tirto.id - “Saya tidak akan pernah berbohong.
Saya tidak akan membuat pernyataan menyesatkan.
Saya tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan kalian terhadap saya.
Dan saya tidak akan pernah menghindari isu kontroversial.”
Serangkaian kalimat di atas diucapkan lima dekade silam oleh kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, James Earl “Jimmy” Carter Jr. Petani kacang asal negara bagian Georgia yang mengawali karier politik sebagai senator tingkat daerah dan gubernurini berusaha mendulang kepercayaan publik setelah ingar bingar Skandal Watergate—penyalahgunaan kekuasaan oleh administrasi kepresidenan Richard M. Nixon dari kubu Republikan. Terbongkarnya konspirasi tersebut memaksa Nixon mengundurkan diri—satu-satunya presiden AS yang melakukannya dalam sejarah—pada awal masa jabatan periode kedua tahun 1974.
Nixon digantikan oleh wakilnya, Gerald Ford, yang bertanding melawan Carter dalam pemilu dua tahun kemudian.
Carter, tanpa pengalaman menjabat di tingkat nasional dan namanya tidak berasosiasi dengan lingkaran elite Washington, sudah tentu kurang dikenal khalayak. Media pun heboh menyorot reaksi spontan nan lugu para pejalan kaki ketika ditanya tentangnya: “Jimmy who?”—pertanyaan yang juga dijadikan judul dalam berbagai pemberitaan terkait Carter.
Meski demikian, Carter berhasil unggul tipis dari Ford. Dia resmi menjadi sedikit dari pemimpin AS dengan latar belakang keilmuan STEM. Menurut jurnalis televisi senior Bob Schieffer, hasil tersebut lebih disebabkan oleh kegusaran pemilih terhadap Ford yang memberikan ampunan pada Nixon, alih-alih terpikat pada janji kampanye Carter.
Selama berkuasa satu periode (1977-1981), Carter dikritik sebagai presiden yang gagal, lemah, tidak efektif, di bawah rata-rata—atau paling halusnya “biasa-biasa saja”. Catatan sejarah tentang administrasinya berpusar pada penanganan krisis energi sampai ekonomi yang mustahil dipisahkan dari gejolak geopolitik dunia pada akhir 1970-an.
Berdasarkan survei presiden terburuk oleh Siena College Research Institute yang rilis tahun lalu, dari 45 presiden, Carter bertengger di posisi ke-24—satu tingkat di bawah presiden tahun 1800-an pemilik ratusan budak yang memerintahkan pengusiran penduduk asli Amerika, Andrew Jackson. Namun Carter masih dinilai lebih baik daripada Nixon (peringkat ke-28), George W. Bush (35) dan Donald J. Trump (43).
Seburuk itukah citra peraih Nobel Perdamaian yang pernah mendorong normalisasi hubungan Israel dan Mesir ini? Akhir-akhir ini, pengamat dan sejarawan mencoba mengkaji kembali pemerintahan era Carter. Melalui publikasi biografi sampai film, mereka berargumen betapa Carter sudah disalahpahami dan sesungguhnya merupakan tokoh visioner yang tangguh. Caranya melihat masalah dan solusi kebijakannya dinilai mendahului zaman—terutama pendekatan terhadap isu-isu yang mustahil diabaikan oleh para pemimpin dunia pada hari ini seperti lingkungan, iklim, dan energi terbarukan.
Era kepresidenan dan perjalanan hidup Carter secara umum semakin disorot oleh media arus utama sejak satu minggu lalu, ketika dia memutuskan untuk menjalani pengobatan di rumah. Presiden AS paling panjang umur (98 tahun) ini ingin menghabiskan sisa hidup bersama keluarga setelah beberapa kali dirawat di rumah sakit.
Sebelum Presiden
Carter, yang lahir dan dibesarkan di keluarga petani, bercita-cita jadi pelaut. Dia terinspirasi dari pamannya yang bisa berkeliling dunia karena bekerja untuk Angkatan Laut AS.
Selama Perang Dunia II berkecamuk, Carter berkuliah di jurusan matematika sembari menempuh pendidikan kadet di Akademi Angkatan Laut. Selepas lulus pada 1946, Carter meminang sang pujaan hati, Rosalynn Smith.
Di Angkatan Laut, Carter ditugaskan sebagai teknisi kapal selam, kelak ditunjuk untuk mengembangkan propulsi nuklir (penggerak kapal selam dari reaktor nuklir) yang merupakan kapal selam bertenaga atom pertama di AS. Untuk memoles keahliannya, Carter juga menempuh mata kuliah tambahan tentang teknologi reaktor dan fisika nuklir.
Pada satu kesempatan, Carter dipercaya untuk mengatasi kebocoran nuklir di suatu reaktor eksperimental di Kanada. Pengalaman itu membuatnya “menyerap batas maksimum radiasi selama satu tahun hanya dalam kurun satu menit 29 detik” sampai-sampai urine dan fesesnya mengandung radiasi selama beberapa bulan.
Setelah tujuh tahun, Carter harus mengakhiri petualangan bersama Angkatan Laut karena bapaknya meninggal dunia. Dia diminta pulang ke kampung halaman di Plains, Georgia untuk mengurus pertanian keluarga.
