tirto.id - Di Kepulauan Seribu kisah ini bermula. Pada September 2016, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melakukan kunjungan ke Pulau Pramuka. Saat berbicara di hadapan masyarakat, ia "terpeleset lidah" dengan mengatakan “dibohongi pakai Surat Al Maidah 51”.
Video rekaman pidato itu tersebar luas dan menyulut amarah beberapa kelompok Islam. Gelombang protes berjilid-jilid menyergap Jakarta. Ahok terjungkal dalam Pilkada Jakarta 2017 yang dibumbui drama sentimen agama. Ia juga diseret ke penjara.
Dari kasus itu, ulama mulai diperhitungkan lagi dalam gelanggang elektoral. Sejumlah ulama yang ikut dalam unjuk rasa mengutuk ucapan Ahok dianggap mampu menggerakkan massa dan memengaruhi hasil pemilu. Unjuk rasa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid menjadi contoh terbaru bagaimana simpul agama dan ulama mewujud menjadi mesin penggerak massa.
Berpijak dari situlah Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin Denny J.A. melakukan survei pada 10-19 Oktober 2018 terhadap 1.200 responden tentang ulama yang paling berpengaruh dalam kehidupan mereka. LSI membuat tiga kriteria pertanyaan, yakni (1) ulama yang disukai, (2) ulama yang imbauannya diikuti, dan (3) ulama yang pernah mereka dengar namanya.
“Kita melihat ada peningkatan atau eskalasi kekuatan yang dipengaruhi ulama atau tokoh agama. Kalau di pemilu-pemilu sebelumnya kita melihat begitu besar pengaruh dari artis misalnya, atau tokoh-tokoh yang lain, tapi kali ini kita melihat ada peningkatan cukup signifikan dari tokoh agama, dan itu menurut saya satu sinyal yang baik,” kata Adjie Alfaraby, peneliti dari LSI.
Hasil survei tersebut menempatkan lima nama dalam urutan teratas, yaitu Abdul Somad, Arifin Ilham, Yusuf Mansur, Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), dan Rizieq Shihab.
Abdul Somad disukai 82,5 persen responden. Yang pernah mendengar namanya sebanyak 59,3 responden, dan yang mengaku mengikuti imbauannya sebesar 30,2 persen. Arifin Ilham disukai 84,4 persen responden. Sebanyak 41,2 persen responden pernah mendengar namanya, dan 25,9 persen responden mengaku mengikuti imbauannya.
Sementara responden yang menyukai Yusuf Mansur sebanyak 84,9 persen. Yang pernah mendengar namanya 57,2 persen. Serta yang mengaku mengikuti imbauannya sejumlah 24,9 persen. Ulama dari Bandung, Aa Gym, disukai 79,7 persen responden, pernah mendengar namanya sebanyak 69,3 persen, dan yang mengaku mengikuti imbauannya sebanyak 23,5 persen.
Sedangkan Rizieq Shihab yang kini bermukim di Arab Saudi disukai 52,9 persen responden, yang pernah mendengar namanya sebanyak 53,4 persen responden, dan yang mengaku mengikuti imbauannya sebanyak 17 persen.
Dari tiga pertanyaan yang diajukan, kriteria “mengikuti imbauannya” jelas terkait erat dengan perilaku responden dalam pemilu saat menentukan pilihan.
“Dalam konteks pemilih yang luas, kita mengukur sejauh mana pengaruh-pengaruh dari tokoh ini dalam perilaku memilih. Dari catatan dalam perilaku memilih seberapa besar kekuatan endorsement tokoh-tokoh ini mempengaruhi pemilih,” imbuh Adjie.
Ulama yang dipilih responden dan menempati urutan lima besar tidak ada yang secara struktural berasal dari NU maupun Muhammadiyah—dua organisasi massa Islam terbesar di negeri ini.
Tak Ada Ma'ruf Amin
Dukungan para ulama dalam pertarungan politik jelang Pilpres 2019 kemudian direspons Jokowi dengan memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakilnya. Langkah Jokowi ini bak strategi “parkir bus” dalam pertandingan sepakbola: mengunci serangan lawan-lawan politik yang menuduhnya anti-Islam dan anti-ulama.
Ma’ruf Amin merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dua posisi ini memperlihatkan ketokohannya di kalangan umat islam. Ia juga sempat menjadi tokoh berpengaruh MUI di balik fatwa penodaan agama yang dilakukan Ahok.
Namun, berdasarkan survei LSI itu, Ma’ruf Amin ternyata bukan sosok ulama yang paling banyak dipilih responden.
Hasil penelitian lembaga survei memang bukan patokan yang menentukan keputusan pemilih, tapi setidaknya memberikan gambaran dinamika perilaku pemilih mutakhir yang bisa dijadikan bahan pertimbangan para petarung Pilpres 2019.
Regenerasi dan Cara Berkomunikasi
Lima ulama yang menjadi pilihan teratas responden survei LSI, jika dibandingkan dengan para ulama dari NU dan Muhammadiyah struktural, merupakan ejawantah dari generasi ulama kiwari. Dalam hal usia dan cara berkomunikasi, mereka seperti mewakili mayoritas generasi pemilih Islam hari ini.
Abdul Somad baru berusia 41 tahun, Arifin Ilham 49 tahun, Yusuf Mansur 42 tahun, Aa Gym 56 tahun, dan Rizieq Shihab 53 tahun. Bandingkan, misalnya, dengan tokoh NU populer seperti Said Aqil Siradj yang berusia 65 tahun, Mustofa Bisri 74 tahun, Salahuddin Wahid 76 tahun, dan Ma’ruf Amin 75 tahun.
Dari kalangan Muhammadiyah setali tiga uang. Setelah kepemimpinan Amien Rais (kini berusia 74 tahun), Ahmad Syafii Maarif (83 tahun), dan Din Syamsuddin (60 tahun), belum ada lagi generasi muda Muhammadiyah yang namanya cukup populer. Ketua PP Muhammadiyah sekarang, Haedar nashir, telah berusia 60 tahun.
Rataan usia ini, meski sebagian orang kerap menilai bahwa usia bukan jaminan, memperlihatkan lambatnya regenerasi yang dilakukan NU dan Muhammadiyah dalam melahirkan tokoh-tokoh dakwah baru yang bisa mengikuti semangat zaman dan memenuhi selera pasar.
Pemanfaatan media sosial pun membuat dakwah semakin efektif dan akhirnya memopulerkan mereka. Dari segi komunikasi, lima ulama pilihan responden survei LSI ini tak pernah memperlihatkan kontradiksi dengan suara mayoritas umat Islam dalam merespon pelbagai isu aktual. Bandingkan, misalnya, dengan Said Aqil Siradj dan Ahmad Syafii Maarif yang beberapa pernyataannya dianggap liberal.
Pada akhirnya, hasil survei LSI ini akan dibuktikan dalam Pilpres 2019. Apakah para ulama yang dinilai paling berpengaruh ini akan memberikan dampak signifikan terhadap raihan suara atau sebaliknya. Yang pasti, pendekatan-pendekatan dakwah mesti selalu sigap dalam merespon setiap perubahan masa. Apalagi dalam konteks politik elektoral yang selalu rancak mengikuti sulur kisah yang bergerak dinamis.
Editor: Ivan Aulia Ahsan