Menuju konten utama

Operasi Kelamin Bukan Jawaban untuk Interseks

Interseks bukan kejadian langka, dan operasi sejak dini bukan solusinya.

Operasi Kelamin Bukan Jawaban untuk Interseks
Ilustrasi inteseks. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sejak kecil, ia memang sering bertanya-tanya tentang perhatian medis, termasuk sejumlah operasi yang dialaminya pada 1960-an. Ruth yang kini berusia 60 tahun bercerita, “para dokter selalu membelokkan pertanyaan-pertanyaan saya dan membungkam saya ketika bertanya mengapa saya punya banyak sekali janji (dengan mereka).”

Ia menambahkan, “Saya jadi punya PTSD (Gangguan stres pasca-trauma) dan tahap-tahap disasosiatif lainnya demi melindungi diri sendiri, sementara mereka memperlakukan saya seperti tikus laboratorium, setengah tahun sekali menempatkan saya di sebuah ruangan penuh dengan dokter-dokter pria berjaket putih, beberapa di antaranya mengambil foto saya saat saya telanjang.”

Ruth bekerja di sebuah universitas swasta, memulai karier yang menggiurkan, dan menikahi seorang pria. Suatu malam ketika umurnya 32 tahun, ia mengalami pendarahan ketika berhubungan intim, lalu dibawa ke rumah sakit.

“Setelah operasi perbaikan vagina saya, saya melakukan pertemuan pertama dengan dokter yang benar-benar baik dan jujur. Dia bilang kepada saya 'Saya tidak yakin dengan apa yang Anda miliki, tapi jika saya dapat melihat catatan medis Anda, saya dapat menjelaskannya kepada Anda’,” kata Ruth.

Ia lantas langsung pergi menemui ahli endokrinologi yang pernah merawatnya semasa kecil dan meminta rekaman medis miliknya. Sang dokter menolak. Jadi Ruth menunggu di lapangan parkir sampai sang dokter pergi dari kantornya malam itu. Ruth kemudian menyusup masuk dan mencuri rekaman medis itu.

Ruth hanya duduk di parkiran dan tak berani membaca tumpukan kertas itu di awalnya, ia hanya menyusun lembaran itu sesuai tanggal. “Lalu aku menarik napas dan mulai membaca, hal pertama yang kulihat di halaman pertama adalah ‘Male pseudo-hermaphrodite, complete female phenotype. Pasien tidak tahu Dx (diagnosisnya)’,” kata Ruth.

Hal pertama yang terlintas di kepalanya: “Ini kabar baik! Artinya hal ini adalah sesuatu yang diketahui! Betapa mengerikannya kalau hal ini kalau mereka sempat bilang: tak ada orang lain yang mengalami hal sepertimu apalagi tahu nama kondisimu ini.” Hal kedua yang terlintas adalah: “Para dokter sialan ini ternyata berbohong padaku selama ini. Rupanya ada orang lain di luar sana yang sama denganku. Kuharap aku tahu hal ini.”

Ruth sangat murka karena tak tahu fakta tersebut. Ia tak terima para dokter itu menyimpan rahasia kondisi medisnya, dan membuatnya merasa seperti orang aneh. Lalu Ruth merasa lega. Setidaknya lembaran catatan itu adalah pengetahuan baru baginya, sesuatu yang bisa dipakainya untuk melindungi diri. “Dan kemudian aku berpikir: aku bertanya-tanya seberapa banyak Ibuku tahu tentang ini. Apakah dia tahu kalau hal ini adalah bagian dari sesuatu-yang-harus-dirahasiakan-dari-Ruth?”

Keesokan harinya, Ruth mendatangi endokrinologinya lagi. Kali ini ingin meminta jawaban sang dokter. Dokter itu bilang, ibu Ruth-lah yang memintanya untuk tidak memberitahukan dan sang dokter membela diri kalau dia hanya mengikuti standar perawatan.

“Saat itulah aku sadar bahwa cara aku dirawat selama ini tak pernah tentang aku—semua ini adalah tentang dokter dan orang tuaku, dan semua orang yang tak nyaman dengan bentuk tubuhku… tapi aku ingin jadi sebagaimana alam menciptakanku,” kata Ruth.

Ruth adalah salah satu interseks yang diwawancarai Human Right Watch dalam laporan terbaru mereka berjudul: “‘I Want to Be Like Nature Made Me’, Medically Unnecessary Surgeries on Intersex Children in the US”. Isi laporan itu adalah salah satu fakta yang jarang dikupas dan didiskusikan secara terbuka, yaitu: interseks.

Orang-orang Interseks lahir dengan beberapa karakteristik jenis kelamin yang tidak terindentifikasi dengan definisi kelamin pria atau perempuan. Karakteristik tersebut biasa dilihat dari: kromosom, kelenjar kelamin, hormon seks, dan genital atau alat kelamin.

Sekitar 1,7 persen populasi manusia lahir dengan identifikasi interseks. Lebih rinci perbandingannya adalah satu per 2000 bayi yang lahir. Jika penduduk dunia digenapkan 7 miliar jiwa, artinya ada sebanyak 140 juta orang lahir sebagai interseks. Jumlah ini setara dengan 25 kali jumlah penduduk Singapura. Oleh sebab itu, interseks bukanlah kondisi yang langka.

Dalam sejarah awal medis modern, interseks dianggap sebuah keabnormalan dan harus disembuhkan dengan cara dioperasi. Genitalia seorang interseks akan dirombak sesuai dengan kelamin pria, atau wanita. Namun, tak jarang operasi ini punya risiko besar pada orang-orang interseks, termasuk kemandulan, bahkan luka pada fisik, emosional, dan psikologis.

