Menuju konten utama
Mozaik

Nubia, Jatuh Bangun Peradaban Kuno di Lembah Sungai Nil

Peradaban Nubia yang kerap terlupakan memengaruhi kebudayaan Mesir Kuno. Kiwari, orang-orang Nubia mencoba bertahan di sempadan zaman.

Nubia, Jatuh Bangun Peradaban Kuno di Lembah Sungai Nil
Header Mozaik Peradaban Kuno yang Terlupakan. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Peradaban Nubia kerap dilupakan atau tidak diketahui oleh sarjana Barat sehingga sejarahnya sering kali terabaikan. Padahal peradaban ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebudayaan Mesir Kuno.

Salah satu alasan mengapa peradaban Nubia sering dilupakan adalah karena fokus sejarah Barat lebih tertuju pada peradaban Eropa dan Timur Tengah. Hal ini membuat peradaban-peradaban di wilayah Afrika kurang terekspos.

Nubia dengan sejarahnya yang begitu kaya dan kebudayaannya yang unik, menjadi salah satu peradaban kuno yang paling menarik dan berpengaruh di wilayah sekitar Mesir dan Sudan.

Terletak di sepanjang Sungai Nil, Nubia memiliki hubungan erat dengan Mesir kuno, memengaruhi budaya, agama, dan bahasa.

Wilayah ini terbagi menjadi Nubia Atas yang kini berada di sekitar Sudan tengah dan Nubia Bawah yang sekarang mencakup Mesir selatan dan Sudan utara.

Terdapat dua jenis nama yang digunakan dalam studi sejarah dan arkeologi Nubia, yaitu nama politik dan nama arkeologi. Nama politik sering kali digunakan dalam konteks sejarah politik dan hubungan antarnegara, sementara nama arkeologi lebih sering muncul dalam kajian peninggalan arkeologis dan situs-situs bersejarah.

Nama politik mengacu pada istilah yang digunakan untuk merujuk entitas politik dan geografis, seperti "Kerajaan Kush" atau "Nubia". Mesir menggunakan berbagai nama untuk mengacu pada wilayah dan orang-orang Nubia, tergantung pada era dan kelompok suku tertentu di daerah tersebut.

Sementara nama arkeologi lebih berkaitan dengan istilah yang digunakan dalam konteks penemuan dan penelitian arkeologis, seperti "Meroe" atau "Kerajaan Napata".

Menurut Geoff Emberling dan Suzanne Davis dalam Graffiti as Devotion Along the Nile and Beyond (2019:16) dalam sejarah, penulis Yunani Kuno merujuk wilayah ini sebagai Eithiopia dan mulai abad ke-3 SM sebagai Nubia.

Istilah Nubia kemungkinan berarti "tanah Noba(tae)". Istilah ini dipertahankan oleh orang-orang di zaman pertengahan yang berbicara bahasa yang kini kita kenal sebagai bahasa Nubia.

Keturunan mereka masih tinggal di sepanjang Sungai Nil di utara Sudan dan selatan Mesir.

Menaklukkan Mesir

Nubia telah dihuni oleh manusia sejak zaman prasejarah. Pada abad ke-30 SM, Nubia membentuk kerajaan pertamanya, yaitu Kerajaan Kerma. Kerajaan ini berkembang pesat dan menjadi kekuatan yang berpengaruh di wilayah tersebut.

Mereka membentuk Kebudayaan Kerma dengan ciri khas utama bangunan kuil yang disebut deffufa, yang merupakan bangunan berbentuk kubus dari bahan bata lumpur. Di sekitar Kerma, terdapat ruang-ruang khusus yang memproduksi logam, fayans (tembikar timah-kaca), dan barang-barang lainnya.

Kerma berperan sebagai perantara dalam perdagangan barang mewah dari bagian dalam Afrika Tengah ke Mesir Kuno. Mereka memiliki pusat-pusat pengendalian produk pertanian dan mengawasi perdagangan barang mewah yang datang dari wilayah jauh.

Kerma juga dikenal memiliki sumber daya yang diinginkan oleh Mesir, seperti emas, susu, gading, dan lainnya. Pada abad ke-7 SM, Kerajaan Kerma digantikan oleh Kerajaan Kush.

Kala itu, Kerajaan Kerma mengalami kemunduran kekuasaan dan pengaruhnya di wilayah Mesir Hulu. Pada saat yang sama, Kerajaan Kush, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kerma, mulai memperluas pengaruhnya dan melahirkan Kebudayaan Kushite.

Mereka mengadopsi banyak aspek budaya dan kebiasaan Kerma, tetapi juga mengembangkan identitas dan kekuasaan mereka sendiri. Kerajaan Kush mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-3 SM, di bawah kepemimpinan Raja Piye yang berhasil menaklukkan Mesir dan memerintah sebagai Raja Mesir selama beberapa tahun.

Kerajaan Kush memiliki kekuatan militer dan perdagangan yang kuat, tetapi akhirnya menghadapi kemunduran karena penggunaan berlebihan sumber daya alam.

Pada awalnya, Kerma merupakan kota utama di wilayah Kush, namun kemudian ibu kota dipindahkan ke Napata yang menjadi pusat kekuasaan dan kebudayaan mereka.