Sembari bertani, Carter perlahan memupuk minat pada isu-isu publik dan sosial-politik. Seiring itu dia semakin dikenal sebagai pemuka masyarakat, penganut Kristen taat yang rutin mengajar Sekolah Minggu di Gereja Baptis Plains.
Jabatan politik pertamanya sebagai senator tingkat negara bagian dimulai saat berusia 38 tahun pada awal dekade 1960-an.
Carter hidup di negara bagian Selatan yang kala itu merespons gerakan hak-hak sipil (Civil Rights Act, 1964) dengan gelombang konservatisme. Dia melawan arus tersebut karena punya pandangan lebih progresif. Pada suatu waktu, misalnya, ketika gereja mengadakan pemungutan suara untuk memutuskan apakah penduduk kulit hitam boleh berdoa di sana, nyaris semua menolak kecuali Carter, istrinya, dan seorang lagi.
Rasa peka ini tumbuh berkat peran ibunya, perawat yang secara sukarela membantu petani kulit hitam dan mengajak Carter kecil ke gereja orang kulit hitam.
Sebagai senator, dia memperjuangkan hak orang kulit hitam untuk memberikan suara dalam pemilu.
Sayangnya Carter tidak berani terlalu vokal. Meskipun tergolong tokoh Demokrat liberal, dia masuk dalam spektrum moderat yang takut mendobrak status quo. Atau, menurut penulis biografi Carter Jonathan Alter, sikapnya terkait hak-hak sipil pada awal karier politik bisa disebut “simpatik secara pribadi, diam di hadapan umum.”
Sebagai ketua dewan pendidikan daerah, Carter juga tidak berupaya menerapkan keputusan Mahkamah Agung untuk menghapus segregasi di sekolah negeri tahun 1954. Carter tidak berkutik ketika kalangan kulit putih memboikot Koinonia, pertanian kolektif ras campuran di dekat rumahnya. Ketika aktivis John Lewis dipenjara karena tuduhan palsu, Carter sang senator juga bergeming.
Meski banyak diam, Carter bukan figur yang “laku” di masyarakat penggemar segregasi. Ketika berpartisipasi dalam pemilihan gubernur Georgia tahun 1966, pada seleksi tingkat Partai Demokrat saja Carter kalah jauh dari Lester Maddox, pengusaha kuliner yang menyediakan tongkat di depan restorannya untuk mengintimidasi calon tamu berkulit hitam. Maddox terpilih jadi gubernur setelah didukung grup supremasi kulit putih Ku Klux Klan (KKK), kemudian berusaha melawan integrasi rasial di sekolahan, bahkan melarang jenazah aktivis Martin Luther King Jr. disemayamkan di tanah kelahirannya di Georgia.
Dalam upaya kedua, pilgub 1970, suka tidak suka Carter perlu memikat kalangan pemilih suara kulit putih konservatif. Dia pun mengurangi penampilannya di depan massa warga kulit hitam dan menggunakan istilah-istilah yang bisa menggugah hati kubu konservatif, misalnya “warisan Georgia”, “hukum dan ketertiban”, dan “kekuasaan lokal”. Dengan cara ini dia sukses mengamankan kursi gubernur.
Sesuai aturan hukum negara bagian Georgia waktu itu, Carter tidak bisa mencalonkan diri lagi. Artinya, dia tidak perlu lagi merawat basis pemilih suara yang prosegregasi. Dia pun menjadi lebih berani. Carter merasa aman untuk menyuarakan agenda integrasi rasial.
“Era diskriminasi rasial sudah berakhir,” demikian pidato perdananya sebagai gubernur. Tentu itu membuat kaum konservatif seperti disambar geledek di siang bolong dan disambut sorak-sorai warga kulit hitam. “Tidak boleh ada lagi orang miskin, kampung, lemah, atau orang kulit hitam yang harus menanggung beban tambahan karena kehilangan kesempatan pendidikan, lapangan kerja, atau keadilan biasa.”
Selama menjabat gubernur, Carter meningkatkan jumlah staf kulit hitam sampai 25 persen dan menunjuk lebih banyak minoritas dan perempuan untuk mengisi jabatan publik (jumlahnya melebihi yang pernah ditunjuk oleh seluruh gubernur Georgia sebelumnya). Carter bahkan membuat marah para anggota KKK karena memasang foto Martin Luther King Jr. di kantornya.
Sebagai pemimpin negara bagian yang kaya akan keindahan alam, Carter juga gencar mengupayakan perlindungan lingkungan, dimulai dari konservasi hutan, sungai, sampai lahan basah (wetlands). Lebih dari 500 proyek pengeringan lahan basah untuk pembangunan di Georgia tidak diloloskan ketika dia menjabat.
Carter juga keras menentang pembangunan bendungan untuk sumber listrik dan pariwisata karena potensi dampak destruktifnya untuk habitat sungai. Dia menjadi gubernur pertama di AS yang memveto proyek pemerintah federal untuk membangun bendungan di Sungai Flint—salah satu sungai dengan aliran air bebas terpanjang di Georgia. Ambisi environmentalisme inilah yang digenggam Carter kuat-kuat sampai berhasil berlenggang masuk ke Gedung Putih pada 1977.
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino