tirto.id - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai kinerja DPR merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentuan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) untuk memasukkan beleid metode omnibus terkesan kejar tayang.
Perubahan UU PPP berkelindan dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkontitusional bersyarat.
Menurut Peneliti PSHK, Antoni Putra mestinya momentum perubahan menjadi momentum bagi DPR membenahi persoalan peraturan perundang-undangan, bukan hanya semata memperbaiki UU Cipta Kerja saja.
"Revisi UU PPP seharusnya ditujukan untuk melakukan reformasi regulasi secara menyeluruh, bukan proses tergesa-gesa sekadar untuk memberikan justifikasi bagi metode omnibus," ujar Antoni dalam keterangan tertulis, Kamis (10/2/2022).
Menurut PSHK, revisi UU PPP mestinya tidak sebatas formalitas untuk menjalankan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Revisi mestinya juga mengatur materi lain yang diperlukan dalam mendukung tata kelola regulasi, seperti soal perencanaan, materi muatan, harmonisasi, monitoring dan evaluasi, hingga kelembagaan tata kelola peraturan perundang-undangan.
"Hal-hal ini jauh melampaui persoalan memenuhi legalitas dari penggunaan metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan semata; sebuah logika yang seharusnya dimiliki DPR sebagai lembaga legislatif," ujar Antoni.
Sebelumnya DPR RI menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentuan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (8/2/2022).
Terdapat 15 poin perubahan dalam UU PPP. Inti perubahan UU PPP untuk mendukung UU Cipta Kerja dengan memasukan metode omnibus di dalamnya.
Perubahan UU PPP mendapat persetujuan dari 8 dari total 9 fraksi yang ada di DPR. Hanya Fraksi PKS yang menolak.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto