Menuju konten utama
Kerusuhan 22 Mei 2019

Online Shop: Pembatasan Internet Bikin Kami Rugi

Niatnya memerangi hoaks, tapi pembatasan internet bikin banyak pihak merugi, termasuk para pedagang ini.

Online Shop: Pembatasan Internet Bikin Kami Rugi
Ilustrasi seseorang yang sedang marah dengan ponsel. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Demi menahan laju sebaran hoaks saat kerusuhan pada Rabu 22 Mei 2019, pemerintah memberlakukan pembatasan akses media sosial dan aplikasi chat selama beberapa hari. Tak sedikit masyarakat protes terhadap kebijakan ini. Sektor bisnis yang bergantung pada aksesibilitas media sosial dan aplikasi pesan pun ikut merugi, termasuk para penjual online shop (olshop).

Para pedagang yang memakai medium Facebook, Instagram, dan Whatsapp tidak bisa mengunduh, mengunggah, maupun mengirim foto dan video. Ketiga platform itu memang dikenal sebagai media penyebaran hoaks secara masif.

“Pembatasan ini demi keamanan nasional karena penyebaran hoaks akan memperburuk situasi,” kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto.

Situsweb Down Detector mencatat keluhan WhatsApp down mulai ramai dilaporkan pada Rabu 22 Mei 2019 pukul 14.00 WIB. Dari keluhan yang masuk per 23 Mei 2019, sebanyak 49 persen laporan mengeluh gagal kirim dan terima pesan, 41 persen bermasalah dengan jaringan, dan 8 persen lainnya kesulitan log-in. Para pengguna Instagram mengeluh tak bisa mengakses News Feed, sulit log-in, dan gagal mengakses versi situsweb.

Protes Pedagang Olshop

Bulan Ramadan seharusnya menjadi momen bagi Isti Listiani, 23 tahun, untuk menggandakan pundi-pundi rupiahnya. Pengusaha kuliner salad buah ini sehari-hari saat Ramadan bisa menjual 100-150 pak salad, dengan omzet mencapai Rp3-4 juta. Jumlah tersebut belum termasuk pesanan khusus yang dibuat untuk acara buka puasa, acara keluarga, arisan, atau perayaan lain.

“Sedikit agak turun omzet, bisa mencapai 50 persen dari hari biasanya,” Isti berujar lesu.

Selama ini, untuk memasarkan produknya, Isti cenderung menggunakan Instagram @istea_id, dilanjut transaksi via chat Whatsapp. Setelah pembeli menentukan jumlah pesanan dan mentransfer uang pembelian, salad buah dikirim via ojek online. Praktis, aktivitas bisnis yang bergantung pada kelancaran internet itu turun drastis saat akses internet dibatasi.

Bahkan pada Kamis kemarin (23/5), Isti hanya mampu menjual 20-25 pak salad. Uang yang masuk ke kantongnya tak lebih dari Rp600 ribu. Itupun ada tambahan masalah yang harus ia tuntaskan saat melakukan pengiriman. Beberapa pesanan sempat terganggu pengirimannya karena terdapat waktu jeda dalam chat ojek online dengan konsumen.

Selain itu, ada juga pesanan yang telah diambil ojek online, tapi karena sinyal mendadak hilang, data pembeli ikut lenyap. Padahal, pemesan sudah memasukkan harga di aplikasi dan barang juga telah diambil. Artinya, barang sudah tidak bisa dibatalkan atau dikembalikan. Isti tak mau usaha yang baru dibangun sejak lima bulan lalu hilang reputasinya hanya karena masalah pengiriman. Akhirnya ia terpaksa bolak balik menghubungi ojek online dan konsumennya supaya pesanan sampai tepat waktu.

“Imbasnya ke aku juga. Tapi aku enggak mau berlarut karena takut pelanggan kabur,” katanya.

Cerita kerugian olshop akibat pembatasan internet tak hanya datang dari Isti seorang. Pemilik akun Instagram @sun.daymeal bernama Dita Prastika, 27 tahun, juga mengeluhkan hal serupa. Kebijakan itu membuatnya kehilangan setengah pendapatan. Jika sehari-hari ia bisa mengantongi omzet hingga Rp300 ribu, pembatasan akses internet memangkas pendapatannya menjadi Rp150 ribu saja.

“Lumayan berpengaruh karena info jualanku lewat Instagram dan Whatsapp,” kata Dita, pemilik bisnis dari makanan sehat.

Instagram dan Whatsappnya memuat informasi harian seputar menu makanan sehat yang ia tawarkan kepada konsumen. Jadi ketika Dita tak mengunggah promosi produk, pelanggan tak akan tahu variasi menu yang tersedia. Untung saja beberapa pelanggan punya inisiatif untuk langsung menghubunginya via teks Whatsapp, meski mereka tak bisa bertukar pesan gambar.

Infografik Hidup hampa tanpa Internet

Infografik Hidup hampa tanpa Internet. tirto.id/Nadya

Mengakali Kerugian

Bagi pebisnis skala kecil seperti Isti dan Dita, kehilangan setengah pendapatan selama tiga hari berturut-turut adalah kerugian besar. Mereka harus memutar otak supaya jumlah penjualan tetap berjalan: tak untung tak mengapa, tapi setidaknya tutup modal. Apalagi, keduanya bergerak di bidang kuliner segar. Bahan dasarnya mudah busuk.

Jika terlanjur membeli banyak bahan dan pembeli ternyata hanya sedikit, otomatis bahan yang tersisa akan terbuang. Untuk meminimalkan kerugian, Dita akhirnya memutuskan membeli sedikit bahan hanya untuk beberapa varian menu saja. Selama tiga hari ini, konsumennya terpaksa harus manut apa pun jenis menu yang tersedia.

“Aku ambil risiko berkomunikasi dengan VPN, habis mau bagaimana daripada rugi bandar,” katanya. Sejak kebijakan pembatasan internet berjalan, masyarakat beramai-ramai menggunakan aplikasi VPN agar tetap bisa mengakses media sosial.

Lain dengan Dita yang membatasi jumlah belanja modal, Isti punya strategi berbeda, yakni promo belanja. Setelah internet lancar, rencananya ia akan memberikan potongan belanja khusus bagi konsumen. Usaha itu ia lakukan dengan harapan bisa menutupi kerugian selama tiga hari terakhir. Meski punya strategi penanganan berbeda, Dita dan Isti memiliki harapan yang sama agar akses internet kembali normal seperti biasa.

“Jangan down lagi, kasihanilah kami yang mengandalkan media sosial untuk cari uang, ruginya banyak,” Dita menabur harap.

Baca juga artikel terkait PEMBATASAN INTERNET atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Bisnis
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani