tirto.id - Tujuan utama pelaksanaan Operasi Zebra selama dua pekan di akhir tahun ialah meningkatkan kepatuhan dan menekan angka kecelakaan lalu lintas. Namun, setiap tahun jumlah pelanggar lalu lintas yang terjaring dalam operasi tersebut tetap masif, bahkan dalam beberapa tahun belakangan volumenya meningkat.
Tahun ini, Operasi Zebra berlangsung mulai 30 Oktober sampai 11 November 2018. Ada tujuh pelanggaran yang menjadi target utama untuk ditertibkan petugas kepolisian selama operasi berjalan, antara lain pengendara yang mengoperasikan ponsel, pengendara yang melawan arus, sepeda motor yang melebihi kapasitas angkut, pengendara yang tidak punya SIM, pengemudi yang tidak menggunakan perangkat keselamatan berkendara, pengemudi yang mabuk, dan kendaraan yang melaju melebihi batas kecepatan.
Sampai di hari ketujuh pelaksanaan Operasi Zebra, Polda Metro Jaya telah menilang 52.366 pengemudi. Pengendara sepeda motor mendominasi daftar pelanggaran tersebut. Tercatat 33.911 pengendara sepeda motor menerima surat tilang. Jumlah pengendara mobil penumpang dan mobil barang yang melanggar masing-masing sebanyak 14.647 dan 3.157 orang.
Jenis kasus terbanyak adalah melanggar rambu berhenti dan parkir, diikuti melawan arus, serta tidak menggunakan helm. Seperti tahun sebelumnya, pelanggaran lalu lintas di wilayah kerja Polda Metro Jaya, pelanggaran paling banyak terjadi di daerah Jakarta Timur mencakup 9.694 kasus.
Data tentatif tersebut menunjukkan, ada penurunan jumlah pelanggar dalam tujuh hari pelaksanaan Operasi Zebra dibandingkan tahun lalu. Pada 2017, selama tujuh hari Polda Metro Jaya melayangkan surat tilang kepada 66.207 pengendara.
Meski demikian, Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budianto belum bisa memastikan turunnya jumlah pelanggar di Operasi Zebra tahun 2018. Menurutnya, perlu menunggu data final untuk menyimpulkan turun atau naiknya pelanggaran lalu lintas selama operasi tahun ini.
“Belum dievaluasi final, biasanya setelah operasi (perhitungan data),” kata Budiyanto saat dihubungi Tirto, Selasa (6/11/2018).
Dalam keterangan tertulis dari Polda Metro Jaya, disebutkan, “kejadian kecelakaan lalu lintas pada sasaran operasi terjadi penurunan.” Namun, Budiyanto enggan menjelaskan secara rinci volume penurunan kecelakaan lalu lintas selama penertiban berlangsung. “Evaluasi (angka kecelakaan) secara menyeluruh belum (dilakukan),” sebut Budiyanto.
Selain Operasi Zebra, ada beberapa kegiatan penertiban lalu lintas lain yang digalakkan di lingkungan Polda Metro Jaya dan kepolisian daerah lain. Di antaranya, Operasi Ketupat untuk menjaga ketertiban lalu lintas selama musim mudik lebaran Idul Fitri. Selanjutnya, Operasi Lilin yang dilakukan selama perayaan Hari Natal dan Tahun Baru.
Kemudian Operasi Simpatik, digalakkan dengan tujuan mengamankan kondisi lalu lintas saat penyelenggaraan pemilu, kedatangan tamu negara asing dalam skala besar, seperti saat OPEC, Asian Games, atau kegiatan kenegaraan lainnya. Selain itu, ada pula Operasi Kawasan yang dilaksanakan untuk menyisir pelanggar lalu lintas pada waktu-waktu tertentu.
Pelaksanaan operasi-operasi penertiban lalu lintas tersebut bertujuan menurunkan angka kecelakaan lalu lintas. Namun, pada kenyataannya intensitas kecelakaan di Tanah Air masih tinggi.