Salah satu kasus besar yang dicatat HRW adalah “Kasus John/Joan”. Pada 1966, sepasang orang tua membawa dua orang bayi kembar laki-laki mereka ke rumah sakit untuk disunat. Sayangnya salah satu operasi gagal, dan malah menghancurkan penis salah satu bayi itu. Khawatir pada fungsi dan identitas seksual anak mereka, sang orang tua kemudian membawa anaknya ke Universitas Johns Hopkins. Di sana ada seorang psikolog yang belakangan namanya terkenal karena menyarankan standar perawatan bagi bayi interseks untuk melakukan operasi alat kelamin. Namanya John Money.

Singkat cerita, bayi itu dioperasi untuk punya kelamin perempuan, kemudian dinamai ulang menjadi Brenda Reimer. Selama satu dekade, Money kemudian mengakui kesuksesan operasi itu lewat sejumlah paper-nya. Nyatanya, operasi itu gagal. Pada usia 15 tahun, Reimer kembali melakukan transisi menjadi seorang pria.

Baca juga:

Pada 1997, Milton Diamond, ahli seksologi di Universitas Hawaii, dan Keith Sigmundson, psikiater Kanada merilis sebuah makalah tentang Reimer yang telah jadi pasien mereka. Isinya: “Kami menyarankan para orang tua dan anak untuk menyediakan konseling periodik jangka panjang ketimbang keputusan operasi dan perombakan jenis kelamin yang buru-buru, yang tampak sebagai solusi sederhana dan terburu-buru bagi masalah yang lebih kompleks.”

Teori Money sempat dipakai jadi landasan bagi para orang tua yang memiliki anak interseks untuk melakukan operasi pergantian kelamin menjadi pria atau wanita.

Hal ini kemudian jadi poin utama yang ditonjolkan laporan HRW. Keputusan operasi kelamin terlalu dini pada bayi interseks adalah sebuah kuputusan buruk. Dalam laporan 160 halaman itu, HRW juga menyajikan sejumlah keterangan langsung dari para interseks. Termasuk cerita Reimer, yang akhirnya bunuh diri pada 2014 lalu, ketika umurnya 38 tahun.

“Komunitas medis sudah membuat kemajuan dalam perawatan interseks pada dekade terakhir, namun secara medis operasi-operasi yang tak bisa diubah lagi pada anak-anak dan bayi masih umum terjadi,” kata Kyle Knight, peneliti HRW sekaligus penulis laporan ini.

“Tekanan untuk menyesuaikan diri dan hidup ‘normal’ sangatlah nyata, tapi tak ada bukti bahwa operasi-operasi itu menjanjikan hidup jadi lebih mudah. (Justru) banyak bukti yang menunjukkan bahwa operasi-operasi itu menyebabkan kerusakan seumur hidup yang tak lagi bisa diperbaiki,” katanya.

infografik interseks

Interseks yang Jauh dari Permukaan

Hanna Gaby Odiele jadi berita internasional Januari lalu, ketika dirinya menjelaskan pada media tentang jadi dirinya sebagai interseks. Supermodel ini membuka kisah hidupnya di Vouge.

Odiele lahir dengan testis internal, tanpa uterus atau ovari. Dia punya satu kromosom X dan satu kromosom Y. “Aku lahir dengan testikel internal yang memproduksi testosteron, yang oleh tubuhku dikonversi jadi oestrogen.” Dia tersenyum. “Gila, kan?” kata Odiele dalam wawancaranya dengan The Guardian.

Bentuk interseks memang tidak selalu sama. Sampai sekarang, dunia medis mengenal ada 30 hingga 40 variasi dari interseks. Kemajuan dunia medis kini, meski sudah maju, masih tetap perlu pengembangan tentang interseks.

Dari akronim LGBTI—Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks—topik ini bukan termasuk yang populer ketimbang isu gender dan seksualitas lainnya.

Baca juga:

“Dunia medis mendikte kami bahwa kami tak harus bicara pada siapa pun tentang hal ini,” kata Odiele. “Selalu, aku disuruh menyembunyikannya.” Anak-anak interseks memang diajarkan untuk malu mengakui identitas mereka.

Bagi Odiele yang kini berusia 28 tahun, ia butuh waktu yang lama untuk sadar bahwa tak ada yang salah dengan dirinya—kecuali masyarakat punya stigma tentang apa yang lahir bersamanya. “Ada sesuatu yang memalukan di tubuh kami, seolah kami tidak seharusnya dibicarakan,” kata Odiele.

“Aku tak akan pernah tahu bagaimana rasanya jadi wanita cis-gender. Aku tak akan pernah bisa bicara tentang menstruasi atau punya anak, tapi aku sama sekali bukan pria juga—aku seorang interseks yang bangga.”

Temuan HRW, yang mewawancarai 30 interseks dewasa, 2 anak interseks, 17 orang tua dari anak interseks, dan 21 praktisi termasuk ginekolog, endokrinolog, urolog, psikolog, dan provider kesehatan mental yang bekerja dengan orang interseks, menunjukkan bahwa para ahli memang punya kecenderungan menawarkan operasi kelamin seolah-olah sebagai jalan keluar dari kondisi interseks.

Terkadang, keterbatasan pengetahuan orang tua tentang topik ini membuat mereka mempercayai dokter belaka. Menurut laporan HRW, yang sering kali menyelamatkan anak-anak atau bayi interseks dari operasi kelamin diri adalah ketika orang tua mereka bertemu dengan orang tua anak interseks lain yang membuka diskusi untuk pertimbangan memikirkan hal ini lebih panjang.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra