja, petaka yang dihadirkan AS di Afganistan justru menjadi pemicu kesuksesannya.
Sempat menjajakan jus di tepi jalanan Kandahar, Hikmat lantas bekerja sebagai petugas kebersihan cum montir di Pangkalan Militer Pasukan Khusus AS.
Setelah dipertemukan oleh temannya dengan Bryan Myer, sersan teknik baret hijau dari Desert Eagles (Batalion Pasukan Khusus ke-3), Hikmat "naik pangkat" menjadi penerjemah dan diberi upah senilai $1.500 per bulan alias 12 kali lipat rerata penghasilan penduduk Afganistan.
Usai Myer dipulangkan dan digantikan Rusty Bradley, bos barunya itu kembali menaikkan "pangkat" Hikmat, yakni sebagai kontraktor militer.
Didorong kepemilikan diskresi di tubuh Pasukan Khusus, di usia belianya Hikmat ketiban durian runtuh senilai lebih dari $160 juta guna menyediakan transportasi bagi pasukan dan segala kebutuhan logistik militer AS. Ini mula-mula dipenuhinya hanya dengan memanfaatkan satu unit truk.
Menurut Matthieu Aikins dalam "The Bidding War" (The New Yorker, Februari 2016), lewat uang sekitar $14 triliun yang disetujui Kongres untuk menggelar operasi militer di Afganistan, juga keyakinan di tubuh AS bahwa uang dapat pula diterjemahkan sebagai "amunisi", maka bukan hanya Hikmat yang memperoleh keuntungan besar dari AS.
Musababnya, tulis Aikins, "Militer AS mengalihdayakan hampir semua kebutuhan mereka, mulai dari pemeliharaan/perawatan segala tetek bengek pangkalan/pos, makanan dan benatu, serta logistik."
Sejak 2007, jumlah pekerja pihak ketiga telah melampaui total pasukan AS yang berada di Afganistan, yakni tiga berbanding satu.
Hal ini tak hanya dilakukan AS di sektor penunjang pasukan, tapi juga sebagian serangan dan masalah keamanan diserahkan kepada pihak ketiga alias Perusahaan Militer Swasta (Private Military Companies atau PMC).
Tentara Bayaran sebagai Solusi
"Serangan teroris pada 11 September 2001 menghadirkan ancaman jenis baru dengan ketidakpastian dan kejutan sebagai karakteristiknya," tutur Kyle M. Ballard dalam "The Privatization of Military" yang dimuat dalam Private Military and Security Companies (2007).
Maka itu, ujar Presiden George Bush, "Amerika Serikat harus merencanakan kemenangan di seluruh spektrum kemungkinan terjadinya konflik. Struktur militer AS selama Perang Dingin yang bertahan hingga saat ini harus diubah secara masif untuk memfokuskan diri bagaimana sesegera mungkin berperang melawan musuh, bukan [bersiaga] kapan dan di mana perang mungkin terjadi."
Sebelum 9/11 terjadi, sebut Ballard, AS berencana melakukan revolusi militernya dalam bentuk perubahan organisasi dan doktrin perang serta memodernisasi teknologi persenjataan. Namun, serangan Al Al-Qaeda terhadap Menara Kembar WTC membuat rencana tersebut tertunda. Terlebih, pasca Perang Dingin, banyak prajurit AS ditempatkan di pelbagai pos militer di seluruh dunia.
Jika AS ngotot melakukan modernisasi teknologi persenjataan demi menghantam Al-Qaeda, tulis Ballard, "laporan Business Executives for National Security (BENS) menegaskan bahwa hal tersebut mungkin terjadi jika AS rela menaikkan anggaran militernya hingga lebih dari 60 persen."
Maka, tak ingin terlalu lama melepas dahaga dendam kesumat, Perusahaan Militer Swasta adalah solusinya.
Dari 2001 hingga 2007, merujuk laporan Leticia Armendariz dalam Corporate Private Armies in Afghanistan (2013), tak kurang dari 140 perusahaan swasta sebagai pihak ketiga ditunjuk oleh Pemerintah AS untuk membantu melakukan operasi militer di Afganistan.
Dari ratusan perusahaan tersebut, 31 di antaranya bertugas menyediakan tak kurang dari 28.000 prajurit bayaran yang dipekerjakan untuk membantu serangan atau urusan keamanan domestik dan melatih pasukan militer Afganistan.
Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga bertugas menyediakan alat tempur, seperti yang dilakukan oleh Lockeed Martin, Boeing, General Dynamics, Raytheon Technologies, dan Northrop Grumman--yang sukses meraup sepertiga dari $14 triliun dana operasi militer.
Meskipun hal ini dilakukan AS sebagai respons terhadap ancaman jenis baru dengan ketidakpastian dan kejutan sebagai karakteristiknya, Private Military Companies bukanlah solusi militer khas Paman Sam.
Sebagaimana dituturkan Carlos Ortiz dalam "Overseas Trade in Early Modernity and the Emergence of Embryonic Private Military Companies" dalam buku Private Military and Security Companies (2007), saudagar Eropa abad ke-17 dan kongsi dagang seperti VOC dan EIC adalah pencetus tentara bayaran.
Hal ini adalah buah dari keengganan negara/kerajaan mengeluarkan sumber daya mereka demi melindungi saudagar-saudagar yang menjelajah ribuah kilometer ke Hindia dalam mencari rempah-rempah. Padahal aksi menjelajah tersebut tentu sangat berbahaya.
Akhirnya, para saudagar Eropa abad pertengahan menginisiasi pembentukan tentara bayaran dengan restu negara/kerajaan dalam bentuk "charter" atau piagam. Isinya selain mengizinkan pihak swasta membentuk angkatan militer, juga mengizinkan saudagar-saudagar memonopoli perdagangan di wilayah Hindia yang mereka kuasai.
Singkatnya, Private Military Companies lahir lewat doktrin, "untuk apa negara/kerajaan menghambur-hamburkan sumber dayanya jika dengan mengizinkan swasta membentuk kekuatan militer saja segala urusan dapat diselesaikan."
Lewat doktrin tersebut, EIC (kongsi dagang Inggris), misalnya, dalam salah satu masa kejayaannya memiliki lebih dari 145.000 tentara bayaran.
Namun, seiring waktu Private Military Companies lebih merugikan dibandingkan menguntungkan pihak yang menyewa. Dari 140 perusahaan swasta yang ditunjuk Pemerintah AS dalam program operasi militer di Afganistan, hampir semuanya terlibat dalam praktek KKN.
Tak kurang dari 115 anggota militer AS didakwa menerima suap untuk meloloskan perusahaan swasta memperoleh kontrak militer. Bahkan, dalam kasus Hikmatullah "Hikmat" Shadman, ia didakwa memperkaya Taliban.
Musababnya, demi berhasil membawa pasukan militer AS ke lokasi tujuan via jasa logistik yang dimilikinya, Hikmat menyuap pasukan-pasukan Taliban. Tentu, usai menyuap bosnya, Rusty Bradley, terlebih dulu.
Editor: Irfan Teguh Pribadi