Dalam kurun waktu 2014-2017, statistik jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat. Pada 2014, terjadi 95.906 insiden. Setahun kemudian jumlahnya naik menyentuh 98.970 kasus. Pada 2016, kasus kecelakaan bertambah menjadi 106.129 kejadian dan 103 ribuan laka di 2017.
Di lain sisi, Korban jiwa yang berjatuhan dari sederet tragedi kecelakaan selama 2014-2017 cenderung berkurang. Namun, angkanya masih relatif besar. Tahun 2014, korban meninggal dunia mencapai 28.297 orang. Kemudian berkurang menjadi 26.495 orang pada 2015 dan 26.185 pada 2016. Pada 2017, jumlahnya menurun di kisaran 25 ribuan.
Dalam artikel jurnal berjudul “Perilaku Masyarakat Terhadap Operasi Bukti Pelanggaran (Tilang) Dalam Berlalu Lintas” yang ditulis Muhar Junef, seorang peneliti hukum BPHN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2014), sanksi tilang dapat membuat seseorang jera atau justru kembali melanggar lalu lintas. Singkatnya, denda tilang dapat membuat masyarakat dengan ekonomi menengah bawah jera melakukan pelanggaran. Tapi di lain sisi, besaran denda dinilai kecil untuk masyarakat menengah atas, sehingga mereka kembali melanggar lalu lintas setelah mendapatkan tilang.
“Keterkaitan perilaku dengan pidana denda ini dikemukakan karena dalam setiap operasi bukti pelanggaran atau tilang, sanksi utamanya adalah denda sehingga masalah volume denda tersebut dapat menjadi prevensi perilaku menyimpang atau sebaliknya volume denda tersebut menjadi penyebab perilaku menyimpang berlalu-lintas,” tulis Muhar.
Disebutkan dalam Pasal 73 Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Surat Izin Mengemudi (SIM), pengendara yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi kurungan penjara lebih dari enam bulan atau denda lebih dari Rp 1 juta. Sementara untuk pelanggaran sedang, sanksi yang diberikan bisa berupa kurungan penjara tiga sampai bulan atau denda Rp500 ribu sampai Rp1 juta. Untuk pelanggaran kategori ringan, sanksinya bervariasi mulai dari kurungan penjara 15 hari atau denda maksimal Rp100 ribu sampai penjara dua bulan atau denda maksimal Rp 250 ribu.
Adapun rincian pelanggaran ringan, sedang, dan berat diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pemotor yang tidak menggunakan helm atau pengemudi mobil tidak mengenakan sabuk pengamanan dianggap melakukan pelanggaran lalu lintas ringan dan terancam kurungan penjara maksimal satu bulan atau denda maksimal Rp 250 ribu (pasal 290).
Sementara itu, pengendara yang tidak memiliki SIM termasuk dalam pelanggar kategori sedang terancam kurungan penjara maksimal empat bulan atau denda paling besar Rp1 juta (pasal 281). Selanjutnya, salah satu bentuk pelanggaran berat yang disebutkan UU tersebut, yakni perbuatan yang membuat kerusakan atau gangguan fungsi jalan, dibayangi hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda terberat Rp24 juta (pasal 274 ayat (1).
Seperti yang dikatakan Muhar, sanksi untuk pelanggar lalu lintas bersifat relatif. Bagi yang tidak punya banyak uang, denda bakal memusingkan, namun tidak bagi yang berkantong tebal.
Karena itu, kepolisian perlu mengkaji ulang efektivitas operasi penertiban lalu lintas. Membuat sanksi yang lebih ketat dan sama berat untuk semua golongan akan lebih baik dibandingkan melakukan operasi khusus rutin yang berlangsung tahunan yang ujungnya hanya menjatuhkan surat tilang buat pelanggar dan tidak memberikan efek signifikan.
Editor: Windu Jusuf