tirto.id - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menilai, pada 2024 hingga 2025 industri jasa keuangan masih harus menghadapi beberapa tantangan dari domestik hingga global. Dari sisi domestik, tantangan berasal dari kinerja ekspor yang tertekan akibat penurunan harga komoditas dan permintaan dunia.
“Di domestik, pemerintah optimis ekonomi membaik, meskipun di tahun ini ekspor masih tertekan dan seiring dengan itu penurunan harga komoditas dan permintaan global terjadi. Sehingga neraca transaksi berjalan, current account akan lebih dipengaruhi kebijakan domestik,” kata Mahendra, dalam Rapat Kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di Jakarta, Rabu (26/6/2024).
Selain itu, keluarnya aliran modal asing (capital outflow) yang terus terjadi, baik di pasar Surat Berharga Negara (SBN) maupun saham sejak awal 2024. Hal itu menjadi risiko lain yang harus diwaspadai pelaku industri keuangan.
Kondisi tersebut pun diperparah oleh tekanan mata uang rupiah akibat kebijakan suku bunga acuan rendah The Federal Reserve (Fed Fund Rate/FFR) yang belum juga berakhir. Untuk diketahui, menurut data setelmen, sampai 30 Mei 2024 asing melakukan aksi jual neto Rp34,72 triliun di pasar SBN dan Rp4,26 triliun di pasar saham.
Sementara berdasar berdasarkan data Bloomberg pada Rabu (26/6/2024) pukul 12.00 WIB, kurs rupiah tengah diperdagangkan di level Rp16.428 per dolar AS, melemah 53 poin atau 0,32% dibandingkan akhir perdagangan Selasa sore (25/6) di level Rp16.375 per dolar AS.
“Penurunan ekspor di tengah penurunan cadangan devisa serta penurunan kinerja korporasi, terutama yang berbasis komoditas dan rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur. Sehingga mendorong kualitas tenaga kerja dan permintaan domestik yang masih lemah,” ujar Mahendra.
Dari sisi global, tantangan berasal dari ketidakpastian geopolitik yang masih tinggi. Mulai dari tingginya tingkat inflasi AS, stagflasi di Eropa, hingga pelambatan pertumbuhan ekonomi Cina. Kondisi ini pun membuat Mahendra memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2024 dan 2025 sideways alias tidak akan mencapai pertumbuhan berarti dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Selanjutnya apakah ada perkembangan di tahun depan akan bergantung dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Kebijakan moneter global akan menuju konvergensi dengan perkiraan akan menurun ke tahun depan,” kata Mahendra.
Kemudian, untuk 2025 dunia dan Indonesia masih dibayangi oleh risiko permintaan global yang masih akan landai. Dia menuturkan pertumbuhan ekonomi di tahun depan akan tergantung dengan kebijakan fiskal pemerintah.
“Namun persistensi pertumbuhan lebih dipengaruhi oleh keberhasilan reformasi struktural dan terjaganya investasi,” ucap Mahendra.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin