tirto.id - Komisioner Ombudsman RI, Adrianus Meliala menyangsikan integritas komisoner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) periode 2019-2022.
Menurut dia, ada sejumlah temuan yang mendasari kesimpulan tersebut. Salah satunya tidak ada tolok ukur yang jelas yang membuat seorang calon dinyatakan lolos atau tidak lolos. Akibatnya, unsur subjektifitas diduga kental mempengaruhi tiap keputusan.
"Misalnya soal integritas. Ini enggak ada elaborasinya. Jadi ada unsur subyektifnya," kata Adrianus Meliala di Gedung Ombdusman, Senin (12/7/2019).
Karena tidak ada tolok ukur, Adrianus menilai kapabilitas termasuk integritas para komisioner terpilih menjadi bisa dipertanyakan. Hal ini tercermin dari banyaknya laporan yang masuk ke Ombudsman RI.
"Bisa jadi begitu, misalnya ada banyak sekali laporan dari masyarakat," kata dia.
Ia berharap temuan ini bisa jadi masukan bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan komisi I DPR RI ke depan
Menurut dia, jika tata kelola sudah baik, maka proses akan jadi baik pula dan hasilnya pun akan baik juga.
Selain poin tersebut, Ombudsman juga menemukan temuan lain dalam proses seleksi. Pertama, tidak ada petunjuk teknis dan SOP soal mekanisme seleksi calon komisioner KPI.
Kedua, tidak ada standar pengamanan dokumen atau informasi yang memadai agar informasi tidak bocor ke pihak lain yang tidak berkepentingan.
Selain itu, Ombudsman juga mendapati temuan lain, yakni ada ketidakkonsitenan penggunaan Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/07/2014 tentang kelembagaan KPI.
Adrianus menjelaskan, terdapat tiga ketentuan dalam proses seleksi yang tidak didasari pada beleid tersebut. Pertama, penandatanganan SK Anggota Pansel oleh Menteri Kominfo RI; kedua, Jumlah anggota pansel berjumlah 15 orang; ketiga, penyerahan nama calon Anggota KPI kepada DPR berdasarkan abjad bukan rangking.
Namun, terkait dengan komposisi calon komisioner yang dikirimkan ke DPR, pansel tiba-tiba mengacu pada peraturan KPI tersebut. Akibatnya, ini memungkinkan 7 nama ketahanan bisa langsung melenggang ke fit and proper test oleh DPR tanpa melalui seleksi awal.
"Pertanyaannya adalah kenapa begini?interpretasi seperti ini kan melampaui undang-undang, melebihi kewenangan. Ini yang kami anggap sebagai salah," kata dia.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali