Menuju konten utama

Ombudsman Minta Pemerintah Kaji Soal Wewenang BP Batam ke Pemkot

"Memang ada masalah terkait dualisme, tapi bukan itu, itu hanya urusan lahan yang krusial," kata Laode.

Ombudsman Minta Pemerintah Kaji Soal Wewenang BP Batam ke Pemkot
Nelayan tradisional melintasi kawasan Jembatan Barelang di kelurahan Tembesi, Kota Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (28/4/2018). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

tirto.id - Pemerintah memutuskan akan meleburkan kepemimpinan Badan Pengelola Batam (BP Batam) dengan Pemerintah Kota Batam dengan cara menjadikan Walikota Batam sebagai ex officio BP Batam.

Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida mengatakan, pemerintah perlu mengkaji keputusan tersebut. Pasalnya, Ombudsman tidak menemukan adanya dualisme di wilayah Batam dalam kajian mereka pada 2016 hingga 2017.

"Memang ada masalah terkait dualisme, tapi bukan itu, itu hanya urusan lahan yang krusial," kata Laode dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (22/12/2018).

Laode menduga, masalah dualisme ini muncul karena Pemerintah Kota Batam ingin turut serta mengatur BP Batam.

Selain it,u belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan dari UU Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pemerintah Kota Batam juga menjadi polemik tentang pengelolaan Kota Batam.

Menurut Laode, hubungan antara BP Batam dan pemeritah daerah harusnya diatur dalam PP tersebut.

"Sampai sekarang itu belum terbentuk PP itu. Konon sudah dibahas hampir 100 kali, 89 kali tepatnya PP dibahas tapi tidak berhasil. Mengapa, bagaimana perkembangan sebetulnya kita belum tahu," jelas Laode.

BP Batam, lanjut Laode, sebenarnya memiliki mandat melalui undang-undang tersebut untuk mengelola lahan yang akan dijadikan wilayah perdagangan bebas di Batam. Undang-undang ini, kata Laode, merupakan jasa BJ Habibie sebagai Presiden saat itu.

Namun, kata dia, rupanya Pemeritah Kota Batam sangat menginginkan menjadi bagian dalam BP Batam itu. "Nah ini tidak kunjung berakhir, makanya disebut dualisme. Kita turun ke lapangan, tidak ada sebenarnya dualisme itu," tutur Laode.

Laode mengingatkan akan ada undang-undang yang dilanggar pemerintah pusat bila meleburkan kepemimpinan Badan Pengelola Batam (BP Batam) dengan Pemerintah Kota Batam. Dua undang-undang itu yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

"Harus dikaji dampaknya dulu, mana sisi positif dan negatifnya," pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Riza Patria juga menyayangkan rencana pemerintah yang meleburkan Badan Pengusahaan (BP) Batam dengan Pemerintah Kota Batam.

"Masalah Batam, ini cuma cara cepat pemerintah ingin tidak ada kisruh tapi menambah kisruh," ujar Ahmad Riza Patria dalam kesempatan yang sama.

Menurut Riza, persoalan utama bukanlah terkait dualisme pengelolaan kawasan Batam, melainkan bagaimana caranya agar Batam menarik investor untuk berinvestasi di sana.

Dualisme antara BP Batam dengan pemerintah daerah, menurut Riza, lebih kepada perebutan kepemilikan lahan-lahan yang potensial jadi lokasi berinvestasi.

Ketua DPP Partai Gerindra itu juga menganggap setelah BJ Habibie tak lagi menjadi presiden, pemerintah pusat tak mampu lagi memoles Kota Batam menjadi kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone).

Padahal, jika diurus dengan benar, Batam diharapkan bisa bersaing dengan Singapura dan negara-negara tetangga lainnya.

"Di Asean ini kita tidak sendiri, Malaysia mempercantik diri. Ini artinya kita lupa, hidup di Asean tidak sendiri," tegas Riza.

Baca juga artikel terkait BP BATAM atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Alexander Haryanto