Meski menghadapi tantangan dari Mesir dan Kerajaan Aksum yang mendominasi Laut Merah, Kush tetap menjadi kekuatan dominan di wilayah tersebut hingga kemundurannya pada abad ke-4 Masehi.

Pada tahun 590 SM, Napata dijarah oleh firaun Mesir dan ibu kota dipindahkan ke Meroe, tempat mereka membangun kuil untuk dewa baru bernama Apedemak. Mereka membangun kota-kota baru di sabana sebelah selatan Gurun Sahara, beberapa di antaranya memiliki penampungan air raksasa.

Kerajaan Kush akhirnya hancur setelah diserang oleh Kerajaan Aksum yang dikenal karena kekuasaannya dalam perdagangan dan pengaruhnya dalam sejarah Kekristenan di wilayah yang sekarang bagian dari Ethiopia dan Eritrea. Mereka juga terkenal karena monolit-monolit batu raksasa yang disebut sebagai obelisk.

Setelah kejatuhan Kerajaan Kush pada abad ke-4 M, Nubia dibagi menjadi beberapa kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan ini terus berkembang hingga abad ke-16 M ketika Nubia dikuasai oleh Kesultanan Ottoman.

Nasib Orang-Orang Nubia

Nubia memberikan kontribusi dalam bidang seni, arsitektur, dan teknologi. Mereka mengembangkan teknik pembuatan besi yang lebih maju daripada Mesir. Teknik ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan menjadi dasar bagi perkembangan peradaban modern.

Profesi penduduk Nubia pada masa lalu didominasi oleh petani, terutama karena Sungai Nil memberikan kesempatan untuk pertanian yang subur. Selain itu, perdagangan juga menjadi profesi penting karena posisi geografis Nubia yang strategis sebagai pusat perdagangan antara Afrika dan Mesir kuno.

Selain itu, orang Nubia juga terampil dalam kerajinan tangan, seperti pembuatan barang dari logam dan keramik. Mereka terkenal juga sebagai pemburu dan nelayan, mengingat wilayah Nubia memiliki sumber daya alam yang subur.

Pada abad ke-4 Masehi, wilayah Nubia menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi dan kemudian Kekaisaran Bizantium. Selama berabad-abad, Nubia menjadi target penjajahan dan eksploitasi oleh berbagai kekuatan asing.

Warsa 1908, Pemerintah Mesir pernah melakukan investigasi dan survei arkeologi Nubia pada area permakaman di sekitar Sungai Nil yang nantinya akan dibangun Bendungan Aswan.

Laporan yang diterbitkan Naturemencoba menggali hipotesa bahwa pada periode pra-dinasti, Nubia Bawah bersama Mesir membentuk satu wilayah budaya, dan mungkin satu distrik etnologis.

Infografik Mozaik Peradaban Kuno yang Terlupakan

Infografik Mozaik Peradaban Kuno yang Terlupakan. tirto.id/Parkodi

“Belakangan wilayah utara berkembang lebih pesat, dan Nubia gagal mengimbangi Mesir. Bagaimanapun juga, ketika bangsa Mesir bergerak ke arah selatan di bawah dinasti keduabelas, beberapa produk peradaban Nubia ditemukan sangat mirip, baik secara teknik maupun material, dengan produk-produk zaman pra-dinasti yang umum terdapat di kedua negara,” tulis laporan tersebut.

Survei juga menggambarkan keragaman ras dan budaya di wilayah ini, termasuk serangkaian permakaman yang dimulai dari periode kuno hingga masa pasca-Romawi, Kristen, dan Islam.

Satu kelompok kuburan yang belakangan berisi sejumlah mayat laki-laki berkulit hitam, sebagian besar meninggal dengan cara digantung atau dipenggal. Tidak diragukan lagi, ini adalah catatan tragedi yang terjadi setelah salah satu pemberontakan lokal yang sering terjadi selama pendudukan Romawi atau Bizantium.

Pada abad ke-19, wilayah Nubia menjadi bagian dari Mesir yang kemudian dijajah oleh Inggris. Setelah kemerdekaan Sudan pada tahun 1956, orang-orang Nubia di Sudan menghadapi persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang kompleks.

Hingga saat ini, orang-orang Nubia di Mesir dan Sudan terus berjuang untuk mempertahankan identitas, budaya, dan hak-hak mereka. Juga menghadapi diskriminasi terkait pembangunan infrastruktur, permukiman, dan perubahan lingkungan akibat pembangunan bendungan di Sungai Nil.

Masyarakat Nubia harus berjuang untuk mempertahankan identitas budaya mereka akibat pembangunan Bendungan Aswan warsa 1960-an. Mereka bermigrasi dan harus beradaptasi ke wilayah-wilayah yang memiliki budaya dan lingkungan baru.

Mayoritas masyarakat Nubia beragama Islam, namun mereka tetap mempertahankan tradisi sebelum memeluk Islam, misalnya mereka akan membawa seorang anak yang baru lahir ke Sungai Nil saking pentingnya peran sungai itu dalam tradisi Nubia.

Di sisi lain, bahasa Nubia juga terancam punah. Kiwari, bahasa Arab menjadi bahasa dominan di kalangan masyarakat Nubia.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi